Parapuan.co - Kawan Puan, perempuan memiliki peran besar dalam menggerakkan ekonomi global.
Namun, partisipasi mereka dalam dunia bisnis dan tenaga kerja masih menghadapi berbagai tantangan struktural dan sosial.
Melansir dari weforum.org, meskipun perempuan menyumbang sekitar separuh dari populasi dunia, kontribusi mereka terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) global hanya mencapai 37 persen.
Peningkatan Kewirausahaan Perempuan di Negara Berkembang
Di negara-negara berkembang, kewirausahaan perempuan menunjukkan tren yang positif, dengan sekitar 8 hingga 10 juta usaha kecil dan menengah (UKM) formal yang dimiliki setidaknya oleh satu perempuan.
Sekitar satu dari setiap tiga pengusaha yang menjalankan bisnis mapan adalah seorang perempuan, sementara untuk sektor rintisan, jumlah perempuan hampir setara dengan laki-laki, yaitu 0,80 perempuan untuk setiap 1 laki-laki.
Temuan dari kewirausahaan perempuan GEM 2022/2023, gemconsortium.org mencatat bahwa secara global, perempuan lebih cenderung berperan sebagai solopreneur dibandingkan laki-laki.
Dengan rasio 1,47 perempuan solopreneur untuk setiap 1 laki-laki.
Laporan lainnya dari newsroom.wf.com, mencatatkan adanya peningkatan signifikan dalam jumlah bisnis yang dimiliki perempuan.
Baca Juga: Rayakan Peran Wanita, Para Pengusaha Perempuan Berbagi Kisah di Women Empower Women 2024
Antara tahun 2019 dan 2023, jumlah bisnis milik perempuan hampir dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan bisnis yang dimiliki oleh laki-laki.
Temuan ini menjadi langkah penting menuju kesetaraan gender, dengan tingkat pertumbuhan yang meningkat hingga 4,5 kali lipat antara 2022 dan 2023.
Ini menandakan dampak positif yang signifikan dari kewirausahaan perempuan di seluruh dunia.
Pentingnya Kewirausahaan Perempuan dalam Membuka Peluang Kerja
Mendorong kewirausahaan perempuan tidak hanya memberikan peluang bagi perempuan untuk berdaya finansial, tetapi juga membuka lapangan pekerjaan baru bagi banyak orang.
Melalui kewirausahaan, perempuan memiliki kesempatan untuk mempekerjakan orang lain dan memberikan mereka akses pada posisi strategis dalam perusahaan.
Ini menunjukkan bahwa bisnis yang dipimpin oleh perempuan tidak hanya menciptakan kesempatan kerja bagi diri mereka sendiri, tetapi juga dapat memperluas partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja yang lebih luas.
Dengan memperkenalkan kebijakan yang mendukung kewirausahaan perempuan, kita dapat membuka lebih banyak peluang bagi mereka untuk berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja dan meningkatkan kontribusi ekonomi secara keseluruhan.
Kebijakan yang mendorong kewirausahaan dan meningkatkan permintaan tenaga kerja dapat lebih efektif dan lebih cepat dalam menciptakan peluang berwirausaha bagi perempuan, dibandingkan dengan usaha untuk mengubah norma sosial yang telah berlaku sejak lama.
Baca Juga: Menteri Maman Usul Istilah Pelaku UMKM Diganti Pengusaha UMKM, Apa Bedanya?
Hambatan yang Menghalangi Kewirausahaan Perempuan
Melansir dari kemenpppa.go.id, di tahun 2023, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mencapai sekitar 66 juta dengan kontribusi terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai 61 persen.
Data juga menunjukkan bahwa 64,5 persen pelaku UMKM di Indonesia sebagian besar adalah perempuan.
Hal ini tentu menyadarkan kita semua bahwa peran perempuan sangat besar dalam membantu perekonomian negara dan tidak bisa dilihat dengan sebelah mata.
Namun, meskipun terdapat potensi besar, partisipasi perempuan dalam angkatan kerja dan kewirausahaan masih sangat rendah.
Kontribusi perempuan dalam bisnis memang penting, tetapi kenyataannya, mayoritas bisnis yang dimiliki perempuan adalah usaha mikro yang memiliki sedikit karyawan atau tenaga kerja.
Ini berbanding terbalik dengan bisnis milik laki-laki yang lebih besar dan banyak beroperasi di sektor formal.
Salah satu alasan utama di balik rendahnya kontribusi perempuan dalam ekonomi adalah beban pekerjaan domestik yang masih didominasi oleh laki-laki.
Perempuan seringkali menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, membersihkan, mencuci, merawat anak, dan merawat orang tua.
Baca Juga: Pengusaha Perempuan dari Belahan Dunia Bakal Hadiri Modest Fashion & Womenpreneur Summit 2024
Keterbatasan waktu dan energi ini tentunya menghambat mereka untuk lebih aktif dalam dunia kewirausahaan atau partisipasi di pasar tenaga kerja yang lebih luas.
Ada lebih banyak hambatan, termasuk keterbatasan akses terhadap transportasi dan pengasuhan anak yang aman dan efisien, yang membatasi kemampuan mereka untuk bekerja dalam jarak tempuh yang dekat.
Solusi: Kebijakan yang Mendukung Kewirausahaan Perempuan
Sebuah studi oleh Gaurav Chiplunkar dari Universitas Virginia dan Pinelopi Goldberg dari Universitas Yale menunjukkan bahwa menghilangkan hambatan terhadap perempuan dalam kewirausahaan dapat secara signifikan meningkatkan partisipasi kaum hawa dalam dunia kerja.
Dengan mengurangi hambatan ini, lebih banyak perempuan akan mampu menjalankan bisnis mereka sendiri.
Pada akhirnya akan meningkatkan partisipasi tenaga kerja perempuan dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan upah, laba yang lebih tinggi, dan perusahaan yang lebih efisien.
Kebijakan yang mendukung kewirausahaan perempuan, seperti yang diungkapkan oleh Chiplunkar dan Goldberg, dapat lebih efektif dalam meningkatkan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja dibandingkan dengan mengubah norma sosial yang sudah mapan.
Sebab, norma tersebut cenderung sulit berubah dan lebih mengikat perempuan dalam pekerjaan rumah tangga dan tanggung jawab domestik.
Studi ini mengungkapkan bahwa dengan mempromosikan kewirausahaan perempuan, kita dapat menciptakan lebih banyak peluang kerja yang berpotensi meningkatkan produktivitas dan kontribusi ekonomi.
Baca Juga: Kisah 3 Pengusaha Perempuan Bangun Ide Usaha, Punya Banyak Karyawan Wanita
Memperkenalkan kebijakan yang mendukung kewirausahaan perempuan sangat penting untuk membuka peluang lebih besar bagi perempuan dalam dunia kerja.
Dengan langkah-langkah yang tepat, perempuan dapat memainkan peran kunci dalam perekonomian global dan lokal, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif.
(*)
Ken Devina