Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Sosok bakal calon presiden/wakil presiden (capres/cawapres) yang akan mengikuti kompetisi Pemilu 2024 mendatang kian seru untuk dibahas.
Apalagi waktu pendaftaran kepesertaan pemilu kian dekat, yakni pada Juli 2023 mendatang.
Banyak partai pun telah mengambil ancang-ancang dalam mendeklarasikan bakal capres/cawapres pilihan mereka.
Sebagian masih terlihat malu-malu menyatakan dukungan secara terang-terangan, sebab masih melihat nama-nama yang berseliweran dari beragam survei.
Menilik dari survei-survei yang beredar sejak 2022 silam, sebenarnya tak banyak perubahan dan kejutan seputar nama-nama yang memiliki popularitas dan elektabilitas sebagai bakal capres/cawapres.
Perubahan hanya terjadi pada kurva persentase yang naik-turun.
Baca Juga: Profil Yenny Wahid, Putri Gus Dur yang Diusung PSI Jadi Bakal Cawapres di Pemilu 2024
Hasil polling terbaru malah semakin menegaskan tertutupnya kemungkinan bagi nama-nama lain untuk bisa menjadi alternatif dari sosok-sosok yang sudah ramai dibicarakan.
Ketiadaan figur alternatif lain yang ditampilkan dalam survei-survei politik populer seakan menghentikan peluang untuk memunculkan wajah baru yang potensial untuk didukung sebagai calon pemimpin negara, terutama dari kalangan perempuan.
Survei-survei selama ini sungguh sangat maskulin, dengan tak pernah memuat nama-nama perempuan berkualitas lebih dari 5 orang dari sekitaran 20 nama yang beredar.
Padahal negeri ini tak kekurangan sosok perempuan berkelas yang juga pantas diusung sebagai capres/cawapres.
Sayangnya tidak ada political will dari partai politik yang ‘ditugaskan’ untuk mengusung nama-nama calon kepala negara untuk mempromosikan perempuan supaya masuk dalam bursa pencalonan.
Baca Juga: Perempuan Ingin Berkompetisi di Pemilu 2024? Ini Tips dari Ridwan Kamil
Yang Disoroti dari Perempuan
Tak dapat dipungkiri jika eksposur dan pemberitaan media menjadi cara tercepat bagi politisi untuk meraih popularitas.
Jangkauan siaran media yang luas serta kemudahan masyarakat dalam mengakses dan mengonsumsi informasi menjadikan siapa pun yang tengah disorot oleh media seketika menjelma sebagai tokoh penting.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah salah satu wujud keberhasilan eksposur media yang merepresentasikan image politiknya sebagai pemimpin rakyat kecil.
Dimulai dari pemberitaan beliau mendukung mobil listrik Esemka buatan para siswa sekolah menengah kejuruan semasa menjabat sebagai Walikota Solo, aksi blusukan masuk ke gorong-gorong ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, hingga tampilan outfit sederhana kemeja putih-celana hitam yang menjadi ‘baju kerja’ semasa menjadi presiden.
Jokowi adalah media darling yang liputannya selalu ditunggu.
Publisitasnya digaungkan sampai tinggi hingga menempati sampul depan majalah bergengsi TIME edisi Oktober 2014.
Tak luput pemberitaannya juga menggadang Jokowi sebagai harapan baru bagi kepemimpinan Indonesia yang selama ini cenderung feodal.
Eksposur Jokowi di media didukung momentum yang tepat dalam mengidentifikasikan citra politiknya sebagai rakyat kebanyakan.
Dukungannya terhadap industri otomotif buatan anak sekolahan, keluwesannya dalam berinteraksi dengan pedagang di pasar, kebiasaannya makan di warung. Semua ini menampilkan Jokowi sebagai sosok yang pro-rakyat kecil.
Baca Juga: Sosok Idza Priyanti, Bupati Perempuan Pertama di Brebes yang Menjabat hingga 10 Tahun
Cerita dari Sisi Perempuan
Di suatu waktu, Surabaya dipimpin oleh seorang walikota perempuan bernama Tri Rismaharini.
Kepiawaiannya memimpin Kota Pahlawan tersebut telah berhasil mengubah wajah Surabaya menjadi ramah dan aksesibel bagi masyarakat untuk saling bersosialisasi.
Risma pun berhasil menutup kawasan bordil terbesar Asia Tenggara, Gang Dolly, kemudian memberdayakan para perempuan yang dulunya bekerja dengan tidak layak di kawasan tersebut.
Atas segala upaya dan pencapaiannya, Risma diganjar penghargaan The City Mayors Foundation sebagai satu dari tiga walikota terbaik di dunia.
