Parapuan.co - Anggapan yang beredar luas di masyarakat bahwa orangtua memperbolehkan anak usia dini bermain gadget (gawai) agar anak tak rewel tidak sepenuhnya benar.
Sebab, ada alasan lain yang membuat orangtua mengizinkan anak bermain gadget.
Misalnya untuk memuaskan keingintahuan anak, dan agar anak tidak ketinggalan zaman di tengah derasnya arus teknologi.
Ah, alasan! Kalau itu yang terlintas di benak Kawan Puan, jangan langsung tutup artikel ini.
Sebab di akhir tulisan ini, Kawan Puan mungkin akan memiliki cara pikir yang berbeda.
Adapun anak usia dini menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional adalah anak yang berusia antara nol sampai enam tahun.
Baca Juga: Ini 4 Manfaat Bahasa Cinta yang Bisa Buat Hubungan Makin Intim
Lalu, menurut UU tersebut, disebutkan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang dilakukan melalui pemberian rangsaan pendidikan.
Tujuannya, untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani, agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
PARAPUAn sendiri berkesempatan untuk berbincang dengan para ibu yang memiliki anak usia dini.
Mereka memperbolehkan buah hatinya bermain gawai karena berbagai pertimbangan berikut.
Untuk Hilangkan Rasa Penasaran Anak
Seperti yang diungkapkan oleh Rafina Sita Nesia (30), seorang ibu rumah tangga muda yang berdomisili di Bogor, Jawa Barat, yang telah dikaruniai seorang bocah laki-laki (2 tahun 10 bulan) dan perempuan (11 bulan).
"(Anak boleh bermain gawai) untuk menghilangkan rasa penasaran anak dan menjadi alternatif selingan kegiatan sehari-hari," tutur Rafin, panggilan akrabnya, saat dihubungi PARAPUAN pada Selasa (9/2/2021).
Baca Juga: Yuk Ikuti 10 Tips Menjadi Wanita Elegan Ala Chef Farah Quinn
Namun, lanjutnya, hanya anak pertamanya yang bermain telepon pintar lantaran yang kedua masih terlalu kecil.
Dia mengatakan anaknya hanya boleh mengakses telepon pintar selama maksimal dua jam per hari di ruang televisi.
Itu pun Rafin pantau sendiri, dan dibagi-bagi jatah waktunya.
"Kadang bisa pagi setelah makan dan bermain di halaman, anak diperbolehkan menonton (situs video) YouTube sejam, dan sisanya sore.
"Atau kadang bisa hanya sore hari saja. Bagaimana kondisi mood anak saja," bebernya seraya menambahkan kalau anaknya gemar menonton tayangan kartun atau lagu anak di YouTube, di samping bermain game hewan peliharaan virtual Talking Tom.
Baca Juga: Menghadapi Gagal Nikah, Ini Cara Untuk Move On Menurut Psikolog
Meski berniat baik, tapi ada kalanya ketika anak keasyikan dengan telepon pintar lebih dari waktu yang ditentukan, si bocah jadi agak cepat marah kalau sang ibu menyuruhnya berhenti bergawai ria.
Kalau sudah begitu, Rafin hanya menunggu anak mereda emosinya.
Setelahnya, barulah dia menasihati anak agar tidak mengulang perbuatannya.
Supaya Tidak Gaptek
Lain Rafin, lain pula dengan Shintya Valentina Dewi Jatnika Putri, 32, yang mengizinkan anaknya bermain gawai dengan alasan pengetahuan.
"Anak juga harus diperkenalkan dengan teknologi sedikit-sedikit supaya tidak gaptek (gagap teknologi).
"Positifnya, mereka jadi tahu banyak hal seperti astronomi, belajar mendengarkan bahasa lain seperti bahasa Inggris, tahu lagu anak, bahkan resep masakan," ungkapnya kepada PARAPUAN, Selasa (9/2/2021).
Shintya sendiri merupakan seorang pegawai negeri sipil di Pemerintah Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, dan ibu dari seorang anak laki-laki usia 5 tahun, anak perempuan usia 2 tahun, dan anak perempuan usia 8 bulan.
Baca Juga: Ini Tema Hari Perempuan Internasional 2021 dan Cara Mengikutinya
Dia juga memiliki seorang anak perempuan tiri berumur 12 tahun yang tidak tinggal serumah dengan Shintya dan anak-anak lainnya lantaran bersekolah di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Dari semua anaknya, hanya anaknya yang berusia 5 dan 2 tahun saja yang acapkali mengakses telepon pintar dan laptop.
"Anak-anakku tidak pernah main game, lebih ke menonton video. Jadi tak apa menurutku selama videonya cocok untuk anak.
"Biasanya aku pilih dulu (lalu) aku download video-video untuk anak, jadi mereka tinggal tonton di galeri video, bukan anak mencari sendiri (video) di internet," jelas Shintya.
Beda gawai, beda pula durasinya; kedua anaknya tidak pernah berinteraksi dengan telepon pintar lebih dari 2 jam sehari, sedangkan mereka umumnya betah menikmati film kartun di layar laptop sekitar setengah hari.
Baca Juga: Ragam Aktivitas untuk Mendukung Quality Time dengan Anak Selama WFH
Shintya dan suami bergantian mengawasi kedua anaknya kala seru-seruan dengan gawai di ruang keluarga.
Walau tidak menjadwal waktu anak dengan gawai, mereka tetap menyuruh anak berhenti kalau sudah terlalu lama yang kadang membuat anak sebal.
"(Solusinya) Aku alihkan perhatian mereka ke mainan lain atau ajak berkegiatan lain. Secara garis besar berhasil karena anak-anak punya (mainan atau kegiatan) kesukaan masing-masing," tutup Shintya.
Apakah cerita para ibu ini menginspirasi Kawan Puan saat mengasuh anak? (*)