Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Risma menjadi salah satu politisi yang dianggap potensial untuk menjadi petinggi negara.
Sampai kemudian media menampilkan Risma dengan citra berbeda yang suka marah-marah layaknya emak-emak yang cerewet dan galak.
Tampilan ini disikapi berbeda ketika Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) memarahi pegawainya yang tidak becus bekerja.
Ahok dipersonifikasikan sebagai pemimpin yang tegas dan berani melawan birokrasi.
Namun, citra Risma didomestifikasi seperti ibu yang memarahi anaknya. Bukan sebagai citra pemimpin tegas yang menegur kesalahan pegawainya.
Baca Juga: Awali Karier Jadi PNS, Berikut Profil Menteri Sosial Tri Rismaharini
Lain lagi cerita sosok salah satu menteri Jokowi pada periode pertama kepresidenannya, Susi Pudjiastuti.
Debutnya sebagai menteri mengundang sorotan media bukan karena latar belakang Susi sebagai salah satu entrepreneur sukses di negeri ini, melainkan tingkah lakunya yang nyeleneh karena suka merokok dan memiliki tato.
Perempuan yang berada dalam lingkar politik jarang disoroti sebagai sosok yang memiliki pencapaian dan prestasi tertentu yang menyebabkan dirinya pantas menjadi sorotan.
Sebaliknya, yang paling sering ditonjolkan adalah hal-hal pribadi yang tidak memiliki kaitan dengan urusan politik.
Yang paling sering dieksplorasi tentang perempuan-perempuan yang berpolitik adalah bagaimana mereka membagi waktu antara kerja politik dan mengurus keluarga dan anak.
Hal yang sama tidak pernah ditanyakan pada politisi laki-laki meski mereka sudah beristri dan punya anak.
Bukan hanya mengembalikan dan mengaitkan “fungsi” serta “tugas” perempuan ke sektor domestik (rumah tangga), citra tubuh para politisi perempuan juga menjadi sasaran objektivikasi yang rawan pelecehan seksual.
Seperti pelecehan terhadap politisi Rahayu Saraswati pada pilkada Tangerang Selatan 2020, berbentuk komentar soal paha mulus serta pamer udel dalam maternity photography yang di-post di laman media sosial Sara.
Baca Juga: 4 Hal Penting Jika Ingin Jadi Politikus Perempuan Menurut Dyah Roro Esti
Harapan Bagi Politik Perempuan?
Perempuan diletakkan begitu jauh di luar ranah politik, seakan tempat yang paling pantas hanya di kisaran rumah dan isu terpenting tentang perempuan hanya terkait dengan tubuhnya.
Tidak ada eksplorasi dan eksposur besar-besaran dari media mainstream tentang keberhasilan perempuan yang membuatnya pantas diajukan sebagai calon pemimpin seperti ketika media memberikan eksposur berlebihan untuk politisi laki-laki.
Selayaknya pajangan, perempuan kerap difungsikan sebagai pendamping manis yang menyukseskan kerja politik laki-laki.
Pendamping (escort/spouse) tampaknya menjadi peran politik yang dianggap pantas untuk perempuan, bukan sebagai aktor utama yang ikut berkompetisi dan mengejar ambisi politik (Bates, 2014; Lawless & Fox, 2013).
Kondisi ini kian diperteguh sebab media mainstream ikut merepetisi pola ini dengan tidak memberikan porsi informasi yang berimbang untuk pencapaian perempuan, ditambah pula dengan peliputan aktivitas politik perempuan dalam narasi yang seksis (di Meco, 2019).
Baca Juga: Pemilu 2024 dan Identitas Politik Perempuan yang Kerap Termarjinalkan
Maka opini publik kian tajam bahwa perempuan memang tidak pantas berpolitik meski mereka memiliki kualitas yang bahkan lebih baik daripada laki-laki (Mo, 2015).
Kehadiran artificial intelligence/AI di ruang virtual memberikan harapan bahwa eksistensi teknologi dapat dimanfaatkan untuk mempersempit jurang kesenjangan gender.
Ini karena pemodelan bahasa AI semakin disempurnakan untuk bebas dari bias gender dan diskriminasi serta diprogram untuk mempromosikan kesetaraan.
Dengan demikian, AI dapat menjadi tool, alat, bagi perempuan untuk menggalang dukungan dan gerakan politik serta pemberdayaan.
AI mampu memberikan penilaian yang bias gender, sehingga politik bisa menjadi tempat bagi perempuan dan laki-laki untuk berkompetisi secara sehat lewat program politik yang ditawarkan kandidat, bukan karena faktor jenis kelamin. (*)