Anneila Firza Kadriyanti

Pengamat komunikasi politik gender; founder dan pegiat literasi digital Mari Melek Media; feminist blogger.

Kegagalan UU KIA Menghadirkan Peran Laki-Laki Sebagai Ayah dan Suami

Anneila Firza Kadriyanti Minggu, 9 Juni 2024
UU KIA sudah disahkan. Harusnya bisa mendorong para lelaki yang menjadi ayah untuk manfaatkan cuti ayah, paternity leave, untuk berbagi tugas perawatan.
UU KIA sudah disahkan. Harusnya bisa mendorong para lelaki yang menjadi ayah untuk manfaatkan cuti ayah, paternity leave, untuk berbagi tugas perawatan. geargodz

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Parapuan.co - April 2022 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebagai Upaya untuk melindungi dan mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan seksual yang dominan dialami perempuan.

Tahun ini, DPR membuat gebrakan terbaru dengan mengesahkan UU KIA (Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1000 Hari Pertama Kehidupan) yang disemangati sebagai UU yang berpihak pada kepentingan perempuan.

Namun demikian, apakah UU KIA betul-betul sudah mengakomodasi kepentingan perempuan, terutama para perempuan ibu yang telah memiliki karier di sektor publik dan tetap ingin mempertahankan karier mereka walau sudah memiliki momongan?

UU KIA Masih Berperspektif Tradisional

Berdasarkan poin-poin yang termaktub dalam setiap pasal dan ayat, UU KIA ingin membawa semangat dengan memberikan kepastian hukum pada para perempuan ibu untuk tetap berkarier di sektor publik pada saat mereka telah melahirkan dan memiliki anak.

UU ini ingin menegaskan kehadiran negara dalam memberikan perlindungan kepada ibu bekerja agar tidak mengalami kesewenang-wenangan dari para pemberi kerja.

Sebab pascapersalinan, kondisi ibu memang sangat membutuhkan akomodasi dan perhatian khusus.

Sayangnya UU KIA secara keseluruhan masih jauh dari pencapaian untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender di tempat kerja antara perempuan dan laki-laki.

Pada akhirnya, UU ini tetap menegaskan peran domestik perempuan yang berkewajiban mengurus dan mengasuh anak, meskipun mereka sudah bekerja dan memiliki karier.

Baca Juga: RUU KIA Disahkan DPR RI, Ini Rincian Cuti Melahirkan untuk Ibu Bekerja

Undang-undang ini sangat sedikit sekali menyebut peran laki-laki sebagai suami dan ayah dalam proses kehamilan, kelahiran, dan setelah melahirkan.

UU KIA masih sangat berperspektif tradisional (jika tidak dapat disebut kuno) karena pembagian peran gender hanya menitikberatkan perempuan sebagai pihak yang harus mengurus anak.

UU KIA gagal menerapkan kesetaraan gender dalam berkeluarga yang seharusnya juga memberikan porsi dominan pada laki-laki ayah untuk ikut berperan dalam mengurus anak.

Undang-undang ini juga gagal menegaskan peran laki-laki sebagai suami untuk mendukung istrinya dalam menjalani proses kehamilan hingga pascapersalinan. Misalnya, adanya kewajiban suami untuk menjadi ayah ASI.

Bahkan cuti ayah hanya diberikan dua hari!

Padahal begitu banyak dinamika yang dialami perempuan setelah melahirkan. Perubahan bentuk tubuh, fluktuasi hormonal, hingga potensi perempuan mengalami sindrom baby blues atau postpartum.

Segala kesulitan ini belum termasuk pula dengan kerepotan lainnya, seperti pemulihan luka sehabis melahirkan, kewajiban bergadang dalam menyusui bayi, dan kerepotan lain yang tak habis-habis diuraikan satu per satu dalam artikel ini.

Kondisi-kondisi ini tak mungkin bisa selesai dalam waktu 2-3 hari.

Perempuan ibu membutuhkan pendampingan dan dukungan, dan peran suami adalah yang terpenting di antara semua significant others lainnya untuk memulihkan kesehatan fisik dan mentalitas perempuan.

Baca Juga: Pentingnya Pembagian Tugas Perawatan dan Manfaatnya untuk Anggota Keluarga

Sayangnya, negara justru tidak menghadirkan suami/ayah sebagai pihak utama (dan terkadang satu-satunya) yang dapat memberikan kesejahteraan bagi ibu dan anaknya. So shameful!

Polemik Cuti Melahirkan 6 Bulan

Bila orientasi negara dalam menciptakan UU ini adalah untuk menghadirkan generasi emas yang dimulai dari terbangunnya bonding antara anak dan orangtuanya, maka UU ini kandas secara substansial dan makna.

Sebab lagi-lagi UU ini menerapkan sudut pandang yang masih sangat primitif, yakni hanya menitikberatkan perempuan ibu sebagai pihak yang berperan dalam mengurus dan mengasuh anak.

Cuti wajib pun hanya diberikan tiga bulan, sedangkan tiga bulan lagi diberikan hanya apabila ada kondisi kesehatan tertentu yang merugikan ibu.

Mari kita bandingkan cuti melahirkan di negara-negara lain. Di Quebec, Kanada, terdapat tiga jenis cuti melahirkan:

  1. Maternity leave (untuk ibu),
  2. Paternity leave (untuk ayah),
  3. Parental leave (untuk ayah dan ibu).

Untuk maternity leave adalah selama 16 minggu (3,6 bulan) cuti sebelum menjelang lahiran, dan 20 minggu (4,6 bulan) setelah melahirkan.

Jumlah cuti ini dapat ditambahkan dengan parental leave selama 85 minggu (19,5 bulan/1,5 tahun).

