Parapuan.co - Ketika menyebutkan siapa pencari nafkah utama, mungkin sebagian dari Kawan Puan menjawab ayah, suami, atau seorang laki-laki.
Itu tidak salah, faktanya di masyarakat kita mayoritas pencari nafkah utama adalah laki-laki.
Selain itu, riset yang dilakukan PARAPUAN bertajuk ‘Pembagian Peran Domestik antara Suami dan Istri’ pada 16-19 April kepada 234 responden, menunjukkan hasil yang sama.
Baca Juga: Tak Malu Kerjakan Tugas Domestik, Suami Buktikan Rumah Tangga Setara adalah Soal Kerja Sama
Hingga saat ini, laki-laki masih menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga (66,6%).
Sementara itu, perempuan yang ikut berkontribusi dalam finansial keluarga hanya berperan sebagai pencari nafkah tambahan saja dan bukan yang utama (17,9%).
Tapi, ada juga pencari nafkah utama keluarga dikerjakan oleh perempuan atau istri, meskipun data hanya menunjukkan 2.10% dari keseluruhan responden.
Perspektif bahwa peran domestik dilimpahkan kepada perempuan sudah menjadi persetujuan umum dan sering dianggap wajar.
Namun bagaimana jika pembagian peran dalam keluarga ini dibalik? Suami sebagai bapak rumah tangga dan istri sebagai pencari nafkah utama keluarga?
Apakah hal tersebut memungkinkan untuk diterapkan dalam keluarga kita dan diterima oleh lingkungan sekitar?
Faktanya, menukar pembagian peran dalam keluarga tidak semudah yang kita bayangkan. Namun bukan berarti hal tersebut tidak mungkin.
“Dalam banyak komunitas dan bangsa, terdapat cara pandang tradisional yang selalu melihat peran domestik seperti merawat anak, merawat anggota keluarga, dan urusan rumah tangga seperti belanja, membersihkan rumah, mencuci, dan memasak menjadi wilayah dari perempuan,” ujar Dr. Devie Rahmawati, peneliti dan pengajar tetap di Vokasi Komunikasi Sosial, Universitas Indonesia.
Alhasil, cara pandang tradisional tersebut terbawa hingga kini. Perempuan selalu mendapatkan pembagian peran domestik yang lebih besar dibandingkan laki-laki.
Sedangkan laki-laki mendapatkan pembagian peran dalam keluarga sebagai pencari nafkah, di mana tugas domestik adalah urusan sampingan saja.
Baca Juga: Konstruksi Feminitas dan Maskulinitas dalam Peran Rumah Tangga
Dr. Devie Rahmawati pun menambahkan bahwa ketika laki-laki mengerjakan peran domestik akan dinilai sebagai pilihan bebas (free choices) atau hobi semata.
Kepercayaan bahwa peran domestik dipegang oleh gender tertentu itu terjadi karena ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Hingga dalam praktiknya, banyak dari perempuan merasa mereka dilahirkan untuk melakukan pekerjaan domestik tersebut.
Padahal, bagi beberapa keluarga ada yang menjadikan perempuan sebagai tulang punggung keluarga dan laki-laki sebagai bapak rumah tangga.
Namun, hal itu sering kali tidak terlihat ke permukaan dan masih dianggap kurang umum.
Perempuan sebagai ibu dan pencari nafkah utama
Salah satu responden survei PARAPUAN yang termasuk dalam jajaran perempuan pencari nafkah utama adalah Rizkiana Hidayat, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Saat ini ia memiliki suami dan seorang anak berusia dua tahun dengan pembagian tugas domestik dan pekerjaan utama sesuai kesepakatan bersama dan komunikasi terbuka.
Ia bekerja untuk mengabdi kepada negara dan satu pintu pemasukan finansial bagi keluarga tercinta.
“Saya sempat menitipkan si kecil kepada neneknya di Purwokerto, kemudian saya pindah kerja dari Jakarta ke Yogyakarta dan si kecil kembali kami rawat,” ujar Rizkiana saat dihubungi PARAPUAN, Senin (10/5/2021).
