Film Vina: Sebelum 7 Hari Tidak Sensitif Isu Femisida dan Berisiko Menimbulkan Korban Berlapis

Rizka Rachmania - Minggu, 12 Mei 2024
Film Vina: Sebelum 7 Hari adalah contoh femisida di Indonesia dan berisiko menimbulkan korban berlapis.
Film Vina: Sebelum 7 Hari adalah contoh femisida di Indonesia dan berisiko menimbulkan korban berlapis. Instagram/ Vina Sebelum 7 Hari Movie

Parapuan.co - Film Vina: Sebelum 7 Hari karya sutradara Anggy Umbara bersama dengan rumah produksi Dee Company kini tengah viral dan jadi diskusi netizen dunia maya.

Mengusung genre horor berdasarkan kisah nyata pengalaman perempuan yang jadi korban kekerasan, film Vina: Sebelum 7 Hari disebut kurang sensitif terhadap korban.

Film Vina: Sebelum 7 Hari disebut memonetisasi dan mengeksplorasi pengalaman hidup seorang perempuan tanpa memberikan penghormatan pada korban dan penguatan pada masyarakat terhadap kasus yang sebenarnya terjadi.

Film yang mulai tayang di bioskop 8 Mei 2024 dan sudah meraup 1 juta lebih penonton dalam tiga hari penayangan ini sebenarnya mengusung isu yang cukup sensitif yakni femisida.

Namun karena lebih menonjolkan elemen horor dan kesedihan yang menjadi pengalaman hidup dari korban aslinya di dunia nyata pada 2016, film ini luput membahas tentang isu tersebut.

Bahkan, film yang dibintangi oleh sederet artis ternama, seperti Nayla Denny Purnama, Yusuf Mahardika, Gisellma Firmansyah, dan Delia Husein ini berisiko menjadikan Vina sebagai korban berlapis.

Tak hanya Vina jadi korban kekerasan atas kejadian yang ia alami pada tahun 2016 silam, kini setelah meninggal dan kisahnya difilmkan, Vina jadi korban kekerasan berbasis gender di ranah online.

Banyak komentar negatif, bahkan menuju sensual dan melecehkan yang dilontarkan untuk karakter Vina di dalam Vina: Sebelum 7 Hari tanpa menyadari bahwa ia Vina adalah perempuan yang ada di dunia nyata dan jadi korban.

"Jadi aku sepakat bahwa ini tidak sensitif dan tidak memberikan pendidikan pada publik bahwa ini adalah femisida, dan bahkan ada komentar netizen yang mengatakan, 'Makanya jangan menolak laki-laki' atau 'Kalau nolak laki-laki jangan kasar'," ucap Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan, dalam Instagram Live dengan Jakarta Feminist, Minggu, (12/05/2024).

Baca Juga: Komnas Perempuan Desak Pemerintah Bentuk Femisida Watch Imbas Kasus Pembunuhan Perempuan

Isu Femisida dalam Film Vina: Sebelum 7 Hari

Seorang remaja perempuan berusia 16 tahun ditemukan meninggal bersama dengan sang kekasih, awalnya diduga kecelakaan, namun ternyata mengarah pada pembunuhan.

Pembunuhan pada perempuan bernama Vina yang terjadi di kenyataan pada 2016 silam ini dilakukan oleh geng motor beranggotakan beberapa laki-laki.

Motif pembunuhan sekaligus pemerkosaan Vina oleh laki-laki geng motor ini adalah penolakan cinta, pihak laki-laki tersinggung, sehingga hal tersebut menjadi motif pembunuhannya.

Apa yang terjadi pada Vina sebenarnya adalah femisida, pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelamin atau gendernya oleh laki-laki dengan motif kebencian terhadap perempuan.

Perbedaan femisida dengan pembunuhan lainnya adalah adanya motivasi gender yang diakibatkan oleh budaya patriarki yang sampai saat ini masih melekat erat di masyarakat.

Salah satu motif femisida adalah ketersinggungan maskulinitas, dalam kasus Vina pelaku merasa tersinggung dan terlukai egonya sebagai laki-laki karena ditolak oleh seorang perempuan.

Menurut Siti Aminah Tardi, ketersinggungan maskulinitas ini mempunyai angka tertinggi sebagai motif melakukan femisida. Pemicunya adalah cemburu karena perempuan yang dicintai menolak cintanya.

"Kenapa cemburu bisa jadi motif pembunuh? Karena mengartikan ada kepemilikan perempuan, sehingga ketika perempuan dianggap tidak akan bisa lagi dikuasai atau dimiliki, maka yang dilakukan adalah memastikan yang dimiliki ada di kontrolnya," ucap Siti Aminah Tardi.

Baca Juga: Mengenal Gerakan 4B di Korea Selatan yang Viral di TikTok untuk Lawan Patriarki dan Misogini

"Cinta yang dipahami sebagai kepemilikan jadi emosi yang tidak sehat, tapi kembali lagi nilainya sebenarnya adalah patriarki," lanjutnya.

