Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Peran Media Sosial terhadap Sekstorsi
Terhadap peran media sosial yang memicu sekstorsi, Katie Pedersen dan Andreas Wesley, 2023, menguraikan mekanisme kejadiannya lewat artikel berjudul “Social Media Apps that Facilitate Sextortion, Blamed for Not Doing Enough to Prevent It”.
Keduanya menceritakan tentang Kyle (laki-laki gen Z berusia 19 tahun) yang dijerat jadi korban sekstorsi.
Seluruhnya berawal dari aktivitas yang berpusat di rumah selama masa pandemi Covid-19 di tahun 2020.
Kyle yang merasa jenuh dan kesepian mencoba mengatasinya dengan mengunduh aplikasi percakapan Kik. Alih-alih mendapat teman baru, dia justru bertemu dengan pemerasnya.
Kyle tak pernah menyangka, yang jadi teman terpercayanya adalah seorang pemeras. Ini lantaran sang pemeras pura-pura bersedia jadi kekasihnya.
Kyle yang mengidentifikasi diri sebagai gay, namun belum membuka diri kepada orang tua maupun kerabat, merasa memperoleh teman yang memahaminya.
Rasa percaya yang terbangun bertahap mendorong Kyle untuk lalu nyaman mengobrol dan berbagi foto dengan “kekasihnya” itu. Sampai kemudian terkirim jugalah video eksplisit, yang menyertakan wajahnya.
Rupanya ini yang ditunggu pemeras. Korban telah masuk jerat. Relasi pertemanan seketika berubah jadi pemerasan.
Baca Juga: Mengenal Apa Itu Revenge Porn, Kekerasan Seksual seperti Dialami Venna Melinda
Sang kekasih menunjukkan motif aslinya. Dia mengancam akan menyebarkan foto, video, salinan percakapan, maupun status gay Kyle, kepada orang tua dan kerabatnya.
Atau, seluruhnya dapat ditebus dengan mentransfer sejumlah uang. Operasi pemerasan berlangsung.
Nampak di atas, media sosial berkembang jadi tempat mempertukarkan identitas maupun motif palsu pemeras. Platform juga jadi sarana menggiring korban ke titik lemah.
Saat kepercayaan memuncak, saat itu pula operasi pemerasan dimulai. Data privat jadi pintu masuk penangguk keuntungan pemeras.
Pemerasan tak ditampik pengembang platform, seperti Meta maupun Snap Inc.
Kedua perusahaan ini telah memperbarui fitur keamanannya, sepanjang tahun 2023. Seluruhnya untuk memerangi sekstorsi, yang difasilitasi media sosial.
Namun upaya itu, dalam realitasnya belum memadai. Sekstorsi lewat media sosial justru makin jadi gejala yang luas.
Perbedaan dan Persamaan Sekstorsi di Indonesia dan Negara Lain
Jika dikomparasi, sekstorsi di Indonesia berbeda dengan yang terjadi di Inggris maupun Amerika, terutama dalam metode pemerasannya.
Baca Juga: Bukan Hanya Skimming, 2 Kejahatan Digital Ini Juga Perlu Diwaspadai
Sekstorsi di Indonesia dilakukan dengan mengumpan uang untuk korban yang jumlahnya melenakan. Umpan diikuti permintaan data yang makin privat.
Sesaat data privat telah diperoleh, operasi pemerasan dimulai. Dalam skenario ini korban dijadikan sebagai sumber daya produksi konten, yang ditransaksikan di pasar pornografi.
Pemeras tetap berkuasa, sepanjang ancamannya masih ditakuti.
Dalam kasus sekstorsi di negara lain, korban dijerat lewat sikap impulsifnya dalam berelasi.
Ini kemudian mengantarnya dalam kenyamanan pertemanan, yang menyebabkan diserahkannya data privat.
Pemerasan berlangsung, selama korban khawatir data privatnya bakal disebarluaskan.
Kesamaan dari keduanya adalah adanya data privat yang diincar pemeras. Data privat ini, jadi pintu masuk kejahatan.
Hal lain yang sama, pemerasan menyasar kelompok rentan: Perempuan marginal ekonomi dan laki-laki gen. Z impulsive yang kurang pengetahuan.
Keduanya terjerat dalam relasi yang dibangun lewat media sosial.
Saat data yang makin privat ada di tangan pemeras, dimulailah operasi pemerasan.
Baca Juga: Awas, Ini 4 Langkah Melindungi Diri Dari Penipuan Lewat Sosial Media
Dari cara kerja ini, mestinya pengembang platform media sosial telah menemukan pola operasi sekstorsi, sehingga sudah saatnya membentengi platform agar tak dimanfatkan pemeras.
Namun tentu saja, perempuan maupun laki-laki gen. Z yang jadi incaran pemeras perlu waspada saat berelasi di media sosial.
Tak sembarangan memberikan data privat demi sejumlah uang, maupun kenyamanan pertemanan.
Jika tidak, jeratan sekstorsi mengancam. Mengerikan bukan? (*)