Parapuan.co - Kawan Puan mungkin telah mendengar soal kabar Penjabat (Pj) Gubernur Jakarta, Teguh Setiabudi, yang resmi menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian.
Adapun dalam Pergub yang diterbitkan pada 6 Januari 2025, salah satunya mengatur mekanisme izin bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) jika ingin memiliki lebih dari satu istri.
Seperti dinyatakan dalam Pergub ini, ASN laki-laki yang ingin berpoligami wajib mendapatkan izin dari Pejabat yang berwenang sebelum melangsungkan pernikahan. Hal ini seperti diatur dalam Pasal 4 ayat 1.
Mendengar dikeluarkannya Pergub ini mungkin membuat sebagian orang geram, terutama perempuan. Dari kacamata perempuan - setidaknya dari perspektif penulis - dengan diizinkannya ASN laki-laki untuk berpoligami, maka bisa berarti pemerintah daerah Jakarta menilai perempuan hanya sebagai objek semata.
Nilai-nilai patriarki yang menganggap laki-laki lebih superior dan memiliki hak atas perempuan, masih ada dalam 'napas' di tubuh pemerintahan Jakarta.
Apakah pemerintah Jakarta ingin merayakan poligami, tetapi abai terhadap perasaan perempuan? Tahukah mereka bahwa poligami bisa berdampak pada kehidupan perempuan dan anak?
Dari sisi medis, menurut seksolog, dr. H. Boyke Dian Nugraha, Sp.OG, MARS, laki-laki yang berganti pasangan dapat menyebabkan kanker rahim dan penyakit kelamin pada pasangannya, seperti melansir Kompas.com.
Bahkan, risiko penularannya menjadi 4 sampai 5 kali lipat dibandingkan dengan laki-laki yang hanya beristri satu. Boyke menegaskan bahwa poligami sama saja dengan berganti-ganti pasangan, meskipun resmi menikah.
Sementara itu, berdasarkan survei yang dilakukan Dr Rana Raddawi dari American University of Sharjah, Uni Emirat Arab, menunjukkan adanya dampak psikologis dari poligami terhadap perempuan.
Baca Juga: Poligami: The Uncovered, Menguak Aturan Poligami dan Posisi Perempuan
Survei terhadap seratus perempuan yang suaminya berpoligami ini menunjukkan adanya pola emosi negatif yang dialami sejak awal proses poligami.
Emosi-emosi tersebut mulai muncul ketika suami menunjukkan perilaku yang tidak biasa, seperti menjauhi istri, bersikap dingin, atau menunjukkan ketertarikan pada perempuan lain.
Puncaknya, ketika suami secara terang-terangan menyatakan keinginan untuk menikah lagi dan telah memiliki calon istri baru, emosi negatif seperti marah, cemburu, depresi, bahkan gangguan kesehatan fisik seringkali muncul.
Kondisi ini, menurut Rana Raddawi, merupakan respons psikologis yang wajar terhadap perubahan drastis dalam hubungan pernikahan.
"Beberapa orang di antaranya bahkan sampai ditelantarkan oleh suami mereka karena tidak memenuhi kebutuhannya," katanya.
Lebih dari itu, mengertikah pemerintah Jakarta bahwa praktik poligami adalah salah satu bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Karena ketika sang suami berpoligami, mereka akan melakukan kekerasan psikologis terhadap pasangannya dan besar kemungkinan menelantarkan istri pertama beserta anaknya. Penelantaran ini juga masuk sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Dalih Mencegah Nikah Siri
Terkait polemik ini, Teguh Setyabudi memberikan klarifikasi soal Pergub tersebut. Seperti melansir dari Kompas TV, ia menegaskan bahwa tujuan utama dari peraturan ini adalah untuk melindungi keluarga ASN, bukan untuk memberikan kelonggaran bagi praktik poligami.
Baca Juga: Sempat Dikabarkan Nikah Siri, Maia Estianty Dukung Al Segera Menikah dengan Alyssa Daguise
Dalam sebuah pernyataan, Teguh menyampaikan bahwa adanya mispersepsi publik yang seolah-olah Pergub tersebut mendukung poligami. Pergub ini ingin memperketat persyaratan bagi ASN yang ingin menikah lebih dari satu atau mengajukan perceraian, dengan mewajibkan adanya izin dari atasan.