Selain ketersinggungan maskulinitas dan cemburu, motif femisida lainnya yaitu menolak bertanggung jawab, kekerasan seksual, menolak perceraian, atau pemutusan hubungan.

Rainy Hutabarat, Komisioner Komnas Perempuan motif-motif tersebut menggambarkan dominasi, superioritas, agresi, hegemoni, maupun misogini terhadap perempuan serta rasa memiliki perempuan.

Semua itu adalah bentuk dari ketimpangan relasi kuasa laki-laki terhadap perempuan yang sayangnya, masih terjadi di masyarakat di Indonesia.

Femisida intim, pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, atau mantan pacar menurut pengamatan Komnas Perempuan adalah yang paling tinggi terjadi.

Namun femisida non intim yang tidak melibatkan pasangan seperti yang terjadi pada kasus Vina pun sangat mungkin terjadi.

Dalam kasus Vina, laki-laki yang ditolaknya merasa tersinggung, tidak terima ditolak, cemburu dengan laki-laki lain yang dekat dengan Vina, sehingga semua itu jadi motif femisida.

Risiko Memunculkan Korban Berlapis

Baca Juga: Stop! Foto Anak Korban Kekerasan Seharusnya Tidak Disebar di Media Sosial

Sayangnya, luputnya film ini dalam membawa isu femisida sebagai bahan diskusi juga mengarah pada risiko menjadi Vina di dunia nyata yang sudah meninggal menjadi korban berlapis.

Banyak penonton yang menudingkan jari pada almarhumah Vina dan menyalahkannya mengapa ia menolak laki-laki pelaku pembunuhan dan pemerkosaan sambil meludah di depannya.

Lagi-lagi karena budaya patriarki yang menempatkan laki-laki pada posisi di atas perempuan, alhasil perempuan selalu diminta untuk hormat dan jangan sampai menyinggung egonya.

Vina, perempuan yang benar-benar mengalami pengalaman buruk tersebut di dunia nyata, dan kini sudah meninggal, lagi-lagi menjadi korban komentar negatif dari netizen yang menonton film berdasar kisahnya.

Bersembunyi di balik alasan 'belajar dari pengalaman Vina jangan menolak laki-laki dengan cara kasar' sebenarnya hal tersebut justru akan melanggenggkan patriarki dan membuat laki-laki makin ingin mengontrol perempuan.

"Ini orang meninggal, tapi kok kita mengatakan itu? Selama ini pula orang tua selalu mengatakan jangan kasar kalau menolak atau jangan meludah di depan laki-laki karena itu dianggap dulu tidak sopan," ucap Siti Aminah Tardi.

"Tapi semakin ke sini itu sebenarnya adalah cara mencegah ketersinggungan laki-laki, sehingga perempuan diminta jaga diri, bukan laki-laki yang diberi pemahaman kalau ditolak ya sudah jangan kemudian jadi motif menyakiti dan membunuh," lanjutnya.

Bahkan ada sebuah komentar di salah satu media sosial yang mengatakan mengapa Vina tidak mau saja diperkosa oleh para laki-laki di geng motor karena visualisasi laki-laki itu di film dianggap menarik dan cakep.

Hal itu sungguh menunjukkan bagaimana budaya patriarki memengaruhi pola pikir masyarakat, sehingga laki-laki akan terus punya kedudukan yang lebih tinggi dari perempuan, dipuja dan diagungkan.

Siti Aminah Tardi menegaskan bahwa film Vina: Sebelum 7 Hari tidak berkontribusi dalam membangun kesadaran bahwa ini bukan kesalahan perempuan, sehingga budaya patriarki akan terus langgeng dan isu femisida dikesampingkan.

Film Vina: Sebelum 7 Hari juga kurang sensitif terhadap pengalaman perempuan yang benar-benar menjadi korban di dunia nyata karena menampilkan adegan kekerasan seksual dan pembunuhannya.

Suara rekaman yang disebut itu adalah arwah Vina juga dimasukkan menjadi bagian dari film, diputar di bagian terakhir saat film sudah selesai.

Rekaman itu mendengarkan suara seorang perempuan yang konon katanya dirasuki oleh sosok Vina yang asli dan menceritakan kronologi kejadian sebenarnya bahwa ia bukan kecelakaan namun korban pemerkosaan dan pembunuhan.

Bahkan hingga saat ini, masih ada tiga orang pelaku femisida terhadap Vina yang belum berhasil ditangkap, bahkan tidak diketahui ke mana perginya.

Bagaimana pendapat Kawan Puan mengenai film Vina: Sebelum 7 Hari dan isu femisida yang jelas ada di dalamnya? Bagikan komentarmu.

Baca Juga: Apa Itu Femisida yang Berhubungan dengan Pembunuhan terhadap Perempuan

(*)

 

Penulis:
Editor: Rizka Rachmania


REKOMENDASI HARI INI

Rahasia Gaya Fun dan Edgy ala Julie Estelle, Ternyata Pakai Koleksi Lucu Ini