Kemudian syarat 'Istri tidak dapat melahirkan keturunan setelah 10 tahun pernikahan' yang bikin geleng kepala.
Ketika pasangan tidak bisa memiliki keturunan, apakah lantas itu hanya salah sang istri?
Stigma usang bahwa perempuan lah penyebab utama dari pasangan yang tak memiliki keturunan rupanya masih menempel kuat dalam otak orang-orang yang membuat kebijakan di Pergub tersebut.
Padahal, menurut Dr. Pandji Sadar, AMPH dari Klinik Bocah mengatakan bahwa masalah kesuburan tidak hanya disebabkan oleh perempuan, gangguan kesuburan bisa disebabkan oleh laki-laki.
"Masalah kesuburan 40 persen pria dan 40 persen perempuan, 10 persen karena keduanya dan 10 persen lagi karena unexplained infertility," katanya, dalam sebuah wawancara dengan PARAPUAN.
Persentase ini mematahkan stigma yang sering menyudutkan perempuan sebagai penyebab utama infertilitas dalam rumah tangga.
Pun, jika ternyata sang istri tak bisa memiliki anak, apakah lantas kemudian dirinya tak punya nilai sehingga pantas untuk diduakan?
Tak sampai di situ, syarat 'sanggup berlaku adil terhadap para istri dan anak' begitu tidak masuk akalnya.
Memangnya, bagaimana mereka akan mengukur 'adil' atau tidaknya seorang kepala rumah tangga?
Baca Juga: Viral di Medsos, Wagub Jabar Usulkan Poligami dan Menikah untuk Cegah HIV/AIDS
Sebagai pengingat, ketika poligami mensyaratkan keadilan, faktanya yang paling banyak adalah sang suami lebih sering akan meninggalkan kewajibannya.
Misal, mereka akan pergi dan tinggal dengan istri yang muda, menelantarkan keluarganya yang pertama.
Lagi-lagi perlu diingatkan, poligami lebih dari sekadar diskriminasi, karena ini adalah bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Terlepas dari apapun objektif ditentukannya Pergub tersebut, poligami adalah musuh yang telah lama diperangi oleh perempuan.
Karena sudah hampir pasti, perempuan dan anak akan menjadi korban dari praktik poligami itu sendiri.
Lantas, apakah pemerintah Jakarta ingin jadi bagian dari pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan merayakan poligami?
(*)