Baca Juga: Ini Tips dari Sogi Indra Dhuaja agar Para Istri Bisa Ajak Suami Kerjakan Tugas Domestik
Rizkiana dan suami sepakat untuk merawat anaknya yang masih kecil bersama tanpa bantuan asisten rumah tangga atau orang tuanya.
“Saat pindah ke Yogyakarta, suami waktu itu dapat tawaran kerja juga di salah satu perusahaan swasta, tapi kami berdua memutuskan untuk tidak mengambilnya,” tutur Rizkiana.
Ia menambahkan, kini suaminya menjadi bapak rumah tangga dan mengasuh anak dalam kesehariannya.
Meskipun keputusan yang berat, Rizkiana dan suaminya memutuskan kesepakatan yang dianggapnya paling sesuai bagi keluarganya.
Tak lupa, keduanya saling mendukung satu sama lain dalam pekerjaan masing-masing.
“Suami sempat down juga pada awalnya, ia mengeluh karena tidak bekerja, mengurus rumah, sedih tidak bisa membelikan sesuatu ini itu, dan kasihan lihat saya bekerja sendirian,” kata Rizkiana.
Namun ia berbesar hati dan menyampaikan kepada suaminya bahwa ia menjalankannya dengan ikhlas.
Selain itu, ia juga tidak pernah mempermasalahkan nafkah dan kebutuhan yang lain karena inilah pilihan dan kesepakatan keduanya.
“Kalau suami dan istri sama-sama kerja kemudian anak dititipkan ke daycare lebih kasihan, ya. Pulang-pulang keduanya capek dan nggak maksimal (merawat anak),” imbuh Rizkiana.
Baca Juga: Suami Melakukan Pekerjaan Domestik Dianggap Tidak Maskulin, Kok Bisa?
Ia juga mengakui bahwa sang suami yang menjadi bapak rumah tangga dan mengurus keluarga secara keseluruhan tidak mudah, namun ada saja komentar pedas yang dilontarkan kepada keputusan keluarganya.
Ia kerap mengalami patah hati karena apa yang dikatakan oleh orang lain kepadanya dan suami tidak berdasarkan fakta dalam rumah tangga mereka.
“Kalau ketemu, kami sering disindir. Sedih sekali jika ada komentar yang mengatakan suami saya sejak nikah lebih kurus dan kurang gizi,” ujar Rizkiana.
Meskipun begitu, Rizkiana berusaha menutup telinga karena orang lain tidak akan pernah tahu bagaimana kesepakatan bersama dalam rumah tangganya.
Peran domestik tetap dilaksanakan
Kendati demikian, Rizkiana tak lepas tangan dalam peran domestik. Ia juga ikut serta mengelola kebutuhan rumah dan mengasuh anak.
Tugas rumah tangga tetap mereka bagi menjadi dua, Rizkiana mendapat bagian belanja kebutuhan dan memasak.
Sedangkan, suami mendapatkan porsi mengerjakan tugas domestik yang lebih banyak seperti mencuci piring, mencuci baju, setrika, dan membersihkan rumah.
Sedangkan, mengasuh anak tetap dirawat bersama, meskipun saat jam kerja si buah hati lebih dominan dirawat suaminya.
Baca Juga: Apa Jadinya Jika Semua Tugas Domestik Dibebankan kepada Istri? Ini Kata Psikolog
Rizkiana juga tetap memberikan quality time bersama anak sepulang kerja dan akhir pekan.
Sehingga, ia dan anaknya tidak mengalami hubungan jarak jauh dan kurang komunikasi.
Rizkiana menyatakan, bahwa dalam suatu rumah tangga komunikasi terbuka antara satu sama lain itu sangat penting.
Terkait dengan peran domestik, itu tidak selalu menjadi pekerjaan perempuan, laki-laki pun bisa turut serta, termasuk melakukan pekerjaan domestik seperti mencuci baju.
“Banyak perempuan yang menjadi pencari nafkah utama, tidak melulu berkutat di dapur. Mereka hebat karena tetap mempunyai sisi keibuan,” ujar Rizkiana. (*)