Suara yang Terabaikan: Ini Realitas Suram Anak dalam Ancaman Kekerasan

Citra Narada Putri - Selasa, 23 Juli 2024
Kekerasan pada anak.
Kekerasan pada anak. (PORNCHAI SODA/Getty Images)

Perempuan dan anak perempuan Indonesia menjadi objek perdagangan seksual utamanya di Malaysia, Timur Tengah, dan Taiwan.

Mereka juga tak luput dari perdagangan di dalam negeri—khususnya ke lokasi operasi tambang di Maluku, Papua, dan Jambi—dan anak mengalami eksploitasi seksual di wilayah pariwisata di Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura dan di Bali.

Menurut hasil survei U-Report, eksploitasi seksual secara daring juga mengancam remaja.

Pekerja Anak

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menggambarkan pekerja anak sebagai “anak yang terlibat dalam pekerjaan yang merampas masa kanak-kanak, potensi, dan martabat seorang anak, dan yang berbahaya bagi perkembangan fisik dan mentalnya.”

Menurut ILO, perbedaan antara anak bekerja dan pekerja anak bergantung pada usia anak, jenis pekerjaan, dan lingkungan kerja.

Di Indonesia, anak berusia 12 tahun sekalipun dianggap dapat diminta mempertanggungjawabkan tindakannya secara hukum. Sayangnya, data pekerja anak di Indonesia tidak memadai; survei terbaru yang meluas adalah survei dari masa sepuluh tahun yang lalu.

Studi tahun 2019 menemukan bahwa orang tua dan masyarakat Indonesia tidak memahami perbedaan antara anak yang bekerja dan pekerja anak.

Sebuah survei tahun 2018, meski cakupannya terbatas, memperkirakan bahwa lebih dari 7 persen anak usia 10–17 tahun telah bekerja. Di pedesaan, pekerjaan terutama berada di sektor pertanian, sedangkan di perkotaan, pekerjaan utamanya berada di sektor jasa.

Baca Juga: Hari Anak Nasional: Isu Pekerja Anak di Indonesia dan Dampaknya bagi Global

Adapun sebagian besar anak yang harus bekerja berasal dari keluarga miskin, yang tujuannya untuk menambah pendapatan keluarga. Anak lelaki juga lebih mungkin terlibat sebagai pekerja anak dibandingkan anak perempuan.

Dampak Kekerasan Anak terhadap Kemunduran Bangsa 

Kekerasan-kekerasan ini tidak hanya menimbulkan kerugian, penderitaan dan penghinaan terhadap anak-anak, tapi pada kasus terburuk juga bisa membunuh mereka.

Semua anak berhak atas perlindungan dari kekerasan, apapun sifat atau tingkat keparahan tindakannya.

Dan penting untuk diingat bahwa segala bentuk kekerasan dapat menimbulkan kerugian pada anak, menurunkan rasa harga dirinya, merendahkan martabatnya dan menghambat perkembangannya.

Di sisi lain, penurunan prevalensi perkawinan usia anak memang patut diapresiasi.

Namun, tren melandainya penurunan ini dalam beberapa tahun terakhir menjadi alarm pengingat bahwa upaya pencegahan dan penanggulangan perkawinan usia anak harus terus digencarkan.

Perkawinan usia anak bukan hanya merenggut masa depan anak-anak, tetapi juga menghambat kemajuan bangsa.

Penting untuk diingat bahwa anak-anak adalah generasi penerus bangsa, yang mana masa depan bertumpu pada pundak mereka.

Oleh karena itu, melindungi anak-anak adalah investasi penting untuk membangun masa depan bangsa yang lebih baik.

(*)

Baca Juga: 5 Upaya Mencegah serta Melawan Kekerasan dan Perkawinan Anak di Lingkungan Keluarga



REKOMENDASI HARI INI

Suara yang Terabaikan: Ini Realitas Suram Anak dalam Ancaman Kekerasan