Di berbagai negara, terdapat ketentuan khusus yang umumnya berlaku bagi pekerja perempuan, seperti persyaratan untuk "belum menikah" atau "tidak memiliki anak."
Persyaratan diskriminatif seperti ini mengimplikasikan bahwa status pernikahan atau peran sebagai ibu dianggap sebagai penghalang produktivitas.
Akibatnya, perempuan yang memenuhi syarat secara akademis atau profesional pun seringkali menghadapi kesulitan saat melamar pekerjaan, karena ada anggapan bahwa mereka akan sulit menyeimbangkan peran rumah tangga dan karier.
Stigma ini pada akhirnya memperbesar risiko perempuan untuk tetap berada dalam kondisi pengangguran atau bekerja di bawah standar kemampuan mereka.
Komnas.perempuan.go.id menyoroti bahwa dalam perlindungan terhadap perempuan pekerja, kebijakan yang ada masih fokus pada perlindungan fisik dan efek langsungnya.
Hal ini menyulitkan pelacakan terhadap kekerasan berbasis gender di tempat kerja, termasuk pelecehan seksual yang seringkali memberikan dampak jangka panjang bagi korban.
Selain itu, perempuan pekerja juga sering mengalami keterbatasan akses terhadap hak-hak maternitas dan kesehatan reproduksi, seperti kesulitan mendapatkan cuti hamil atau melahirkan serta jaminan kondisi kerja yang aman saat menstruasi, hamil, atau menyusui.
Baca Juga: Upaya Penanggulangan Pengangguran dan Peningkatan Keterampilan Kerja di Indonesia
Ironisnya, dampak buruk ini kerap dikategorikan sebagai risiko kerja dan bukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), sehingga tidak dianggap sebagai tanggung jawab pemberi kerja.
Lebih lanjut, Komnas Perempuan mengamati adanya beberapa pelanggaran HAM yang dilakukan negara secara tidak langsung, antara lain: kurangnya regulasi hukum yang melindungi perempuan pekerja dari kekerasan dan pelecehan.