Anneila Firza Kadriyanti

Pengamat komunikasi politik gender; founder dan pegiat literasi digital Mari Melek Media; feminist blogger.

Kegagalan UU KIA Menghadirkan Peran Laki-Laki Sebagai Ayah dan Suami

Anneila Firza Kadriyanti Minggu, 9 Juni 2024
UU KIA sudah disahkan. Harusnya bisa mendorong para lelaki yang menjadi ayah untuk manfaatkan cuti ayah, paternity leave, untuk berbagi tugas perawatan.
UU KIA sudah disahkan. Harusnya bisa mendorong para lelaki yang menjadi ayah untuk manfaatkan cuti ayah, paternity leave, untuk berbagi tugas perawatan. geargodz

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Selama pengajuan cuti ini, ayah dan ibu dibayarkan 75% pendapatan bulanannya oleh sebuah lembaga yang disebut Quebec Parental Insurance Plan, dan pihak pemberi kerja memang tidak diwajibkan untuk membayarkan gaji pegawai yang mengajukan cuti melahirkan.

Cuti melahirkan di Swedia bahkan mengharuskan parental leave selama 480 hari (15,7 bulan) dengan mewajibkan ayah dan ibu untuk memiliki peran mengasuh dan mengurus anak di rumah.

Bahkan penduduk Swedia menganggap tabu bagi seorang ayah yang tidak mengambil parental leave dan tetap bekerja sementara anaknya baru lahir.

Cuti ini dapat dipakai secara bersamaan, atau dipakai bergantian (240 hari/7,8 bulan untuk cuti ayah, dan 240 hari cuti untuk ibu). Untuk orangtua tunggal, cuti bahkan diberikan lengkap 480 hari.

Mekanisme cuti ini menerapkan kesetaraan dan keadilan gender dengan menghadirkan ayah dalam kehidupan awal anak-anaknya.

Selain itu, keadilan gender juga tercipta karena perempuan dan laki-laki diharapkan memiliki peran dan kewajiban yang setara di bidang pekerjaan dan rumah tangga.

Data Organisation for Economic Co-Operation and Development (2024) memaparkan bahwa berkat penerapan cuti ayah dan ibu, ekonomi Swedia tergolong sangat maju sebab mampu menyerap hingga 90% tenaga kerja usia produktif (25-64 tahun).

UU KIA adalah UU yang Gagal

UU KIA gagal total menciptakan ekosistem dunia kerja yang berbasis keadilan dan kesetaraan gender.

Cuti melahirkan 3-6 bulan ini pastinya membikin waswas para pemberi kerja, terutama apabila perempuan bekerja di tempat yang sangat kompetitif yang mengutamakan efisiensi, efektivitas, produktivitas, dan tuntutan yang tinggi.

Cuti melahirkan akan dianggap sebagai sebuah penghambat produktivitas.

Pada akhirnya pemberi kerja akan berpikir ulang untuk memberikan pekerjaan pada perempuan karena khawatir di kemudian hari mereka akan melahirkan dan harus cuti dalam jangka waktu cukup lama.

Tidak hanya merugikan perempuan dalam mendapatkan pekerjaan, melainkan juga menghambat kesempatan mereka untuk meniti jenjang karier yang tinggi.

Hambatan terbesar perempuan untuk menduduki pucuk pimpinan tertinggi disebabkan karena adanya kewajiban domestik yang dibebankan hanya pada perempuan (terutama mengurus anak), sehingga perempuan tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk berkiprah di ranah publik.

Ketika hanya perempuan yang dituntut kontribusinya untuk mengurus anak, sedangkan laki-laki ayah sama sekali tidak diminta pertanggungjawabannya soal hal yang sama, banyak perempuan akhirnya harus meninggalkan karier dan pekerjaannya.

Sebab menyelesaikan pekerjaan di tempat kerja, sekaligus mengurus anak, membutuhkan fokus dan tuntutan yang tinggi.

Jika laki-laki sebagai ayah dan suami tidak dilegalkan perannya untuk ikut mengurus rumah tangga, yang terjadi adalah semua pekerjaan sektor domestik dan publik hanya diurus oleh perempuan.

Hanya robot yang dapat mengerjakan beban pekerjaan tersebut dalam waktu bersamaan.

Baca Juga: Survei Sebut Cuti Melahirkan Pengaruhi Keputusan Terima Tawaran Kerja

Maka pada akhirnya, demi menjaga kewarasan ibu, perempuan selalu menjadi pihak yang berhenti bekerja.

Sistem ini tidak memberikan keadilan pada perempuan. Sebab perempuan dituntut kontribusinya untuk menyeimbangkan perannya di tempat kerja dan di rumah tangga, namun laki-laki tidak dituntut untuk memiliki peran seimbang di rumah tangga dan di tempat kerja.

Pentingnya Menghadirkan Ayah

Kehadiran seorang ayah dalam tahap awal perkembangan anak berperan sangat signifikan.

Keterlibatan ayah dalam masa kanak-kanak terbukti mengurangi kadar kortisol (hormon penyebab rasa stres, kecemasan, dan ketidakbahagiaan) pada kehidupan manusia pada masa 30 tahun mendatang kehidupannya (Choi et al, 2022).

Kehadiran ayah pun mampu memberikan pengaruh emosi yang lebih baik dalam kehidupan manusia, seperti munculnya rasa aman, stabilitas, dan rasa cinta.

Jadi jika UU ini justru tidak menyebutkan peran laki-laki sebagai ayah dan suami dalam kehidupan awal perempuan dalam menjalankan perannya sebagai ibu, juga hadir dalam tahap perkembangan awal anaknya; maka tidak tepat jika undang-undang ini dinamakan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada 1000 Fase Pertama Kehidupan.

Sebaiknya UU ini diganti saja dengan nama Undang-Undang Eksploitasi Perempuan Untuk Tetap Bekerja di Sektor Publik Tapi Jangan Lupakan Tugas Domestik Terpenting Yaitu Mengurus Anak (UU Ekspektasi).

Kawan Puan setuju? (*)