Baca Juga: Tips Bonding dengan Bayi Bagi Ibu Bekerja yang Dapat Cuti Melahirkan 6 Bulan

Sedangkan cuti paternity leave adalah selama 78 minggu (17 bulan) dan dapat diperpanjang menjadi 85 minggu apabila mengambil paternity leave.

Selama pengajuan cuti ini, ayah dan ibu dibayarkan 75% pendapatan bulanannya oleh sebuah lembaga yang disebut Quebec Parental Insurance Plan, dan pihak pemberi kerja memang tidak diwajibkan untuk membayarkan gaji pegawai yang mengajukan cuti melahirkan.

Cuti melahirkan di Swedia bahkan mengharuskan parental leave selama 480 hari (15,7 bulan) dengan mewajibkan ayah dan ibu untuk memiliki peran mengasuh dan mengurus anak di rumah.

Bahkan penduduk Swedia menganggap tabu bagi seorang ayah yang tidak mengambil parental leave dan tetap bekerja sementara anaknya baru lahir.

Cuti ini dapat dipakai secara bersamaan, atau dipakai bergantian (240 hari/7,8 bulan untuk cuti ayah, dan 240 hari cuti untuk ibu). Untuk orangtua tunggal, cuti bahkan diberikan lengkap 480 hari.

Mekanisme cuti ini menerapkan kesetaraan dan keadilan gender dengan menghadirkan ayah dalam kehidupan awal anak-anaknya.

Selain itu, keadilan gender juga tercipta karena perempuan dan laki-laki diharapkan memiliki peran dan kewajiban yang setara di bidang pekerjaan dan rumah tangga.

Data Organisation for Economic Co-Operation and Development (2024) memaparkan bahwa berkat penerapan cuti ayah dan ibu, ekonomi Swedia tergolong sangat maju sebab mampu menyerap hingga 90% tenaga kerja usia produktif (25-64 tahun).

UU KIA adalah UU yang Gagal

UU KIA gagal total menciptakan ekosistem dunia kerja yang berbasis keadilan dan kesetaraan gender.

Cuti melahirkan 3-6 bulan ini pastinya membikin waswas para pemberi kerja, terutama apabila perempuan bekerja di tempat yang sangat kompetitif yang mengutamakan efisiensi, efektivitas, produktivitas, dan tuntutan yang tinggi.

Cuti melahirkan akan dianggap sebagai sebuah penghambat produktivitas.

Pada akhirnya pemberi kerja akan berpikir ulang untuk memberikan pekerjaan pada perempuan karena khawatir di kemudian hari mereka akan melahirkan dan harus cuti dalam jangka waktu cukup lama.

Tidak hanya merugikan perempuan dalam mendapatkan pekerjaan, melainkan juga menghambat kesempatan mereka untuk meniti jenjang karier yang tinggi.

Hambatan terbesar perempuan untuk menduduki pucuk pimpinan tertinggi disebabkan karena adanya kewajiban domestik yang dibebankan hanya pada perempuan (terutama mengurus anak), sehingga perempuan tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk berkiprah di ranah publik.

Ketika hanya perempuan yang dituntut kontribusinya untuk mengurus anak, sedangkan laki-laki ayah sama sekali tidak diminta pertanggungjawabannya soal hal yang sama, banyak perempuan akhirnya harus meninggalkan karier dan pekerjaannya.

Sebab menyelesaikan pekerjaan di tempat kerja, sekaligus mengurus anak, membutuhkan fokus dan tuntutan yang tinggi.

Jika laki-laki sebagai ayah dan suami tidak dilegalkan perannya untuk ikut mengurus rumah tangga, yang terjadi adalah semua pekerjaan sektor domestik dan publik hanya diurus oleh perempuan.

Hanya robot yang dapat mengerjakan beban pekerjaan tersebut dalam waktu bersamaan.

Baca Juga: Survei Sebut Cuti Melahirkan Pengaruhi Keputusan Terima Tawaran Kerja

Maka pada akhirnya, demi menjaga kewarasan ibu, perempuan selalu menjadi pihak yang berhenti bekerja.

Sistem ini tidak memberikan keadilan pada perempuan. Sebab perempuan dituntut kontribusinya untuk menyeimbangkan perannya di tempat kerja dan di rumah tangga, namun laki-laki tidak dituntut untuk memiliki peran seimbang di rumah tangga dan di tempat kerja.

Pentingnya Menghadirkan Ayah

Kehadiran seorang ayah dalam tahap awal perkembangan anak berperan sangat signifikan.

Keterlibatan ayah dalam masa kanak-kanak terbukti mengurangi kadar kortisol (hormon penyebab rasa stres, kecemasan, dan ketidakbahagiaan) pada kehidupan manusia pada masa 30 tahun mendatang kehidupannya (Choi et al, 2022).

Kehadiran ayah pun mampu memberikan pengaruh emosi yang lebih baik dalam kehidupan manusia, seperti munculnya rasa aman, stabilitas, dan rasa cinta.

Jadi jika UU ini justru tidak menyebutkan peran laki-laki sebagai ayah dan suami dalam kehidupan awal perempuan dalam menjalankan perannya sebagai ibu, juga hadir dalam tahap perkembangan awal anaknya; maka tidak tepat jika undang-undang ini dinamakan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada 1000 Fase Pertama Kehidupan.

Sebaiknya UU ini diganti saja dengan nama Undang-Undang Eksploitasi Perempuan Untuk Tetap Bekerja di Sektor Publik Tapi Jangan Lupakan Tugas Domestik Terpenting Yaitu Mengurus Anak (UU Ekspektasi).

Kawan Puan setuju? (*)