“Dalam banyak komunitas dan bangsa, terdapat cara pandang tradisional yang selalu melihat peran domestik seperti merawat anak, merawat anggota keluarga, dan urusan rumah tangga seperti belanja, membersihkan rumah, mencuci, dan memasak menjadi wilayah dari perempuan,” ujar Dr. Devie Rahmawati, peneliti dan pengajar tetap di Vokasi Komunikasi Sosial, Universitas Indonesia.
Alhasil, cara pandang tradisional tersebut terbawa hingga kini. Perempuan selalu mendapatkan pembagian peran domestik yang lebih besar dibandingkan laki-laki.
Sedangkan laki-laki mendapatkan pembagian peran dalam keluarga sebagai pencari nafkah, di mana tugas domestik adalah urusan sampingan saja.
Baca Juga: Konstruksi Feminitas dan Maskulinitas dalam Peran Rumah Tangga
Dr. Devie Rahmawati pun menambahkan bahwa ketika laki-laki mengerjakan peran domestik akan dinilai sebagai pilihan bebas (free choices) atau hobi semata.
Kepercayaan bahwa peran domestik dipegang oleh gender tertentu itu terjadi karena ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Hingga dalam praktiknya, banyak dari perempuan merasa mereka dilahirkan untuk melakukan pekerjaan domestik tersebut.
Padahal, bagi beberapa keluarga ada yang menjadikan perempuan sebagai tulang punggung keluarga dan laki-laki sebagai bapak rumah tangga.
Namun, hal itu sering kali tidak terlihat ke permukaan dan masih dianggap kurang umum.