Parapuan.co - Lembaga hukum menilai bahwa Indonesia masih abai terhadap hak perempuan dan melalaikan kewajibannya untuk melindungi perempuan.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, bahkan menganggap negara telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap perempuan di dua level.
“Karena membiarkan (terjadinya pelanggaran HAM terhadap perempuan) dan karena melakukan (pelanggaran HAM terhadap perempuan),” ungkap Asfinawati dalam konferensi pers virtual untuk memperingati Hari Perempuan Internasional, Senin (8/3/2021).
Baca Juga: Hari Perempuan Internasional 2021, Jokowi: Semua Setara Memberi Warna Bagi Peradaban
Konferensi pers tersebut diadakan oleh sejumlah organisasi peduli perempuan yang tergabung dalam GERAK Perempuan melalui aplikasi konferensi video Zoom.
Negara Membiarkan Terjadinya Pelanggaran HAM terhadap Perempuan
Bentuk pembiaran atau pengabaian tersebut, lanjut Asfinawati, tampak dari sikap negara yang belum ketuk palu terhadap sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi UU.
Padahal, RUU tersebut, jika sudah sah menjadi UU, dapat membantu meningkatkan perlindungan terhadap perempuan Indonesia.
Salah satunya adalah RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).
“Dalam bentuk pengabaian, misalnya, negara tidak kunjung mengesahkan RUU PPRT,” ucap Asfinawati.
Padahal, profesi PRT merupakan profesi yang termasuk banyak dilakoni oleh masyarakat Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan.
Hal ini didukung dengan data yang dikeluarkan oleh Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization, ILO).
Dalam situs resmi Ilo.org, ILO menyebutkan bahwa terhitung ada 4 juta orang PRT di Indonesia pada 2015.
Baca Juga: Sering Dialami! Kenali Perilaku dan Dampak Seksisme untuk Perempuan
Perempuan masih mendominasi profesi ini dengan perbandingan 292 PRT perempuan untuk setiap 100 PRT laki-laki.
RUU PPRT dirasa penting untuk segera disahkan menjadi UU mengingat PRT rawan mengalami tindak kekerasan selama bekerja.
Pemberitaan oleh Kompas.com pun mengungkapkan bahwa ada setidaknya 123 kasus kekerasan yang dialami oleh PRT selama Januari-Mei 2016.
Kekerasan tersebut umumnya bersifat fisik maupun seksual.
Jika RUU PPRT sudah sah menjadi UU, maka para PRT jadi bisa mendapat kepastian dan perlindungan hukum jika menjadi korban kekerasan.
Negara Melakukan Pelanggaran HAM terhadap Perempuan
Sementara, menyangkut negara yang menurut Asfinawati melakukan pelanggaran HAM terhadap perempuan dapat dilihat dari insiden Omnibus Law UU Cipta Kerja.
“Dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja, negara sudah menjadi pelaku yang melanggar (HAM), melakukan (pelanggaran HAM),” kata Asfinawati.
Diwartakan Kompas.com, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi UU melalui rapat paripurna pada Oktober 2020.
Asfinawati menilai bahwa Omnibus Law UU Cipta Kerja dapat mendiskriminasi perempuan dengan luar biasa.
Baca Juga: Rayakan Hari Perempuan Internasional dengan Quotes dari Tokoh Dunia Ini
Dirinya lantas menyorot soal klaster ketenagakerjaan dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja yang poin di dalamnya meliputi pesangon, upah minimum, dan seterusnya.
Dia mengibaratkan seorang buruh perempuan disuruh bekerja oleh perusahaannya selama delapan jam sehari dan harus mencapai sepuluh target kerja per hari.
“Jadi, kalau sudah selesai delapan jam bekerja tapi sepuluh target kerja per hari itu tidak terkejar, maka pekerjaannya dianggap tidak selesai,” contoh Asfinawati.
Hal tersebut, lanjut dia, dapat berdampak buruk terhadap kesehatan buruh perempuan yang sedang hamil atau menstruasi.
“Dalam kasus ekstrem, ini (Omnibus Law UU Cipta Kerja) bisa jadi pintu masuk perbudakan modern,” kata Asfinawati.
Ada Diskriminasi dalam Pembuatan UU
Lebih lanjut, dirinya menilai bahwa sikap negara dalam mengesahkan RUU menjadi UU selama ini terbilang diskriminatif.
“Jelas ada diskriminasi dalam pembuatan UU. Omnibus Law UU Cipta Kerja bisa selesai dalam waktu singkat. Sementara, RUU PPRT dan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) tidak disahkan dalam sekian tahun,” cecar Asfinawati.
Menurutnya, ada sikap pilih-pilih pada DPR mengenai mana RUU yang harus disahkan segera dan mana yang ditunda (lagi) pengesahannya.
Baca Juga: AJI: Perusahaan Media di Indonesia Belum Dukung Kesetaraan Gender
“Ada diskriminasi pada DPR, mana RUU yang jadi prioritas. Melindungi perempuan bukan prioritas,” sesal Asfinawati.
Sebelum mengakhiri paparannya, dia kembali mengatakan bahwa negara belum optimal melindungi perempuan.
“Indonesia masih abai dalam melindungi perempuan, dan justru malah mendiskriminasi perempuan,” tutup Asfinawati.(*)