Bias Warna Kulit: Kenapa Terang Gelapnya Seseorang Masih Jadi Tolok Ukur Kehidupan Sosial?

Tim Parapuan - Sabtu, 28 Desember 2024
Bias warna kulit.
Bias warna kulit. (shironosov/iStockphoto)

Parapuan.co - Kawan Puan, kalimat seperti, " Kamu cantik, tapi sayang kulitmu gelap ," atau " Kamu putih banget sih, kaya mayat hidup " masih sering terdengar di masyarakat.

Meski terdengar sepele, namun sebenarnya hal ini menggambarkan bentuk bias warna kulit yang sudah mendarah daging dalam masyarakat kita.

Tanpa disadari, banyak orang yang menganggap hal ini sebagai kewajaran. Padahal, bias warna kulit adalah masalah serius yang mempengaruhi banyak aspek kehidupan, terutama rasa percaya diri.

Warna Kulit dan Bias yang Tersembunyi

Warna kulit beragam manusia, mulai dari terang hingga gelap, dan masing-masing memiliki keindahan tersendiri.

Namun, dalam banyak kasus, orang yang berkulit terang sering kali dipandang lebih istimewa dibandingkan dengan mereka yang berkulit gelap.

Salah satu contohnya adalah fenomena pengungkapan kata "Maghrib” yang sempat viral di TikTok.

Istilah ini digunakan untuk menggambarkan warna kulit seseorang yang cenderung gelap dibanding yang lain.

Sayangnya, istilah tersebut sering kali digunakan dengan nada bercanda yang bernuansa negatif.

Baca Juga: Rasa Sakit Perempuan Kerap Diabaikan, Ini Wajah Bias Gender dalam Dunia Medis

Banyak komentar yang secara implisit memperlihatkan stigma terhadap kulit gelap, menguatkan pandangan bahwa warna kulit terang lebih diinginkan.

Fenomena ini dikenal dengan istilah colorism, sebuah praktik yang mengutamakan kulit terang sebagai standar kecantikan dan nilai sosial.

Di era digital seperti sekarang, teknologi turut memperkuat bias ini. Misalnya, filter media sosial yang secara otomatis memutihkan kulit pengguna atau kamera smartphone yang tidak selalu akurat dalam merepresentasikan warna kulit asli.

Melansir dari Kompas.com, penelitian yang dilakukan oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Universitas Stanford pada tahun 2018 menunjukkan adanya bias warna kulit dalam sistem kecerdasan buatan yang digunakan oleh berbagai aplikasi.

Bias ini bahkan sudah terjadi sejak tahap pengolahan data, sebelum gambar akhir diproduksi.

Colorism : Lebih dari Sekadar Isu Kecantikan

Melansir dari verywellmind.com, colorism adalah bentuk diskriminasi yang lebih mengutamakan kulit terang dibandingkan dengan kulit gelap, bahkan di kalangan ras atau etnis yang sama.

Preferensi terhadap kulit terang tidak hanya diakar dalam praktik sosial, tetapi juga dapat dilihat dalam sejarah.

Baca Juga: Pentingnya Rekrutmen Tanpa Diskriminasi untuk Kesetaraan Pekerja, Ini yang Perlu Dilakukan

Sejak zaman perdagangan, orang kulit hitam dengan kulit terang sering kali mendapat perlakuan istimewa karena dianggap memiliki ciri khas Eropa atau lebih "mendekati" kulit putih.

Fenomena ini menciptakan hierarki sosial yang membedakan orang berdasarkan warna kulit mereka, dan dampaknya masih terasa hingga kini.

Colleen Campbell, seorang kandidat Ph.D. di bidang Sosiologi dan Studi Afrika di Universitas Princeton, menyebutkan bahwa dalam sejarahnya, orang berkulit hitam yang berkulit terang sering kali memperoleh peluang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang berkulit gelap, bahkan dalam hal pendidikan dan pekerjaan.

Preferensi terhadap kulit terang tidak hanya berdampak pada kecantikan atau penilaian sosial, tetapi juga mempengaruhi banyak aspek kehidupan lainnya.

Orang kulit hitam sering kali menghadapi kesulitan yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berkulit terang, bahkan dibandingkan dengan orang kulit putih.

Hal ini mempengaruhi pendapatan, kesehatan, dan status sosial mereka. 

Bahkan menurut Campbell, kesenjangan antara orang kulit hitam berkulit terang dan gelap bisa lebih signifikan dibandingkan dengan kesenjangan antara orang kulit hitam dan kulit putih.

Selain itu, bias warna kulit juga dapat mempengaruhi mentalitas seseorang.

Pengalaman ditolak atau tidak diterima oleh masyarakat atau lingkungan sekitar secara berulang dapat membuat seseorang merasa kurang percaya diri.

Baca Juga: Mendobrak Hambatan, Ini Tantangan Perempuan di Bidang Keamanan dan Pertahanan

Tanpa adanya pengakuan atas adanya bias terhadap individu berkulit gelap, upaya untuk menciptakan lingkungan yang inklusif akan sulit terwujud.

Mereka yang menjadi sasaran bias ini akan terus merasa terpinggirkan dan tidak dihargai.

Di dunia yang semakin terkoneksi dan bergantung pada teknologi, kita perlu menyadari bahwa bias warna kulit dapat diperkuat oleh sistem teknologi yang digunakan sehari-hari.

Filter media sosial, misalnya, sering kali hanya menampilkan citra kulit terang sebagai standar kecantikan.

Kamera ponsel pintar yang tidak akurat dalam merepresentasikan warna kulit asli juga menjadi salah satu bentuk bias yang tidak disadari.

Hal ini semakin memberikan masalah, karena banyak orang - terutama generasi muda- merasa tertekan untuk mengikuti standar kecantikan tertentu yang tidak mencerminkan keberagaman warna kulit.

Refleksi Diri dan Sosial Perubahan

Seperti rasisme, colorism membutuhkan percakapan yang jujur ​​dan terbuka agar kita bisa melihat sejauh mana bias ini merasuki kehidupan kita.

Kita harus sampai pada titik di mana menghakimi seseorang berdasarkan warna kulit tidak lagi dapat diterima.

Baca Juga: Bias Algoritma dan Peminggiran Perempuan dari Arena Teknologi

Penghargaan terhadap keberagaman warna kulit perlu ditanamkan dalam setiap lapisan masyarakat, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Kawan Puan, kita semua memiliki peran untuk menghentikan praktik colorism ini, baik melalui refleksi diri maupun mendukung perubahan sosial yang lebih inklusif.

Jangan biarkan standar kecantikan yang sempit dan bias warna kulit menghalangi kita untuk menerima dan mencintai diri sendiri serta orang lain apa adanya. 

(*)

Ken Devina

Sumber: Kompas.com,Verywellmind.com
Penulis:
Editor: Citra Narada Putri


REKOMENDASI HARI INI

Resolusi Tahun Baru agar Hubungan Asmara Lebih Sehat dan Harmonis