Banyak komentar yang secara implisit memperlihatkan stigma terhadap kulit gelap, menguatkan pandangan bahwa warna kulit terang lebih diinginkan.
Fenomena ini dikenal dengan istilah colorism, sebuah praktik yang mengutamakan kulit terang sebagai standar kecantikan dan nilai sosial.
Di era digital seperti sekarang, teknologi turut memperkuat bias ini. Misalnya, filter media sosial yang secara otomatis memutihkan kulit pengguna atau kamera smartphone yang tidak selalu akurat dalam merepresentasikan warna kulit asli.
Melansir dari Kompas.com, penelitian yang dilakukan oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Universitas Stanford pada tahun 2018 menunjukkan adanya bias warna kulit dalam sistem kecerdasan buatan yang digunakan oleh berbagai aplikasi.
Bias ini bahkan sudah terjadi sejak tahap pengolahan data, sebelum gambar akhir diproduksi.
Colorism : Lebih dari Sekadar Isu Kecantikan
Melansir dari verywellmind.com, colorism adalah bentuk diskriminasi yang lebih mengutamakan kulit terang dibandingkan dengan kulit gelap, bahkan di kalangan ras atau etnis yang sama.
Preferensi terhadap kulit terang tidak hanya diakar dalam praktik sosial, tetapi juga dapat dilihat dalam sejarah.
Baca Juga: Pentingnya Rekrutmen Tanpa Diskriminasi untuk Kesetaraan Pekerja, Ini yang Perlu Dilakukan