Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Dalam benak si perundung media sosial, cyberbullying adalah cara untuk mendapatkan validasi dari pengguna lain bahwa dia merupakan bagian dari sesuatu yang tengah viral dan mampu menunjukkan ‘kekuatan’ untuk melakukan hal yang sama seperti pengguna lainnya.
Ketika menjadi bagian dari tren yang sedang viral di dalam sesaknya obrolan di ruang maya, si pengguna akan mendapatkan suatu prestige tertentu.
Suatu prestise yang membuatnya merasa berkuasa dapat menentukan discourse (atau wacana) atas hidup dan perasaan orang lain, sekaligus mendapatkan apresiasi tertentu dalam jejaring.
Sungguh suatu cara yang kejam dan biadab!
Baca Juga: Ibu dan Teman Micelle Halim Tuai Kritik Usai Lakukan Cyberbullying di Media Sosial
Menghentikan Rantai Ekosistem Media Sosial yang Beracun
Cyberbullying yang kian marak terjadi di ruang virtual meneguhkan keyakinan bahwa ruang virtual sulit menjadi ruang yang aman untuk berkreasi, berekspresi, bahkan membagikan hal yang personal sebab semuanya berpotensi untuk mengundang cemooh.
Mengubah perilaku netizen untuk menjadi pengguna internet yang santun dan beradab adalah suatu hal yang mustahil.
Algoritma media sosial telah menempatkan mayoritas pengguna dalam gelembung yang dipenuhi oleh konten-konten negatif.
Sebab ternyata konten-konten negatif mampu menarik perhatian lebih banyak pengguna dan menyebabkan warganet lebih lama menghabiskan waktu di depan layar gawai.
Lamanya waktu yang dihabiskan warganet di depan layar merupakan ladang bagi para pengiklan atau stakeholder yang berkepentingan untuk menambah pundi-pundi perusahaan, atau sekedar memperoleh data mengenai kebiasaan konsumsi konten di internet.
Hal paling ekstrem yang bisa dilakukan untuk menghentikan siklus perundungan adalah dengan berhenti menggunakan media sosial.
Sejumlah penelitian telah membuktikan adanya peningkatan kesehatan mental ketika berhenti mengakses media sosial.
Tak jarang puluhan pesohor pun melakukannya, bahkan dengan tidak memiliki akun media sosial sama sekali sejak awal.
Namun berhenti menggunakan media sosial bisa berarti juga menjadi bentuk kekalahan dan ketakutan terhadap pelaku perundungan.
Baca Juga: Selain Rachel Vennya, 3 Selebgram dan Artis Ini Juga Korban Bully Forum Online
Ketika korban menghentikan aktivitas digitalnya, pelaku perundungan merasa puas dan berbangga sebab kontrol dan kuasa yang dia tunjukkan telah berhasil meneror dan menakuti korban.
Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan menghentikan pengguna yang toxic dalam lingkungan pertemanan di media sosial adalah dengan memberikan batasan (restrictied) terhadap siapa yang boleh/bisa menjadi pengikut media sosial, membatasi/menutup akses kolom komentar, hingga melaporkan akun kurang ajar ke pihak berwenang dan memblokirnya.
Jika mengetahui anggota keluarga, kerabat, atau teman yang juga mengalami perundungan, kita pun harus siap menjadi support system yang siap membela, mendampingi, bahkan mengadvokasi korban lewat jalur hukum.
Dengan begitu, korban merasa tidak sendirian menghadapi perundungan.
Satu hal yang perlu diingat oleh Kawan Puan: Mereka yang melakukan perundungan, terutama di dunia maya, adalah seorang pengecut.
Sebab mereka kerap melakukannya secara berkeroyokan, dan selalu dipenuhi rasa cemburu terhadap kesenangan orang lain. (*)