Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Akibatnya, alih-alih suara perjuangan perempuan dapat diperdengarkan lebih lantang di media sosial; perempuan justru menarik diri dari ruang publik digital.
Pelecehan dan kekerasan yang dialami membuat perempuan menyensor unggahannya sendiri.
Perempuan juga akhirnya membatasi interaksinya dengan pengguna yang lain, bahkan pergi tak untuk kembali, meninggalkan Twitter.
Perempuan dibisukan dari media sosial.
Amnesty International selanjutnya mengecam platform yang oleh pemilikinya sekarang, Elon Musk, disebut sebagai alun-alun demokrasi dunia, dengan pernyataan keras.
“Twitter gagal memenuhi tanggung jawabnya untuk menghormati hak-hak perempuan secara online.
Gagal melakukan penyelidikan secara memadai dan menanggapi laporan kekerasan maupun pelecehan secara transparan.”
Dan tepat di saat perempuan di seluruh dunia terbangunkan harapannya dan menggunakan kekuatan kolektifnya untuk berbicara, Twitter tak mampu mengawal hak asasi manusia secara memadai dan gagal menangani kekerasan maupun pelecehan pada perempuan.
Perempuan masuk dalam budaya diam. Demikian lembaga internasional ini menyesalkan.
Baca Juga: Cyberbullying: Bahagia dan Sedih Tetap Dicerca, Harus Stop Bermedsos?
Namun, nampaknya Twitter bukan platform media sosial terburuk, yang gagal melindungi perempuan dari berbagai keadaan toxic.
Merujuk pada laporan Plan International di tahun 2020, Reza Pahlevi dalam tulisannya “Pelecehan Perempuan di Twitter Lebih Rendah Dibanding Media Sosial Lain” (2022), justru menyebut Facebook sebagai tempat perempuan paling sering mengalami pelecehan.
Angka Facebook mencapai 39%. Ini kemudian diikuti Instagram 23%, WhatsApp 14%, Snapchat 10%, Twitter 9% dan Tiktok 6%.
Plan International melakukan penelitiannya terhadap 14.000 perempuan. Rentang usia respondennya 15-25 tahun, dan tersebar di berbagai negara seperti Brasil, Amerika Serikat, dan India.
Melawan dan mengakhiri pelecehan perempuan, sehingga ditemukan ruang aman di media sosial, bukan perkara mudah.
Pelecehan tampil dalam wujudnya dengan spektrum sangat samar hingga terang-terangan.
Beberapa di antaranya tak disadari. Dianggap hiburan yang lazim. Tak selalu diterima sebagai keadaan yang melecehkan perempuan.
Stereotyping perempuan yang hanya dapat ditenangkan dari kemarahannya dengan disodori setumpuk uang.
Atau perempuan yang memberi izin pasangannya melakukan aktivitas apapun di luar rumah, asal dirinya mendapat imbalan uang yang banyak.
Unggahan semacam itu sangat mudah ditemukan di media sosial, dan sering dianggap kelucuan belaka.
Jika perempuan tak tersinggung, tentu maksudnya karena tak ingin hal itu dianggap sebagai material yang perlu diributkan.
Namun yang mengkhawatirkan adalah jika hal seperti di atas lalu tak dianggap sebagai pelecehan yang serius.
Karenanya, baik unggahan yang melecehkan maupun pembisuan diri, janganlah dilanggengkan.
Yang juga menyesakkan adalah saat perempuan menceritakan kekerasan maupun pelecehan yang dialami di media sosial, mereka justru dipojokkkan. Bahkan oleh sesama perempuan.
Baca Juga: Perempuan dan Perannya Menjamin Kualitas dan Kenyamanan Jagat Digital
Media sosial sebagai ruang tak aman dan beracun, nyata adanya.
Upaya meminta pertolongan justru jatuh pada upaya isolasi dan pelecehan. Keadaan inilah yang harus dikikis.
Sebagaimana ruang publik analog yang harus terjamin keamanannya bagi siapapun, media sosial juga demikian.
Perempuan yang terjepit di ruang publik analog, tak seharusnya kembali dipojokkan di ruang publik digital.
Sebagian upaya perlindungannya ditentukan perempuan sendiri, sebagai pejuangnya. Namun semua pihak harus turut terlibat.
Kawan Puan, perlawanan pada keadaan tak aman di ruang-ruang media sosial, mutlak bagi siapa pun. Termasuk bagimu, perempuan. (*)