Kaitan antara Gang Rape dan Toxic Masculinity yang Merugikan Perempuan

Arintha Widya - Kamis, 19 September 2024
Gang rape dan kaitannya dengan toxic masculinity yang merugikan perempuan.
Gang rape dan kaitannya dengan toxic masculinity yang merugikan perempuan. okanmetin

Parapuan.co - Kawan Puan, sebagian besar darimu mungkin mengikuti kasus Vina Cirebon yang hampir satu dekade silam mengalami gang rape atau pemerkosaan berkelompok.

Kasus Vina kembali diselidiki lantaran kisahnya diangkat ke layar lebar dalam film Vina: Sebelum 7 Hari (2024).

Gang rape ini bukan satu-satunya kasus di Indonesia. Masih banyak kasus pemerkosaan berkelompok lainnya yang sebagian berujung pada pembunuhan.

Misalnya saja kasus Yuyun, siswi SMP asal Bengkulu yang mengalami gang rape oleh 14 remaja pada tahun 2016 silam.

Terbaru, yaitu kasus siswi SMP di Palembang yang juga mengalami gang rape oleh empat orang tersangka.

Berbagai kasus gang rape yang terjadi ini seorang mengingatkan kembali pada kita akan urgensi toxic masculinity yang merugikan perempuan.

Lantas, apa hubungan antara gang rape dan toxic masculinity di mana perempuan kerap menjadi korban?

Heru Susetyo, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengungkapkan sejumlah korelasi antara gang rape dan toxic masculinity seperti dirangkum dari Kompas.com berikut ini!

Apa Itu Gang Rape?

Baca Juga: Kejahatan Seksual seperti Sextortion Terjadi di Kampus, Bagaimana Mengatasinya?

Gang rape, atau pemerkosaan berkelompok, merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual paling brutal yang secara signifikan merusak martabat dan kesejahteraan manusia, khususnya perempuan.

Chauhan & Garg (2023) menyebut gang rape tidak hanya sekadar kejahatan fisik, tetapi juga psikologis, yang meninggalkan trauma mendalam dan berkepanjangan bagi korban.

Kejahatan ini sering kali dipengaruhi oleh kekuatan sosial, budaya, dan ideologi yang mendukung dominasi laki-laki atau maskulinitas toksik.

Gang Rape dan Kekuasaan Patriarkal

Pemerkosaan berkelompok sering terjadi sebagai upaya untuk menunjukkan kekuasaan dan dominasi atas perempuan.

Maskulinitas beracun (toxic masculinity) merujuk pada pola perilaku yang menekankan dominasi, kekerasan, dan penekanan terhadap kelembutan atau empati.

Gang rape merupakan salah satu ekspresi ekstrem dari maskulinitas beracun ini, di mana para pelaku menganggap bahwa mereka memiliki hak atas tubuh perempuan sebagai bentuk kontrol dan kekuasaan.

Dalam beberapa kasus, pemerkosaan ini bahkan tidak didorong oleh hasrat seksual, tetapi lebih sebagai upaya untuk menegaskan superioritas mereka sebagai laki-laki.

Tekanan Kelompok dan Solidaritas dalam Kejahatan

Baca Juga: Memahami Gentingnya Fenomena Molka di Korea Usai Dugaan Kejahatan Seksual Taeil Eks NCT

Gang rape sering terjadi dalam konteks tekanan teman sebaya dan solidaritas kelompok.

Nur Aisyah (2022) menjelaskan bahwa solidaritas di antara anggota kelompok dapat memaksa mereka untuk ikut serta dalam kekerasan, meskipun awalnya tidak berencana melakukannya.

Dalam budaya yang mendorong maskulinitas beracun, laki-laki diajarkan untuk selalu menjadi dominan dan "pemenang" dalam segala hal, termasuk dalam kekerasan.

Ketakutan akan dianggap "pengecut" jika menolak untuk ikut dalam pemerkosaan berkelompok sering kali menjadi motivasi kuat bagi para pelaku.

Konsekuensi dari gang rape ini sangat merugikan perempuan, yang tidak hanya mengalami kekerasan fisik tetapi juga trauma psikologis yang mendalam.

Pelaku sering kali tidak peduli dengan penderitaan korban, lebih fokus pada reputasi mereka sebagai laki-laki dominan di hadapan anggota kelompok lain.

Hal ini memperkuat konsep maskulinitas hegemonik yang menempatkan dominasi atas perempuan sebagai inti dari identitas maskulin mereka.

Efek Bystander dan Kurangnya Empati

Sikap tidak berperikemanusiaan atau "bystander effect" juga muncul dalam kasus gang rape.

Baca Juga: PP No 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan Disahkan, Ini Dampak Melahirkan Anak Hasil Pemerkosaan

Dalam situasi ini, para pelaku tidak hanya bergantian menyerang korban, tetapi juga mengamati pelaku lain tanpa rasa bersalah.

Hal ini mencerminkan minimnya empati dan rasa kemanusiaan di antara para pelaku, yang terperangkap dalam budaya kekerasan yang meresap di dalam kelompok mereka.

Budaya permisif ini terjadi ketika masyarakat gagal mengutuk dan menghukum perilaku kekerasan, sehingga menciptakan lingkungan di mana tindakan seperti gang rape dapat terjadi berulang kali tanpa konsekuensi yang serius.

Norma sosial yang tidak adil terhadap perempuan dan anak perempuan memperburuk situasi ini, memberikan ruang bagi maskulinitas beracun untuk berkembang.

Dampak Sosial dan Upaya Perubahan

Gang rape tidak hanya melukai individu, tetapi juga menandakan adanya masalah struktural dalam masyarakat yang lebih luas.

Maskulinitas beracun, yang terus didukung oleh norma patriarkal, berkontribusi pada ketidakadilan gender yang merugikan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.

Hal ini menuntut reformasi menyeluruh dalam cara masyarakat mendidik, membesarkan, dan memandang peran gender.

Mengatasi masalah ini memerlukan pemahaman yang mendalam tentang akar permasalahannya, termasuk pendidikan yang menanamkan nilai-nilai kesetaraan gender dan keadilan.

Tanpa upaya serius untuk mengubah budaya ini, kekerasan seksual seperti gang rape akan terus menjadi ancaman bagi perempuan di seluruh dunia.

Kesimpulannya, gang rape adalah manifestasi keji dari maskulinitas beracun atau toxic masculinity yang merugikan perempuan secara fisik, emosional, dan sosial.

Apabila Kawan Puan mengalami, melihat orang lain mengalami, atau mencurigai potensi sekelompok orang menjadi pelaku kejahatan ini, segeralah melapor ke pihak berwajib atau hubungi hotline layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp 08-111-129-129 KemenPPPA.

Baca Juga: Mengenal Apa Itu Toxic Masculinity dan Contohnya dalam Kehidupan Sehari-hari

(*)

Sumber: Kompas.com
Penulis:
Editor: Arintha Widya


REKOMENDASI HARI INI

Selain Meningkatkan Trombosit, Ini Manfaat Jambu Biji untuk Kesehatan