Parapuan.co - Aktris Amerika Serikat (AS) Scarlett Johansson (36) mengkritik adanya unsur hypersexualization terhadap karakter Black Widow yang diperankannya dalam film Iron Man 2 (2010).
Situs Bbc.com pada Sabtu (19/6/2021) mengabarkan bahwa aktris 36 tahun tersebut merujuk pada suatu adegan dalam film itu yang melakukan hypersexualization terhadap Black Widow.
Dalam Iron Man 2, ada suatu adegan ketika karakter Tony Stark yang merupakan nama asli Iron Man (diperankan oleh Robert Downey Jr.) menyebut Black Widow sebagai sepotong daging.
Baca Juga: Jordyn Woods Kerap Alami Overseksualisasi di Media Sosial, Apa itu?
"Ada momen ketika (karakter) Tony menyebut dia (Black Widow) sebagai sepotong daging," ucap Scarlett, Sabtu, seperti dikutip dari Bbc.com.
Meski itu hanyalah dialog dalam Iron Man 2, namun ucapan demikian tidak pantas sebab sama saja dengan mengibaratkan Black Widow, yang jelas-jelas perempuan, sebagai makanan bagi lelaki.
Sebagai catatan, film yang disutradarai oleh Jon Favvreau tersebut mengisahkan tentang karakter pahlawan super Iron Man yang berusaha melawan penjahat yang hendak menghancurkan dunia.
Scarlett juga menilai bahwa Black Widow seakan dibicarakan sebagai sebuah benda dalam Iron Man 2.
"(Iron Man 2) sangat membicarakan dia (Black Widow) seolah-olah dia adalah suatu benda, objek, atau barang kepunyaan," ujar Scarlett, seperti dikutip dari Bbc.com.
Namun, tidak diketahui apakah sang aktris masih membahas soal adegan ketika Tony menyebut Black Widow sebagai sepotong daging atau adegan lain dalam Iron Man 2.
Baca Juga: Cinta Kuya Pernah Alami Pelecehan Seksual dan Memilih Bungkam, Mengapa?
"Walau Iron Man 2 sangat menyenangkan dan punya banyak momen seru dalam film, namun karakter itu (Black Widow)" sangat diseksualisasikan (hypersexualization)," kata Scarlett, seperti dikutip dari Bbc.com.
Sejauh ini belum ada tanggapan dari perusahaan komik AS Marvel yang menciptakan karakter Black Widow maupun Robert terkait kritik hypersexualization oleh Scarlett tersebut.
Lantas, apa sebetulnya hypersexualization yang tadi dikritik oleh Scarlett?
Berikut penjelasan lebih lanjut, dilansir dari situs Quebec.ca/child-development.
Definisi Hypersexualization
Quebec.ca/child-development mendefinisikan istilah hypersexualization sebagai seksualisasi terhadap objek-objek yang dikonsumsi publik seperti tayangan media massa, iklan, dan lainnya.
Perempuan sering dijadikan sasaran hypersexualization untuk membuat tayangan atau iklan menjadi lebih menarik.
Tayangan atau iklan tersebut menampilkan betis, paha, dan dada perempuan dengan sensual.
Selain itu, tayangan atau iklan di media massa juga kerap menampilkan aktris atau model perempuan dengan standar kecantikan tertentu untuk mendukung hypersexualization.
Baca Juga: Tak Hanya Aktris, 4 Aktor Ini juga Alami Toxic Beauty Standards
Standar kecantikan itu seperti berkulit putih, langsing, berbibir tebal, berambut panjang, dan berdada besar.
Padahal, tidak semua perempuan berpenampilan fisik seperti itu, Kawan Puan.
Standar kecantikan yang mendukung hypersexualization juga diterapkan pada laki-laki yakni otot dada yang besar dan bidang, pundak lebar, tubuh tinggi kekar, dan lainnya.
Sama halnya dengan perempuan, tidak semua laki-laki berpenampilan fisik demikian.
Dampak Hypersexualization
Hypersexualization dapat menimbulkan dampak buruk bagi individu, khususnya usia anak-anak atau remaja.
Ini lantaran di usia tersebut, anak atau remaja umumnya mudah terpengaruh oleh lingkungan mereka dan belum bisa betul-betul membedakan mana yang baik dan buruk.
