Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Mekanismenya sistematis. Terjadi lewat lontaran-lontaran yang melecehkan perempuan.
Tentu saja seluruhnya menyebabkan perempuan tak nyaman, bahkan mengalami gangguan konsep diri.
Pernyataan Jiayu Liang ini relevan dengan laporan Amnesty International, 2018, berjudul “Toxic Twitter – A Toxic Place for Women”.
Dalam uraian lembaga ini disebutkan bahwa media sosial, dalam wujudnya Twitter, tak ubahnya sebagai ruang beracun bagi perempuan.
Baca Juga: Jadi Ruang Aman Perempuan, Ini Awal Cerita Berdirinya Podcast She Talks About
Pernyataan tersebut dihasilkan Amnesty International lewat penelitian yang dilakukan dalam kurun waktu 16 bulan terakhir. Dan itu diperkirakan terselenggara dalam periode tahun 2016-2017.
Penelitian berhasil mengungkap temuan-temuan kualitatif maupun kuantitatif, menyangkut pengalaman perempuan di platform media sosial.
Aktivitas yang khususnya dilakukan di Inggris dan Amerika Serikat ini, terutama menyangkut aspek skala, sifat, dan dampak kekerasan maupun pelecehan yang ditujukan pada perempuan di Twitter.
Bentuk pelecehan yang dimaksud antara lain, ancaman langsung atau tak langsung, kekerasan fisik atau seksual, pelecehan diskriminatif yang menargetkan satu atau lebih aspek identitas perempuan, pelecehan yang ditargetkan, dan pelanggaran privasi seperti doxing atau membagikan gambar seksual atau intim perempuan, tanpa persetujuannya.
Platform yang berslogan, “Setiap suara punya kekuatan untuk memengaruhi dunia” ini, pada kenyataannya benar-benar mampu memengaruhi dunia perempuan. Dalam bentuk pengaruh yang menyakitkan.