Di berbagai belahan dunia, perempuan sering kali menghadapi tantangan lebih besar dibandingkan laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, meskipun ada kemajuan di sejumlah sektor.
Namun, hambatan struktural tetap menghalangi perempuan untuk meraih kesetaraan posisi, memperlebar kesenjangan pengangguran antar-gender.
World Economic Forum mencatat, kesenjangan pengangguran antara perempuan dan laki-laki paling tinggi terjadi di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara dengan rasio paritas sebesar 2,69.
Artinya, perempuan di kawasan ini dua kali lipat lebih mungkin mengalami pengangguran dibandingkan laki-laki.
Kesenjangan serupa juga terlihat di Amerika Latin dan Karibia dengan paritas 1,51 persen serta di Eurasia dan Asia Tengah pada 1,21 persen.
Asia Timur dan Pasifik menjadi satu-satunya kawasan dengan paritas di bawah 1,0 persen, menandakan bahwa di wilayah ini, angka pengangguran perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
Kesenjangan yang tinggi di beberapa kawasan ini tidak terlepas dari norma sosial dan ekonomi yang menghambat perempuan untuk bekerja.
Di beberapa negara, perempuan dihadapkan pada aturan ketat yang membatasi pilihan pekerjaan mereka atau bahkan melarang mereka bekerja di luar rumah
Baca Juga: Pencari Lowongan Kerja Perlu Tahu, Apa Itu Istilah Screening Test?
Tingkat Pengangguran di Indonesia
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia untuk perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan yang cukup konsisten.
Pada tahun 2021, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) untuk laki-laki adalah 6,74 persen, sementara untuk perempuan sedikit lebih rendah di angka 6,11 persen.
Pada tahun 2022, angka ini menurun menjadi 5,93 persen untuk laki-laki dan 5,75 persen untuk perempuan.
Kemudian, pada tahun 2023, tingkat pengangguran laki-laki turun ke 5,42 persen, sedangkan perempuan berada pada angka 5,15 persen.
Meskipun penurunan ini menunjukkan adanya perbaikan dalam penyerapan tenaga kerja, tantangan utama bagi perempuan masih tetap ada.
Data BPS ini menunjukkan bahwa perempuan masih berisiko lebih besar mengalami pengangguran di dunia kerja.
Khususnya di sektor-sektor pekerjaan dengan persyaratan yang diskriminatif terhadap kondisi perempuan, seperti status pernikahan atau menjadi ibu.
Baca Juga: Agar Produktif, Rupanya Ini yang Dibutuhkan Pekerja Gen Z dari Perusahaan
Diskriminasi Syarat Pekerjaan yang Memperburuk Situasi
Diskriminasi berbasis gender terus menjadi salah satu tantangan terbesar bagi perempuan dalam mendapatkan akses yang setara ke dunia kerja.
Di berbagai negara, terdapat ketentuan khusus yang umumnya berlaku bagi pekerja perempuan, seperti persyaratan untuk "belum menikah" atau "tidak memiliki anak."
Persyaratan diskriminatif seperti ini mengimplikasikan bahwa status pernikahan atau peran sebagai ibu dianggap sebagai penghalang produktivitas.
Akibatnya, perempuan yang memenuhi syarat secara akademis atau profesional pun seringkali menghadapi kesulitan saat melamar pekerjaan, karena ada anggapan bahwa mereka akan sulit menyeimbangkan peran rumah tangga dan karier.
Stigma ini pada akhirnya memperbesar risiko perempuan untuk tetap berada dalam kondisi pengangguran atau bekerja di bawah standar kemampuan mereka.
Komnas.perempuan.go.id menyoroti bahwa dalam perlindungan terhadap perempuan pekerja, kebijakan yang ada masih fokus pada perlindungan fisik dan efek langsungnya.
Hal ini menyulitkan pelacakan terhadap kekerasan berbasis gender di tempat kerja, termasuk pelecehan seksual yang seringkali memberikan dampak jangka panjang bagi korban.
Selain itu, perempuan pekerja juga sering mengalami keterbatasan akses terhadap hak-hak maternitas dan kesehatan reproduksi, seperti kesulitan mendapatkan cuti hamil atau melahirkan serta jaminan kondisi kerja yang aman saat menstruasi, hamil, atau menyusui.
Baca Juga: Upaya Penanggulangan Pengangguran dan Peningkatan Keterampilan Kerja di Indonesia
Ironisnya, dampak buruk ini kerap dikategorikan sebagai risiko kerja dan bukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), sehingga tidak dianggap sebagai tanggung jawab pemberi kerja.
Lebih lanjut, Komnas Perempuan mengamati adanya beberapa pelanggaran HAM yang dilakukan negara secara tidak langsung, antara lain: kurangnya regulasi hukum yang melindungi perempuan pekerja dari kekerasan dan pelecehan.
Kurangnya pencegahan dan tindakan efektif terhadap kekerasan yang terjadi secara berulang, serta lemahnya pengawasan ketenagakerjaan, terutama dalam pemenuhan HAM bagi perempuan bekerja.
Komnas Perempuan menekankan pentingnya kerangka uji tuntas untuk memastikan negara menjalankan kewajibannya dalam melindungi perempuan karier dari diskriminasi serta memberikan perlindungan menyeluruh.
Pengaruh Tingkat Pendidikan dalam Risiko Pengangguran Perempuan
Tingkat pendidikan ternyata juga memengaruhi risiko pengangguran perempuan, meskipun dengan pola yang berbeda di setiap negara.
Di negara-negara maju, perempuan dengan tingkat pendidikan rendah sering kali lebih sulit mendapatkan pekerjaan.
Hal ini terkait dengan standar kualifikasi yang tinggi, di mana keterampilan teknis dan pendidikan menjadi syarat dasar.
Sebaliknya, di negara-negara berkembang atau berpenghasilan rendah, perempuan dengan pendidikan tinggi justru lebih rentan terhadap pengangguran.
Baca Juga: Ekonomi Stagnan dan Pengangguran Tinggi, Kenali Apa Itu Stagflasi dan Cara Mengatasinya
Kondisi ini dipicu oleh terbatasnya lapangan kerja berkualifikasi tinggi, sehingga perempuan yang mengenyam pendidikan lanjut cenderung mengalami kesulitan menemukan pekerjaan yang sepadan.
Fenomena ini membuat banyak perempuan lulusan perguruan tinggi akhirnya bekerja di sektor informal atau bahkan tidak bekerja sama sekali.
Mendorong Akses Setara di Dunia Kerja
Upaya untuk mengurangi angka pengangguran perempuan memerlukan kebijakan yang inklusif dan adil.
Beberapa negara telah menerapkan regulasi yang mendorong perusahaan untuk tidak mendiskriminasi perempuan, misalnya melalui pemberlakuan syarat rekrutmen yang tidak membedakan status pernikahan atau peran sebagai ibu.
Selain itu, program pelatihan dan pemberdayaan perempuan di bidang-bidang yang banyak diminati pasar kerja juga dapat meningkatkan peluang perempuan dalam mengakses pekerjaan.
Namun, tanpa perubahan yang signifikan pada kebijakan perekrutan dan sikap masyarakat, kesenjangan pengangguran antara perempuan dan laki-laki akan tetap sulit diatasi.
Memberikan kesempatan yang setara kepada perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam ekonomi bukan hanya langkah menuju keadilan sosial, tetapi juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
(*)
Ken Devina