Parapuan.co - Gerakan Anti kekerasan terhadap Perempuan (GERAK Perempuan) mengemukakan empat tuntutan dalam Hari Perempuan Internasional, Senin (8/3/2021).
Adapun Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD) diperingati setiap 8 Maret.
Berdasarkan keterangan resmi yang diterima oleh PARAPUAN, keempat tuntutan itu terkait dengan tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) dan satu UU.
Baca Juga: Rayakan Hari Perempuan Internasional, UNIQLO dan UNHCR Rilis Upcycling Project
Rincinya, GERAK Perempuan menuntut agar pemerintah mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Mereka juga menyuarakan penolakan terhadap RUU Ketahanan Keluarga dan menuntut pembatalan UU Cipta Kerja.
GERAK Perempuan menilai bahwa keempat aturan hukum tersebut dapat berdampak buruk terhadap perempuan sehingga menjadi poin utama dalam tuntutan mereka.
Pembahasan singkat mengenai masing-masing RUU dan UU tersebut dapat disimak dalam paragraf berikut.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)
Seperti dikutip dari Kompas.com, pakar hukum dan pendiri Institut Perempuan, Valentina Sagala, menilai bahwa ada tiga alasan kenapa RUU PKS harus segera disahkan.
Pertama, menyangkut soal filosofis, yakni sesuai filosofi negara berupa Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, negara wajib melindungi warganya dari kekerasan dan diskriminasi.
Baca Juga: Kurangi Limbah Fashion, UNIQLO dan UNHCR Rilis Upcycling Project di Hari Perempuan Internasional
Kedua adalah alasan sosiologis yaitu di lingkungan masyarakat, setiap dua jam sekali diperkirakan ada tiga perempuan Indonesia yang mengalami kekerasan seksual.
Ketiga terkait alasan yuridis yang berarti ada kekosongan atau ketidaklengkapan hukum yang mengatur soal perlindungan untuk korban kekerasan seksual.
RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT)
Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk lebih berpihak kepada kaum marginal.
Melansir Kompas.com, salah satu unsur kaum marginal tersebut adalah pembantu rumah tangga (PRT) mengingat profesi ini rawan mengalami kekerasan.
Baca Juga: Jokowi Sebut Perempuan Punya Kesempatan Sama di Hari Perempuan Internasional 2021
Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, masih dikutip dari Kompas.com, mengatakan bahwa RUU PPRT baru masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR sejak periode 2004-2009.
Setelah menunggu lama, RUU PPRT baru masuk RUU Prioritas Prolegnas pada 2020.
DPR idealnya mempercepat proses pengesahan RUU tersebut agar segera menjadi UU yang dapat memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi PRT dan pemberi kerja.
RUU Ketahanan Keluarga
RUU ini menuai kecaman dari masyarakat lantaran dinilai terlalu ikut campur dalam privasi warga terutama terkait hubungan suami-istri dalam keluarga.
Menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), seperti dikutip dari Kompas.com, terdapat tiga poin pada RUU tersebut yang perlu dikritisi lebih lanjut.
Pertama, RUU dinilai memperkecil peran agama dalam membimbing warga untuk menjalankan fungsi keluarga yang dinamis.
Baca Juga: Hari Perempuan Internasional 2021, Jokowi: Semua Setara Memberi Warna Bagi Peradaban
Kedua, RUU dianggap mendiskriminasi gender mengingat adanya pasal dalam RUU yang membeda-bedakan antara hak dan kewajiban suami istri secara tidak adil.
Ketiga, RUU berkesan menghina masyarakat miskin sebab RUU menyebutkan bahwa orangtua wajib memberikan kehidupan layak untuk anak yang belum tentu sesuai kantong warga miskin.
UU Cipta Kerja
Seperti yang kita tahu, DPR mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi UU melalui rapat paripurna pada 5 Oktober 2020.
Selanjutnya, Presiden Joko Widodo menandatangani Omnibus Law UU Cipta Kerja pada 2 November 2020 sehingga semua ketentuan dalam UU mulai efektif per tanggal tersebut.
Baca Juga: Rayakan Hari Perempuan Internasional dengan Quotes dari Tokoh Dunia Ini
Akibatnya, gelombang protes semakin membesar dari berbagai pihak, termasuk dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
KSPI menilai sejumlah poin pada UU berpotensi merugikan buruh seperti adanya kemungkinan kontrak seumur hidup, status pekerja outsourcing, upah murah, dan pesangon dikurangi.(*)