Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Namun kewajaran dalam hitungan satu jam, berubah jadi aktivitas pemerasan manakala pemeras telah memperoleh data-data privat korbannya.
Motif finansial jadi satu-satunya alasan yang mendorong kejahatan.
Pemeras tak peduli pada korban yang dalam relasi itu hancur mentalnya, atau kehilangan nyawa dari bunuh diri akibat tertekan rasa tereksploitasi.
Karena kasus di atas, para guru di Inggris diminta mewaspadai tanda-tanda pada siswanya yang mungkin telah jadi korban sekstorsi.
Peringatan ini juga berkaitan dengan fakta yang diungkapkan NCA berdasar data US National Center for Missing and Exploited Children.
Data dari AS itu menyebut bahwa telah terjadi peningkatan mencapai 100% pada kejahatan sekstorsi.
Angka yang didasarkan laporan kejadian di AS menunjukkan bahwa kasus meningkat dari 10.731 menjadi 26.718, dalam kurun waktu tahun 1 tahun (2022-2023).
Meskipun semua jenis kelamin dan kelompok umur rentan jadi sasaran sekstorsi, realitanya lebih banyak siswa laki-laki yang diincar sebagai target.
Ini karena siswa laki-laki usia 14-18 tahun bersifat lebih terbuka di media sosial. Kelompok ini mudah menjalin relasi, bahkan dengan orang yang tak dikenalnya.
Baca Juga: Cara Melindungi Data Pribadi agar Terhindar dari Kejahatan Digital