Parapuan.co - Kawan Puan, kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja adalah isu yang seringkali terabaikan, meskipun perempuan pekerja rentan menjadi korban kekerasan.
Baru-baru ini, sebuah peristiwa tragis yang dialami oleh seorang pegawai toko roti di Cakung, Jakarta Timur, mengungkapkan betapa rentannya perempuan terhadap tindak kekerasan di dunia kerja.
Melansir dari Kompas.com, D (19), seorang perempuan muda yang bekerja di toko roti, menjadi korban penganiayaan oleh GSH, anak bos tempat ia bekerja.
GSH melemparkan berbagai benda seperti patung, kursi, dan mesin EDC ke arah tubuh D.
Saksi-saksi yang berada di lokasi hanya bisa terdiam dan merekam kejadian tersebut sebagai bukti.
D yang mengalami luka di kepala, tangan, kaki, dan tubuhnya, merasa sangat syok, apalagi ketika dia mengetahui bahwa pelaku juga menargetkan dirinya dengan loyang untuk membuat kue yang mengenai kepala D, menyebabkan luka terbuka yang cukup parah.
Meski sempat dibawa ke klinik oleh orangtua GSH untuk perawatan medis, D menolak untuk dijahit karena ketakutan dan rasa syok yang mendalam.
Namun, bukan hanya kekerasan fisik yang dialami D.
Baca Juga: Komnas Perempuan: Momentum Hari HAM 2024 di Puncak Kampanye 16 HAKTP
Ia juga menghadapi masalah serius lainnya seperti upah yang belum dibayar oleh pihak atasan.
D mengungkapkan bahwa sejak mulai bekerja, ia belum menerima gaji yang seharusnya diberikan kepadanya.
Kekerasan fisik yang dialami oleh D, ditambah dengan masalah ketenagakerjaan yang ia hadapi, semakin memperburuk kondisi mental dan fisiknya.
Kasus ini semakin viral setelah rekaman penganiayaan yang dilakukan GSH tersebar di media sosial, memicu perdebatan luas tentang perlindungan hukum bagi pekerja perempuan di Indonesia.
Tindak Kekerasan di Tempat Kerja: Masalah Sistematik yang Harus Diperhatikan
Dalam kasus ini, hanyalah salah satu contoh dari banyak perempuan yang sering kali menjadi sasaran kekerasan baik fisik, seksual, maupun psikologis di tempat kerja.
Hal ini terutama berlaku bagi perempuan yang bekerja di sektor informal atau di tempat kerja dengan pengawasan yang tidak ketat.
Mereka lebih rentan menjadi korban karena sering kali tidak memiliki cukup perlindungan hukum atau mekanisme pengaduan yang memadai.
Kekerasan fisik seperti yang dialami D memang sudah terdeteksi dalam kasus ini, namun kekerasan seksual di tempat kerja juga menjadi masalah yang tak kalah penting.
Baca Juga: LPSK Sebut Permohonan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Meningkat, Termasuk Kasus Agus
Sayangnya, perlindungan terhadap pekerja perempuan di Indonesia sering kali kurang optimal.
Melansir dari kemnaker.go.id, Undang-Undang (UU) No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur hak-hak pekerja, memang mencantumkan beberapa pasal yang memberikan hak pekerja untuk bekerja dengan aman dan menerima upah yang layak.
Namun, banyak pekerja perempuan yang tidak mendapatkan perlindungan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Kekerasan Seksual dan Diskriminasi di Tempat Kerja
Meskipun Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tidak secara eksplisit mengatur tentang pelecehan seksual di tempat kerja, dalam Pasal 76 ayat (3) huruf b, diatur bahwa pengusaha wajib menjaga kesusilaan dan kenyamanan pekerja.
Namun, dalam praktiknya, masih banyak perusahaan yang tidak memiliki mekanisme pengaduan yang efektif untuk menangani kasus-kasus pelecehan seksual atau diskriminasi.
Perempuan sering kali takut untuk melaporkan kekerasan atau pelecehan yang mereka alami karena khawatir akan kehilangan pekerjaan atau tidak diperlakukan dengan adil.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia mulai memperkenalkan peraturan yang lebih jelas dalam hal perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan seksual di tempat kerja.
Melansir dari bpk.go.id, UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, tidak hanya mengatur soal pencegahan dan pemenuhan hak korban, tetapi juga menetapkan mekanisme hukum yang jelas untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual, termasuk di tempat kerja.
Baca Juga: Komnas Perempuan Merespons Kasus Kekerasan Seksual dengan Pelaku Penyandang Disabilitas
Namun, meski ada peraturan ini, implementasi di lapangan masih terhambat.
Banyak pekerja perempuan yang tidak tahu harus melapor ke mana atau bagaimana cara untuk melindungi diri mereka dalam situasi-situasi yang membahayakan.
Untuk itu, penting bagi perusahaan untuk memiliki kebijakan yang jelas terkait perlindungan terhadap pekerja perempuan dan menyediakan mekanisme pengaduan yang aman dan efektif.
Sanksi untuk Pengusaha yang Melanggar Hak Pekerja Perempuan
Pengusaha yang tidak membayar upah pekerja perempuan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 186 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sanksi yang diatur dalam undang-undang ini mencakup hukuman penjara minimal satu tahun dan maksimal empat tahun serta denda yang cukup besar, mulai dari 100 juta hingga 400 juta rupiah.
Namun, masalah upah yang tidak dibayar sering kali sulit untuk dilaporkan atau dibuktikan, terlebih lagi jika perusahaan tidak transparan atau tidak memiliki sistem administrasi yang jelas.
Selain itu, penting juga bagi negara untuk memperkuat pengawasan terhadap pelaksanaan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Hukum ini memberikan hak yang lebih besar bagi perempuan korban kekerasan seksual di tempat kerja, termasuk dalam hal perlindungan saksi dan pelapor, serta pemulihan korban secara komprehensif.
Baca Juga: Kasus Agus Buntung Buktikan Kekerasan Seksual Bisa Dilakukan Siapa Saja
Kawan Puan, agar perempuan pekerja tidak lagi menjadi korban kekerasan di tempat kerja, langkah-langkah nyata harus diambil.
Kasus yang menimpa D di Cakung ini adalah sebuah panggilan untuk tindakan.
Diharapkan dengan adanya kesadaran yang lebih besar, perlindungan hukum yang lebih baik, dan keseriusan dari pengusaha serta pihak berwenang, kita dapat mencegah kejadian serupa terulang di masa depan.
Jangan biarkan perempuan menjadi korban kekerasan di tempat kerja.
(*)
Ken Devina