Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Mungkin peristiwa yang menghebohkan khalayak di bulan Juni ini, bukan yang pertama kali terkuak.
Dua ibu muda (AK dari Bekasi dan S dari Cileungsi, Bogor) ditangkap. Ini lantaran keduanya terungkap melakukan tindakan asusila dengan objek anak kandungnya yang masih di bawah umur.
Saat informasinya makin jelas, tetap tak mudah memahami peristiwa ini. Miris lebih dulu merayapi perasaan, dibanding pemahaman yang akhirnya terbentuk. Akal sehat berulang kali menampiknya.
CNNIndonesia.com, 8 Juni memberitakan peristiwa di atas dengan judul: “Geger 2 Kasus Ibu Cabuli Anak, Diiming-iming Uang dari Akun Facebook”, sedangkan Era.id pada pekan berikut mengungkapkannya dengan judul, “Polisi Akan Periksa Kesehatan Mental Ibu yang Cabuli Anak Kandung di Bekasi”.
Jika isi berita dipersepsi sebagai tindakan asusila belaka, mungkin bakal dimaknai sebagai “bentuk asusila lain” yang diungkap polisi.
Namun jika disimak subjek dan objeknya, kasus ini jadi sulit diterima dengan rasional. Bagaimana mungkin ada ibu yang tega mencabuli anak kandungnya?
Itu sebabnya polisi pun bertindak hati-hati dengan terlebih dulu hendak memeriksa kesehatan mental pelakunya.
Tindakan asusila seperti di atas, setelah sebagian rangkaiannya diungkap polisi, masuk dalam jenis kejahatan yang disebut sebagai sekstorsi.
Lewat definisi ini, posisi pemahaman beralih: dari tindakan asusila ke kejahatan; sedangkan pelakunya malih, dari pelaku kejahatan ke korban kejahatan.
Baca Juga: Kejahatan Seksual seperti Sextortion Terjadi di Kampus, Bagaimana Mengatasinya?