Survei terhadap seratus perempuan yang suaminya berpoligami ini menunjukkan adanya pola emosi negatif yang dialami sejak awal proses poligami.
Emosi-emosi tersebut mulai muncul ketika suami menunjukkan perilaku yang tidak biasa, seperti menjauhi istri, bersikap dingin, atau menunjukkan ketertarikan pada perempuan lain.
Puncaknya, ketika suami secara terang-terangan menyatakan keinginan untuk menikah lagi dan telah memiliki calon istri baru, emosi negatif seperti marah, cemburu, depresi, bahkan gangguan kesehatan fisik seringkali muncul.
Kondisi ini, menurut Rana Raddawi, merupakan respons psikologis yang wajar terhadap perubahan drastis dalam hubungan pernikahan.
"Beberapa orang di antaranya bahkan sampai ditelantarkan oleh suami mereka karena tidak memenuhi kebutuhannya," katanya.
Lebih dari itu, mengertikah pemerintah Jakarta bahwa praktik poligami adalah salah satu bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Karena ketika sang suami berpoligami, mereka akan melakukan kekerasan psikologis terhadap pasangannya dan besar kemungkinan menelantarkan istri pertama beserta anaknya. Penelantaran ini juga masuk sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Dalih Mencegah Nikah Siri
Terkait polemik ini, Teguh Setyabudi memberikan klarifikasi soal Pergub tersebut. Seperti melansir dari Kompas TV, ia menegaskan bahwa tujuan utama dari peraturan ini adalah untuk melindungi keluarga ASN, bukan untuk memberikan kelonggaran bagi praktik poligami.