Walau Teguh Setyabudi telah memberikan klarifikasi bahwa aturan tersebut 'katanya' ditujukan untuk mencegah terjadinya nikah siri yang dilakukan oleh ASN, namun mari kita bedah syarat-syarat pemberian izin poligami.
Syarat Pemberian Izin Poligami
Pada Pasal 5 ayat 1, izin poligami hanya dapat diberikan jika ASN yang bersangkutan memenuhi sejumlah persyaratan, seperti melansir dari Kompas.com. Berikut syaratnya:
- Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya.
- Istri menderita cacat tubuh atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
- Istri tidak dapat melahirkan keturunan setelah 10 tahun pernikahan.
- Mendapatkan persetujuan tertulis dari istri atau para istri.
- Memiliki penghasilan yang cukup untuk membiayai para istri dan anak.
- Sanggup berlaku adil terhadap para istri dan anak.
- Tidak mengganggu tugas kedinasan.
- Memiliki putusan pengadilan yang mengizinkan poligami.
- Larangan Pemberian Izin
Melihat syarat pemberian izin poligami ini membuat penulis tertawa miris dan iba pada istri-istri ASN di pemerintahan Jakarta. Kasihan sekali mereka dianggap begitu rendahnya, seakan tak punya nilai.
Lihat saja pada beberapa syarat tersebut, misal seperti 'Istri menderita cacat tubuh atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan'.
Memangnya, jika istri mengalami cacat tubuh atau penyakit tertentu, lantas mereka tak punya value sehingga harus rela dimadu? Apakah para istri ASN ini harus punya 'nilai sempurna' agar terbebas dari risiko dipoligami?
Lagi-lagi, syarat ini semakin memperkuat bagaimana pemerintah Jakarta melihat perempuan hanya sebagai 'objek'.
Baca Juga: Aturan Poligami PNS Viral di TikTok, Ketahui Ada Syarat Persetujuan dari Istri Sah
Kemudian syarat 'Istri tidak dapat melahirkan keturunan setelah 10 tahun pernikahan' yang bikin geleng kepala.
Ketika pasangan tidak bisa memiliki keturunan, apakah lantas itu hanya salah sang istri?
Stigma usang bahwa perempuan lah penyebab utama dari pasangan yang tak memiliki keturunan rupanya masih menempel kuat dalam otak orang-orang yang membuat kebijakan di Pergub tersebut.
Padahal, menurut Dr. Pandji Sadar, AMPH dari Klinik Bocah mengatakan bahwa masalah kesuburan tidak hanya disebabkan oleh perempuan, gangguan kesuburan bisa disebabkan oleh laki-laki.
"Masalah kesuburan 40 persen pria dan 40 persen perempuan, 10 persen karena keduanya dan 10 persen lagi karena unexplained infertility," katanya, dalam sebuah wawancara dengan PARAPUAN.
Persentase ini mematahkan stigma yang sering menyudutkan perempuan sebagai penyebab utama infertilitas dalam rumah tangga.
Pun, jika ternyata sang istri tak bisa memiliki anak, apakah lantas kemudian dirinya tak punya nilai sehingga pantas untuk diduakan?
Tak sampai di situ, syarat 'sanggup berlaku adil terhadap para istri dan anak' begitu tidak masuk akalnya.
Memangnya, bagaimana mereka akan mengukur 'adil' atau tidaknya seorang kepala rumah tangga?
Baca Juga: Viral di Medsos, Wagub Jabar Usulkan Poligami dan Menikah untuk Cegah HIV/AIDS
Sebagai pengingat, ketika poligami mensyaratkan keadilan, faktanya yang paling banyak adalah sang suami lebih sering akan meninggalkan kewajibannya.
Misal, mereka akan pergi dan tinggal dengan istri yang muda, menelantarkan keluarganya yang pertama.
Lagi-lagi perlu diingatkan, poligami lebih dari sekadar diskriminasi, karena ini adalah bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Terlepas dari apapun objektif ditentukannya Pergub tersebut, poligami adalah musuh yang telah lama diperangi oleh perempuan.
Karena sudah hampir pasti, perempuan dan anak akan menjadi korban dari praktik poligami itu sendiri.
Lantas, apakah pemerintah Jakarta ingin jadi bagian dari pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan merayakan poligami?
(*)