Suara yang Terabaikan: Ini Realitas Suram Anak dalam Ancaman Kekerasan

Citra Narada Putri - Selasa, 23 Juli 2024
Kekerasan pada anak.
Kekerasan pada anak. (PORNCHAI SODA/Getty Images)

Parapuan.co - Masa kanak-kanak seharusnya menjadi masa yang penuh dengan keceriaan dan tawa. Namun, bagi jutaan anak di seluruh dunia, kenyataan pahit menunjukkan hal yang berbeda.

Kekerasan terhadap anak, dalam berbagai bentuknya, masih menjadi ancaman nyata yang membayangi masa depan mereka.

Bahkan, kekerasan bukan hanya dalam bentuk fisik, seksual dan emosional saja, tapi juga termasuk pada penelantaran dan perampasan.

Ironisnya, kekerasan ini dapat terjadi dimana saja, bahkan di tempat yang seharusnya aman bagi anak-anak.

Kekerasan dan Perundungan terhadap Anak

Hal ini didukung oleh temuan UNICEF yang mengatakan bahwa kekerasan terhadap anak di Indonesia masih menjadi masalah serius.

Pada tahun 2020, UNICEF melaporkan bahwa kekerasan fisik, seksual, dan emosional terhadap anak-anak terjadi di berbagai lingkungan, termasuk rumah, sekolah, dan komunitas.

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), tercatat pada rentang Januari hingga Juni 2024, terdapat 7.842 kasus kekerasan terhadap anak. Lebih rinci, terdapat 5.552 korban anak perempuan dan 1.930 korban anak laki-laki.

Dimana kasus kekerasan seksual menempati urutan pertama dari jumlah korban terbanyak sejak tahun 2019 sampai tahun 2024.

Baca Juga: Bahaya Mengancam, Ini 5 Cara Mencegah Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Parapuan (@cerita_parapuan)

Survei nasional mengenai kekerasan terhadap anak, dilaksanakan pada tahun 2018 oleh
Kementerian PPPA, menemukan bahwa 62 persen anak perempuan dan lelaki mengalami satu atau lebih dari satu bentuk kekerasan sepanjang hidupnya.

Survei itu juga menemukan bahwa satu dari 11 anak perempuan dan satu dari 17 anak lelaki mengalami kekerasan seksual. Serta tiga dari lima anak perempuan dan separuh dari semua anak lelaki mengalami kekerasan emosional.

Anak-anak Indonesia mengalami berbagai bentuk kekerasan di lingkungan yang seharusnya aman dan di tangan orang yang seharusnya dapat mereka percayai.

Bagaimana tidak, sejumlah besar pelaku melakukan kekerasan terhadap anak adalah anggota keluarga, pasangan intim, guru, tetangga, orang asing dan anak-anak lainnya.

Data terbaru UNICEF juga mengungkap bahwa anak Indonesia terpapar baik agresi psikologis maupun hukuman fisik di rumah.

Survei UNICEF tahun 2018 juga menemukan bahwa 41 persen dari anak 15 tahun di Indonesia mengalami perundungan di sekolah minimal beberapa kali dalam sebulan, dan melibatkan kekerasan fisik dan psikologis.

Perundungan, baik fisik maupun psikologis, termasuk yang dilakukan melalui media sosial,
adalah permasalahan yang semakin mengemuka di kalangan remaja Indonesia.

Studi Kementerian PPPA menyimpulkan bahwa 12–15 persen anak lelaki dan perempuan usia 13–17 tahun pernah mengalami kekerasan melalui media daring dalam 12 bulan terakhir.

Kekerasan terhadap anak oleh guru juga merupakan isu yang signifikan, yang mana 20 persen murid lelaki dan 75 persen murid perempuan melaporkan pernah dipukul, ditampar, atau dengan sengaja dilukai secara fisik oleh guru dalam 12 bulan terakhir.

Baca Juga: Berdampak Buruk bagi Fisik dan Mental, Kenali Jenis Kekerasan pada Anak

Praktik Budaya yang Merugikan

Perkawinan usia anak, di mana salah satu pihak berusia di bawah 18 tahun, merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang dilarang keras oleh hukum internasional.

Di Indonesia, meskipun prevalensinya menunjukkan tren penurunan, angka perkawinan usia anak (terutama pada anak perempuan) masih tergolong memprihatinkan.

Data tahun UNICEF (2018) menunjukkan bahwa 11,2% perempuan berusia 20-24 tahun (sekitar 1,2 juta orang) telah menikah sebelum usia 18 tahun, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan angka perkawinan usia anak tertinggi di kawasan. Ironisnya lagi, anak perempuan di pedesaan dua kali lebih berisiko terjerat dalam pernikahan dini dibandingkan anak di perkotaan.