Tayangan atau iklan yang berbau hypersexualization dapat berdampak buruk terhadap kehidupan anak maupun remaja.
Standar kecantikan yang mendukung hypersexualization bisa membuat anak atau remaja perempuan meyakini bahwa dirinya hanya akan dibilang menarik jika berkulit putih, berdada besar, dan sebagainya.
Baca Juga: Kekerasan Seksual Jadi Senjata Perang, ini List Negara yang Terdampak
Akibatnya, anak atau remaja perempuan jadi berpikir bahwa keelokan fisik adalah segalanya sehingga cenderung menilai orang dan diri sendiri berdasarkan penampilan fisiknya.
Padahal, setiap orang punya keunggulan masing-masing seperti bakat berolahraga, kecerdasan akademis, dan lainnya yang jauh lebih penting dari sebatas penampilan fisik.
Namun, anak atau remaja perempuan yang terpengaruh oleh standar kecantikan itu jadi diet mati-matian atau melakukan hal lainnya agar memenuhi standar kecantikan tersebut dan dibilang menarik.
Pun anak atau remaja laki-laki yang cenderung berolahraga keras agar bisa memiliki tubuh kekar dan menawan seperti yang digambarkan dalam standar kecantikan yang mendukung hypersexualization itu.
Selain memengaruhi pola pikir terkait penampilan fisik, hypersexualization juga dapat memengaruhi mereka untuk melakukan hubungan seksual sebelum waktunya.
Ini lantaran tayangan atau iklan yang mendukung hyersexualization menampilkan aktor, aktris, atau model yang ceritanya sedang bercinta tanpa terikat hubungan pernikahan.
Tayangan atau iklan tersebut juga mengesankan seolah melakukan hubungan seksual di luar nikah adalah wajar, bahkan keren.
Alhasil, anak atau remaja perempuan maupun laki-laki yang melihatnya jadi dapat berpikir bahwa melakukan hubungan seksual pranikah adalah hal keren sehingga tergerak untuk melakukannya.
Baca Juga: Pemberdayaan Perempuan dapat Menekan Kasus Kekerasan Seksual
Mereka belum memahami bahwa melakukan hubungan seks di luar nikah dapat menimbulkan kehamilan yang tidak direncanakan.
Akibatnya, demi dibilang keren oleh lingkungan sekitarnya, banyak di antara mereka yang melakukan hubungan suami-istri di luar nikah yang kemudian berujung pada kehamilan.
Selain dapat mengakibatkan kehamilan, perbuatan tersebut juga dapat membuat mereka rentan mengalami penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome).
Yang Bisa Dilakukan terkait Hypersexualization
Untuk mencegah anak atau remaja terpengaruh oleh hypersexualization di media massa, orang tua harus mengajarkan anak soal seksualitas sejak usia dini.
Ajarkanlah secara sederhana, misalnya mana bagian tubuh anak atau remaja yang tidak boleh dilihat atau disentuh orang lain.
Seiring bertambahnya usia mereka, orang tua bisa mengajarkan materi seksualitas dengan lebih mendalam, misalnya hubungan badan antara perempuan dan laki-laki dapat menciptakan kehamilan.
Itulah sebabnya anak atau remaja sebaiknya berhubungan badan ketika sudah menikah dengan pasangannya kelak.
Baca Juga: Apa Itu Vaginosis Bakterialis, Satu Gangguan Kesehatan Seksual dan Reproduksi Perempuan
Ketika anak atau remaja sudah terpapar tayangan atau iklan yang mendukung hypersexualization, orang tua harus memberitahukan kepada anak atau remaja bahwa tayangan atau iklan tersebut adalah buruk.
Kemudian, orang tua harus menjelaskan kenapa tayangan atau iklan tersebut dibilang buruk, misalnya karena menampilkan aktris atau model perempuan secara sensual.
Orang tua pun sebaiknya lebih mengawasi penggunaan internet oleh anak atau remaja, mengingat tayangan atau iklan yang mendukung hypersexualization pun banyak ditemukan di dunia maya.
Semoga artikel ini bisa membuatmu lebih mengerti soal hypersexualization ya, Kawan Puan. (*)