Parapuan.co - Pemberitaan di media berperan sangat penting dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Hal ini disinggung oleh Komisioner Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Bahrul Fuad ketika memeringati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) akhir tahun 2024 kemarin.
Bahrul Fuad, mengungkapkan laporan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan pada tahun 2023, tercatat 289.111 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBG) di Indonesia, dengan 98,5 persen di antaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual.
Sementara itu, pengaduan langsung ke Komnas Perempuan tercatat sebanyak 3.303 kasus.
Meskipun Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah disahkan, angka kekerasan ini terus meningkat, namun penanganan kasus cenderung stagnan.
Hal ini menunjukkan bahwa belum ada penurunan signifikan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Lebih jauh, Bahrul Fuad menjelaskan bahwa banyak perempuan yang tidak menyadari bahwa mereka menjadi korban kekerasan berbasis gender.
Akibatnya, mereka tidak berani dan tidak tahu cara mengadukan kasus yang menimpa mereka.
Kurangnya kesadaran ini diperparah dengan minimnya pemberitaan media yang mendidik masyarakat tentang penyebab dan bentuk kekerasan berbasis gender.
Baca Juga: Promotif dan Preventif, Ini Peran Media dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
Bahrul menegaskan pentingnya media dalam memberikan informasi yang substantif dan ramah terhadap korban, serta menghindari eksploitasi informasi korban demi menarik perhatian pembaca.
Sayangnya, fenomena clickbait yang mengejar sensasi kerap kali mengorbankan kualitas berita dan memperkuat stigma terhadap perempuan korban kekerasan.
"Banyaknya eksploitasi informasi korban kekerasan berbasis gender, sementara pelaku seringkali tidak terlalu diekspos. Kronologi kejadian malah lebih sering dibahas. Ini adalah catatan bagi kita bersama untuk menghasilkan berita yang substantif, ramah gender, dan tentunya mendukung perempuan korban kekerasan," kata Bahrul seperti dikutip dari situs resmi Komnas Perempuan.
Rizqoh dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Biro Banten juga menyoroti hal serupa.
Ia mengungkapkan bahwa AJI sangat memperhatikan isu kesetaraan gender dan memiliki banyak kode etik jurnalis terkait penulisan untuk kelompok minoritas dan gender.
Namun, di Banten, khususnya Lebak, masih banyak media yang menggunakan frasa dan gaya pemberitaan yang tidak sensitif terhadap korban.
Media kerap kali menggunakan istilah-istilah yang tidak mempertimbangkan perspektif korban, seperti penekanan pada penampilan fisik korban atau penyalahgunaan frasa yang dapat memicu victim blaming.
Narasi Media Tentang Pemberitaan Kekerasan Terhadap Perempuan
Sejauh pantauan penulis, masih banyak pemberitaan di media yang seolah mendiskreditkan perempuan, terutama korban kekerasan.
Baca Juga: Di Balik Panggung Politik: Kekerasan Menghantui Politisi Perempuan
Bahkan, kekerasan yang diterima korban dijadikan headline untuk menarik perhatian pembaca.
Contohnya saja dalam judul seperti "Perempuan Diker*y*k Belasan Pemuda, Dirudapaksa xxxxxx" atau "Seorang Wanita Ditemukan Tewas, Diduga Dicab*li sebelum Dibun*h".
Mengubah narasi pemberitaan kekerasan terhadap perempuan di media dapat dimulai dari informasi-informasi sederhana.
Misalnya saja ada sebuah media yang memberitakan perceraian di suatu daerah dengan judul "Angka Perceraian di Kota X Tinggi, Jumlah J*nda Bertambah".
Judul semacam itu perlu dihindari karena mendiskreditkan perempuan. Padahal, bukankah ketika ada perceraian angka duda juga ikut bertambah? Kenapa hanya janda yang jadi fokus?
Mestinya, memberitakan kasus seperti itu cukup dengan menyebut tingkat perceraian yang tinggi dan penyebabnya saja. Tidak perlu membawa-bawa soal gender.
Peran Media dalam Mengubah Narasi
Media memiliki peran penting dalam membentuk opini publik. Cara media menyampaikan berita kekerasan terhadap perempuan sangat berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat.
Sayangnya, banyak media yang masih terjebak pada eksploitasi korban untuk menarik perhatian pembaca.
Baca Juga: Penganiayaan Anak Bos Toko Roti, Kenapa Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Lambat Ditangani?
Kronologi kejadian sering kali lebih disorot ketimbang dampak kekerasan terhadap korban dan langkah-langkah penanganannya.
Dalam konteks kekerasan berbasis gender, pemberitaan yang berpusat pada korban bukan hanya sekadar etika jurnalistik, tetapi juga bentuk dukungan moral terhadap perempuan yang mengalami kekerasan.
Memberikan ruang bagi korban untuk didengar dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya melawan kekerasan berbasis gender merupakan langkah konkret yang dapat dilakukan media.
Penyampaian berita yang benar dan informatif mampu mendorong korban untuk berani melapor dan mencari bantuan.
Menghindari Sensasionalisme dan Victim Blaming
Banyak media yang masih menggunakan pendekatan sensasional dalam memberitakan kekerasan terhadap perempuan.
Penyebutan atribut fisik korban atau penggunaan narasi yang menyoroti pakaian korban dalam kasus kekerasan seksual adalah contoh praktik yang memperkuat budaya victim blaming.
Ini menunjukkan bahwa banyak jurnalis yang belum memahami betul prinsip-prinsip pemberitaan yang ramah gender.
Frasa seperti "cantik" atau "berpakaian minim" sering kali digunakan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap korban.
Baca Juga: Jangan Victim Blaming, Ini 4 Cara Bantu Korban Dating Violence Menurut Ahli
Padahal, pemberitaan yang semacam ini hanya akan membuat korban semakin tertekan dan enggan melapor.
Media seharusnya fokus pada inti persoalan, yakni kekerasan yang dialami korban, bukan pada faktor-faktor yang menyudutkan mereka.
Membangun Kapasitas Jurnalis
Langkah penting lainnya adalah meningkatkan kapasitas jurnalis melalui pelatihan-pelatihan tentang perspektif gender dalam pemberitaan.
Pelatihan ini perlu dilakukan secara rutin, terutama di daerah-daerah yang masih minim kesadaran tentang pentingnya perspektif korban.
AJI sebagai organisasi jurnalis barangkali sudah mulai melakukan upaya ini, namun diperlukan upaya yang lebih masif dan terstruktur.
Media memegang kunci dalam mengubah cara pandang masyarakat terhadap kekerasan berbasis gender.
Dengan menyampaikan berita yang informatif, ramah korban, dan bebas dari eksploitasi, media dapat berkontribusi secara signifikan dalam menekan angka kekerasan terhadap perempuan.
Saatnya media mengambil peran sebagai agen perubahan dengan menyajikan berita yang tidak hanya menginformasikan, tetapi juga mendidik dan mendukung perempuan korban kekerasan.
Mengutamakan perspektif korban dalam pemberitaan bukan hanya soal profesionalisme, tetapi juga soal kemanusiaan.
Baca Juga: Komnas Perempuan Dorong Peran Media dalam Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender
(*)