Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Permintaan ini makin melibatkan data privat. Hingga pada kesempatan yang makin intensif, permintaan foto dengan menanggalkan seluruh pakaian dari tubuhnya.
Lalu, dapat dipahami bahwa spektrum foto yang disimpan pemilik akun Facebook makin bernuansa privat. Tak elok, jika sampai terpublikasi ke khalayak luas.
Inilah yang kemudian digunakan untuk memeras AK dengan memaksanya membuat video asusila yang melibatkan sang anak kandung.
Saat AK berkeberatan, foto eksplisit itu digunakan untuk mengancamnya. Foto akan disebarluaskan ke orang-orang yang dikenal AK, maupun khalayak luas.
Tentu saja AK merasa gamang, bodoh, dan panik. Ini menjatuhkannya pada pilihan untuk menuruti permintaan pemilik akun Facebook itu. Hal serupa yang nampaknya terjadi pada korban lain.
Di belahan dunia lain, (sebelum sekstorsi menghebohkan Indonesia) sekelompok remaja di Inggris mengalami kejahatan sejenis.
The Guardian, 29 April 2024, menurunkan berita berjudul, “Teachers Warned to be on Lookout for Victims of Sextortion in UK Schools”.
Dikemukakan The Guardian, National Crime Agency (NCA) memperingatkan adanya geng-geng kriminal (kemudian diketahui berpusat di Afrika Barat dan Asia Tenggara) yang melakukan kejahatan dengan menggunakan gambar asli, maupun palsu, untuk memeras korbannya.
Kontak awal antara korban dan pemeras yang memanfaatkan media sosial, dimulai sebagai relasi wajar.
Baca Juga: Kekerasan Berbasis Gender Online Kian Marak, Menurut Studi Ini 4 Faktornya