Tanpa adanya pengakuan atas adanya bias terhadap individu berkulit gelap, upaya untuk menciptakan lingkungan yang inklusif akan sulit terwujud.
Mereka yang menjadi sasaran bias ini akan terus merasa terpinggirkan dan tidak dihargai.
Di dunia yang semakin terkoneksi dan bergantung pada teknologi, kita perlu menyadari bahwa bias warna kulit dapat diperkuat oleh sistem teknologi yang digunakan sehari-hari.
Filter media sosial, misalnya, sering kali hanya menampilkan citra kulit terang sebagai standar kecantikan.
Kamera ponsel pintar yang tidak akurat dalam merepresentasikan warna kulit asli juga menjadi salah satu bentuk bias yang tidak disadari.
Hal ini semakin memberikan masalah, karena banyak orang - terutama generasi muda- merasa tertekan untuk mengikuti standar kecantikan tertentu yang tidak mencerminkan keberagaman warna kulit.
Refleksi Diri dan Sosial Perubahan
Seperti rasisme, colorism membutuhkan percakapan yang jujur dan terbuka agar kita bisa melihat sejauh mana bias ini merasuki kehidupan kita.
Kita harus sampai pada titik di mana menghakimi seseorang berdasarkan warna kulit tidak lagi dapat diterima.
Baca Juga: Bias Algoritma dan Peminggiran Perempuan dari Arena Teknologi
Penghargaan terhadap keberagaman warna kulit perlu ditanamkan dalam setiap lapisan masyarakat, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
Kawan Puan, kita semua memiliki peran untuk menghentikan praktik colorism ini, baik melalui refleksi diri maupun mendukung perubahan sosial yang lebih inklusif.
Jangan biarkan standar kecantikan yang sempit dan bias warna kulit menghalangi kita untuk menerima dan mencintai diri sendiri serta orang lain apa adanya.
(*)
Ken Devina