Parapuan.co - Kekerasan dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan, entah dari orang asing, keluarga, bahkan pasangan sendiri.
Namun, bagi korban kekerasan yang mengalami sindrom Stockholm, tentulah butuh cara penanganan yang tepat.
Sindrom Stockholm sendiri adalah suatu respons psikologis yang terjadi ketika korban kekerasan merasa mempunyai ikatan emosional dengan penculik atau penyiksanya.
Baca Juga: Kenali Sindrom Stockholm yang Bikin Kamu Rela Alami KDRT dari Pasangan
Tentu saja, cara menanganinya tidak sama dengan mengatasi trauma kekerasan terhadap mereka yang tidak mengalami sindrom tersebut.
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai bagaimana penanganannya, simak dulu contoh kasus terkenal dari orang-orang yang pernah mengalami sindrom Stockholm berikut ini.
1. Kasus Mary McElroy
Kasus penculikan terhadap putri seorang pejabat daerah di Kansas, Amerika, yang bernama Mary McElroy ini terjadi pada tahun 1933.
Melansir dari Healthline.com, kejadian penculikan tersebut dialami Mary ketika ia berusia 25 tahun.
Disebutkan, Mary ditodong oleh empat orang laki-laki yang kemudian membawanya ke sebuah lahan pertanian yang tidak terpakai.
Mary diikat di sebuah bangunan rumah yang ada di sana, sementara para penculik menghubungi keluarga korban untuk meminta tebusan.
Tak berapa lama setelah penculik melepaskan Mary, putri dari Henry McAlroy itu justru kesulitan menyebutkan nama-nama tersangka sewaktu dipanggil ke persidangan.
Ia hampir enggan menyebutkan para penculiknya, bahkan sampai menyatakan bahwa dirinya bersimpati terhadap para penculik di hadapan publik.
Baca Juga: Efek Trauma Bisa Memengaruhi Cara Otak Bekerja, Begini Kata Ahli
2. Penculikan Patty Hearst
Berikutnya yang disebut paling terkenal adalah kasus penculikan Patty Hearst, cucu pengusaha dan pemilik penerbitan surat kabar, William Randolph Hearst.
Penculikan terhadap Patty Hearst dilakukan oleh Symbionese Liberation Army (SLA) pada 1974 silam.
SLA merupakan organisasi di Amerika Serikat yang anggotanya dikenal kerap merampok bank, membunuh, dan banyak melakukan tindak kekerasan.
Baca Juga: Stres Akibat Trauma Masa Lalu? 6 Cara Ini Bisa Membantumu Sembuhkan Luka Inner Child
Mirisnya, selama ditahan oleh SLA, Patty malah berganti nama dan disebut bergabung dengan para penculiknya untuk merampok bank.
Saat ditangkap polisi, Patty mengaku dirinya terkena sindrom Stockholm dan menolak dianggap bergabung dengan SLA.
Sayangnya, pengadilan tidak lantas percaya pada pembelaannya, sehingga ia tetap diadili dan dijatuhi hukuman 35 tahun penjara.
3. Penyekapan Natasha Kampusch
Kasus Natasha Kampusch tidak boleh dilewatkan ketika berbicara mengenai sindrom Stockholm yang bisa dialami korban kekerasan.
Natasha Kampusch diculik oleh seorang pria bernama Wolfgang Přiklopil saat usianya masih 10 tahun pada 1998 silam.
Gadis cilik itu disekap di ruang bawah tanah dan diisolasi selama lebih dari 8 tahun oleh Wolfgang.
Selama 8 tahun pula, si penculik menyiksa Natasha, bahkan sampai mengancam akan membunuhnya.
Akan tetapi, Wolfgang tak hanya bersikap jahat kepada Natasha, melainkan juga menunjukkan sisi baiknya.
Baca Juga: Takut Untuk Jatuh Cinta Lagi? Ini Solusi Agar Kita Siap Membuka Hati
Hingga suatu ketika, pada tahun 2006 Natasha berhasil melarikan diri sampai polisi dan keluarga menemukannya.
Sayang, Wolfgang tidak dapat diadili lantaran tewas tertabrak kereta saat dirinya berusaha kabur dari kejaran polisi.
Mendengar penculiknya tewas, Natasha yang diperiksa dan mendapatkan konsultasi psikologis disebut menangis tersedu-sedu.
Ia juga mengatakan kepada polisi bahwa tindakan Wolfgang hanya sebatas melanggar hukum, dan ia menunjukkan tanda-tanda terkena sindrom Stockholm.
Penanganan tepat terhadap korban kekerasan dengan sindrom Stockholm
Dari kasus-kasus di atas, Kawan Puan dapat mengetahui bahwa mereka yang mengalami sindrom Stockholm memiliki trauma yang berbeda dibandingkan korban kekerasan biasa.
Pasalnya, penderita sindrom Stockholm bersimpati kepada tersangka dan merasa tindakan yang dilakukan dapat dimaklumi.
Oleh karenanya, Healthline.com mengklaim ada dua cara yang tepat untuk mengembalikan mental korban seperti sedia kala.
Pertama, konseling dapat dilakukan sebagai langkah jangka pendek bagi mereka yang mengalami trauma untuk sembuh dari serangan panik dan depresi.
Kedua, dan untuk jangka panjang, sebaiknya dilakukan psikoterapi terhadap korban untuk dapat sembuh.
Psikoterapi memungkinkan seseorang untuk bisa memahami apa yang terjadi, bagaimana kejadian yang menimpanya bisa terjadi, dan apa yang harus dilakukan untuk move on. (*)
Baca Juga: Sering Menyenangkan Orang Lain? Ini 4 Dampak Buruk Menjadi Seorang People Pleaser