Kemiskinan pun kian memperparah situasi, dengan anak-anak dari keluarga miskin tiga kali lebih berpotensi menikah di usia yang seharusnya mereka nikmati masa belajar dan bermain.

Perdagangan Anak dan Eksploitasi Seksual

Sebuah fakta mengejutkan, ternyata Indonesia adalah salah satu sumber (serta negara tujuan dan transit) utama dalam perdagangan manusia—termasuk anak—untuk tujuan eksploitasi seksual dan tenaga kerja.

Pada tahun 2018, jumlah warga negara Indonesia yang diperdagangkan di luar negeri adalah signifikan, termasuk di Asia dan Timur Tengah. Mereka ditempatkan sebagai pekerja rumah tangga, pabrik, proyek konstruksi, dan masih banyak lagi.

Baca Juga: Cegah Kejahatan Seksual pada Anak, 5 Bagian Tubuh Ini Tak Boleh Disentuh Orang Asing

Perempuan dan anak perempuan Indonesia menjadi objek perdagangan seksual utamanya di Malaysia, Timur Tengah, dan Taiwan.

Mereka juga tak luput dari perdagangan di dalam negeri—khususnya ke lokasi operasi tambang di Maluku, Papua, dan Jambi—dan anak mengalami eksploitasi seksual di wilayah pariwisata di Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura dan di Bali.

Menurut hasil survei U-Report, eksploitasi seksual secara daring juga mengancam remaja.

Pekerja Anak

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menggambarkan pekerja anak sebagai “anak yang terlibat dalam pekerjaan yang merampas masa kanak-kanak, potensi, dan martabat seorang anak, dan yang berbahaya bagi perkembangan fisik dan mentalnya.”

Menurut ILO, perbedaan antara anak bekerja dan pekerja anak bergantung pada usia anak, jenis pekerjaan, dan lingkungan kerja.

Di Indonesia, anak berusia 12 tahun sekalipun dianggap dapat diminta mempertanggungjawabkan tindakannya secara hukum. Sayangnya, data pekerja anak di Indonesia tidak memadai; survei terbaru yang meluas adalah survei dari masa sepuluh tahun yang lalu.

Studi tahun 2019 menemukan bahwa orang tua dan masyarakat Indonesia tidak memahami perbedaan antara anak yang bekerja dan pekerja anak.

Sebuah survei tahun 2018, meski cakupannya terbatas, memperkirakan bahwa lebih dari 7 persen anak usia 10–17 tahun telah bekerja. Di pedesaan, pekerjaan terutama berada di sektor pertanian, sedangkan di perkotaan, pekerjaan utamanya berada di sektor jasa.

Baca Juga: Hari Anak Nasional: Isu Pekerja Anak di Indonesia dan Dampaknya bagi Global

Adapun sebagian besar anak yang harus bekerja berasal dari keluarga miskin, yang tujuannya untuk menambah pendapatan keluarga. Anak lelaki juga lebih mungkin terlibat sebagai pekerja anak dibandingkan anak perempuan.

Dampak Kekerasan Anak terhadap Kemunduran Bangsa 

Kekerasan-kekerasan ini tidak hanya menimbulkan kerugian, penderitaan dan penghinaan terhadap anak-anak, tapi pada kasus terburuk juga bisa membunuh mereka.

Semua anak berhak atas perlindungan dari kekerasan, apapun sifat atau tingkat keparahan tindakannya.

Dan penting untuk diingat bahwa segala bentuk kekerasan dapat menimbulkan kerugian pada anak, menurunkan rasa harga dirinya, merendahkan martabatnya dan menghambat perkembangannya.

Di sisi lain, penurunan prevalensi perkawinan usia anak memang patut diapresiasi.

Namun, tren melandainya penurunan ini dalam beberapa tahun terakhir menjadi alarm pengingat bahwa upaya pencegahan dan penanggulangan perkawinan usia anak harus terus digencarkan.

Perkawinan usia anak bukan hanya merenggut masa depan anak-anak, tetapi juga menghambat kemajuan bangsa.

Penting untuk diingat bahwa anak-anak adalah generasi penerus bangsa, yang mana masa depan bertumpu pada pundak mereka.

Oleh karena itu, melindungi anak-anak adalah investasi penting untuk membangun masa depan bangsa yang lebih baik.

(*)

Baca Juga: 5 Upaya Mencegah serta Melawan Kekerasan dan Perkawinan Anak di Lingkungan Keluarga



REKOMENDASI HARI INI

Suara yang Terabaikan: Ini Realitas Suram Anak dalam Ancaman Kekerasan