Prestasi Risma juga mengundang sorotan media dan menimbulkan decak kagum.
Risma menjadi salah satu politisi yang dianggap potensial untuk menjadi petinggi negara.
Sampai kemudian media menampilkan Risma dengan citra berbeda yang suka marah-marah layaknya emak-emak yang cerewet dan galak.
Tampilan ini disikapi berbeda ketika Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) memarahi pegawainya yang tidak becus bekerja.
Ahok dipersonifikasikan sebagai pemimpin yang tegas dan berani melawan birokrasi.
Namun, citra Risma didomestifikasi seperti ibu yang memarahi anaknya. Bukan sebagai citra pemimpin tegas yang menegur kesalahan pegawainya.
Baca Juga: Awali Karier Jadi PNS, Berikut Profil Menteri Sosial Tri Rismaharini
Lain lagi cerita sosok salah satu menteri Jokowi pada periode pertama kepresidenannya, Susi Pudjiastuti.
Debutnya sebagai menteri mengundang sorotan media bukan karena latar belakang Susi sebagai salah satu entrepreneur sukses di negeri ini, melainkan tingkah lakunya yang nyeleneh karena suka merokok dan memiliki tato.
Perempuan yang berada dalam lingkar politik jarang disoroti sebagai sosok yang memiliki pencapaian dan prestasi tertentu yang menyebabkan dirinya pantas menjadi sorotan.
Sebaliknya, yang paling sering ditonjolkan adalah hal-hal pribadi yang tidak memiliki kaitan dengan urusan politik.
Yang paling sering dieksplorasi tentang perempuan-perempuan yang berpolitik adalah bagaimana mereka membagi waktu antara kerja politik dan mengurus keluarga dan anak.
Hal yang sama tidak pernah ditanyakan pada politisi laki-laki meski mereka sudah beristri dan punya anak.
Bukan hanya mengembalikan dan mengaitkan “fungsi” serta “tugas” perempuan ke sektor domestik (rumah tangga), citra tubuh para politisi perempuan juga menjadi sasaran objektivikasi yang rawan pelecehan seksual.
Seperti pelecehan terhadap politisi Rahayu Saraswati pada pilkada Tangerang Selatan 2020, berbentuk komentar soal paha mulus serta pamer udel dalam maternity photography yang di-post di laman media sosial Sara.
Baca Juga: 4 Hal Penting Jika Ingin Jadi Politikus Perempuan Menurut Dyah Roro Esti
Harapan Bagi Politik Perempuan?
Perempuan diletakkan begitu jauh di luar ranah politik, seakan tempat yang paling pantas hanya di kisaran rumah dan isu terpenting tentang perempuan hanya terkait dengan tubuhnya.
Tidak ada eksplorasi dan eksposur besar-besaran dari media mainstream tentang keberhasilan perempuan yang membuatnya pantas diajukan sebagai calon pemimpin seperti ketika media memberikan eksposur berlebihan untuk politisi laki-laki.
Selayaknya pajangan, perempuan kerap difungsikan sebagai pendamping manis yang menyukseskan kerja politik laki-laki.
Pendamping (escort/spouse) tampaknya menjadi peran politik yang dianggap pantas untuk perempuan, bukan sebagai aktor utama yang ikut berkompetisi dan mengejar ambisi politik (Bates, 2014; Lawless & Fox, 2013).
Kondisi ini kian diperteguh sebab media mainstream ikut merepetisi pola ini dengan tidak memberikan porsi informasi yang berimbang untuk pencapaian perempuan, ditambah pula dengan peliputan aktivitas politik perempuan dalam narasi yang seksis (di Meco, 2019).
Baca Juga: Pemilu 2024 dan Identitas Politik Perempuan yang Kerap Termarjinalkan
Maka opini publik kian tajam bahwa perempuan memang tidak pantas berpolitik meski mereka memiliki kualitas yang bahkan lebih baik daripada laki-laki (Mo, 2015).
Kehadiran artificial intelligence/AI di ruang virtual memberikan harapan bahwa eksistensi teknologi dapat dimanfaatkan untuk mempersempit jurang kesenjangan gender.
Ini karena pemodelan bahasa AI semakin disempurnakan untuk bebas dari bias gender dan diskriminasi serta diprogram untuk mempromosikan kesetaraan.
Dengan demikian, AI dapat menjadi tool, alat, bagi perempuan untuk menggalang dukungan dan gerakan politik serta pemberdayaan.
AI mampu memberikan penilaian yang bias gender, sehingga politik bisa menjadi tempat bagi perempuan dan laki-laki untuk berkompetisi secara sehat lewat program politik yang ditawarkan kandidat, bukan karena faktor jenis kelamin. (*)