Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Hidup perempuan itu indah. Nyaris tanpa luka. Senantiasa hadir dalam citra wajah ceria, berbalut pakaian trendi aneka warna. Ini dipadukan dengan rupa-rupa aksesoris: tas, sepatu, hingga hiasan rambut yang serasi.
Wangi tubuhnya dibangun oleh aroma yang memabukkan seisi semesta. Wangi yang mengatasi segala rupa bau busuk. Juga busuknya isi hati yang culas.
Manakala memperoleh kegembiraan, perempuan merayakan dengan santapan fine dining. Makanan dalam porsi kecil, namun menghadirkan seluruh rasa semesta. Meski ukurannya kecil, namun berlabel harga premium.
Seluruhnya, ditujukan untuk menjaga keindahan tubuh penyantapnya. Tubuh yang harus selalu tampil enak dipandang mata.
Apabila hatinya terluka, segelas wine yang diolah dari anggur kebun terbaik jadi penawarnya. Cara meneguknya pun tak sembarangan. Hanya patut bagi mereka yang telah mahir bertata krama.
Tentu saja, itu semua adalah racikan juru masak yang berhasil menamatkan belajar dari sekolah olah rasa kelas dunia. Juru memasak yang tak saja terampil menata sajian di meja, namun juga mahir menata suasana hati para pelanggannya.
Kisah hidup perempuan, tak lebih seputar kasih mengasihi di antara laki-laki kaya. Laki-laki yang terlahir jadi pewaris tahta usaha. Incaran para mertua.
Pada bahunya yang kokoh, tersedia peredam rasa manakala hati perempuan sedang gundah.
Selalu ada laki-laki baik, untuk tiap kesedihan perempuan. Silang kata bukan tanda keadaban. Karenanya basa-basi indah jadi bahasa yang dipertukarkan. Sepenuhnya untuk menjaga, agar wajah perempuan tetap gembira.
Sayang sekali hidup indah tanpa cela itu hanya sebatas tontonan. Tontonan yang jadi ilusi banyak perempuan muda.
Seluruhnya hasil kreasi para seniman peracik bahagia, yang ditampilkan pada serial Emily in Paris. Serial hit Netflix yang kini telah menginjak musim ke-3 dalam 10 episodenya.
Hidup perempuan sejatinya tak segemilang itu. Hingga abad teknologi ini, tak juga lepas dari problematika.
Problematika pelik yang terbawa oleh relasi rentan penuh tipu daya: Laki-laki pemilik kuasa, dengan perempuan yang hendak direngkuh dalam kuasa.
Baca Juga: Tak Semudah di Emily in Paris, Ternyata Ini Tugas Seorang Social Media Manager
Seperti apa kehidupan perempuan itu dalam realitasnya?
Politico Magazine, 2019 dalam tajuk beritanya yang berjudul “What Are the Biggest Problems Women Face Today? Eleven Female Lawmakers, Journalists and Scholars Weigh in”, menjaring suara perempuan terkemuka di Amerika.
Para perempuan ini mengurai tantangan-tantangan yang dihadapi perempuan masa kini di negaranya, yang hingga kini pun belum menikmati posisi setara.
Sesuai judulnya, ada beberapa perempuan terkemuka dengan profesi yang cemerlang, membuka suara. Mulai dari Senator Partai Demokrat, pengajar ilmu Sejarah, calon Wakil Presiden pada pemilu AS 2020, penulis buku terkemuka, mitra terkemuka urusan pangan dan pertanian global, pendiri dan direktur LSM, hingga pembawa acara televisi terkenal.
Jika disebut namanya, merekalah Amy Klobuchar, sang Senator; Keisha N. Blain yang berprofesi sebagai pengajar ilmu sejarah; Kamala Harris yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden Amerika Serikat; dan tentu saja Margaret Hoover, pembawa acara Firing Line. Sebuah acara televisi, yang menapaki popularitasnya sejak tahun 1966.
Baca Juga: Cinta Laura Bicara Soal Tantangan Mimpi Perempuan Indonesia di Acara #GirlsBelongHere
Tantangan-tantangan yang dihadapi perempuan masa kini, menurut para perempuan dimaksud adalah:
- Minimnya representasi perempuan dalam kekuasaan,
- Relasi yang patriarki,
- Tak cukupnya jumlah perempuan yang terlibat dalam isu-isu strategis,
- Seksisme-rasisme dan ketimpangan ekonomi,
- Ancaman kerentanan yang berlebihan,
- Tak setaranya akses perempuan pada berbagai kesempatan,
- Kurangnya penghargaaan pada pengasuhan,
- Pilihan dilematis sebagai ibu dibanding karier,
- Peningkatan kematian perempuan, dan
- Santernya gerakan yang menormalisasi misogini.
Mari dimulai pembahasannya.
Minimnya representasi perempuan dalam kekuasaan dikemukakan Amy Klobuchar.
Keprihatinan perempuan politisi ini, berangkat dari kenyataan terjadinya kesenjangan keterlibatan perempuan pada penyusunan kebijakan.
Menurutnya, kehadiran perempuan untuk memenuhi keperluan penyusunan kebijakan diperlukan dari ruang rapat, ruang pengadilan, hingga kepemimpinan politik di seluruh dunia.
Dalam kenyataannya, seluruhnya masih berjumlah minim.
Akibatnya bagi perempuan, kebijakan gaji hingga bantuan kemanusiaan tak berpihak padanya. Hampir seluruhnya tersusun tanpa sudut pandang perempuan. Ini membuka kesenjangan yang tak berujung.
Baca Juga: Cerita Raisa dan Inez Soal Beban Ganda Wanita Karir saat Pandemi
Tantangan penting lainnya adalah, relasi yang patriakis. Ini dikemukakan Keisha N. Blain.
Patriarki yang dipikirkan Blain utamanya terjadi dalam kancah politik Amerika. Relasi timpang ini menumbuhkan persepsi masyarakat luas: Perempuan kurang berkualitas dan tak kompeten dibanding laki-laki.
Dalam bermain-main di arena politik, perempuan diragukan kemampuannya. Perempuan tak bakal menyamai, apalagi melampaui laki-laki, pada urusan yang hendak disterilkan dari perempuan.
Sterilisasinya dilakukan lewat tampilan bias media dalam memberitakan perempuan. Yang lebih disorot dari perempuan politisi adalah gaun yang dikenakan, ketimbang gagasan cemerlang yang diajukannya.
Seluruhnya kemudian diduga jadi penyebab Amerika hingga hari ini tak punya presiden perempuan.
Baca Juga: Pemilu 2024 dan Identitas Politik Perempuan yang Kerap Termarjinalkan
Isi kepala warga negaranya dipenuhi oleh persepsi salah, soal kualitas perempuan. Persepsi yang justru telah selesai di negara-negara Liberia dan Asia. Negara-negara yang tak menganggap tabu punya pemimpin tertinggi perempuan.
Senada dengan Amy Klobuchar, Wakil Presiden Kamala Harris menggangap klasifikasi persoalan jadi ‘soal laki-laki vs. soal perempuan’ adalah penyebab tak cukup hadirnya perempuan di berbagai permasalahan.
Persoalan ekonomi, perubahan iklim global, reformasi peradilan pidana, hingga keamanan nasional, juga merupakan masalah perempuan.
Perempuan bukan hanya diperlukan di tingkat kebijakan, namun juga pada pengambilan keputusan.
Harus selalu ada perempuan di tiap meja keputusan.
Ilustrasinya, Amerika hari ini menempati posisi ke-75 dari 193 negara dalam hal keterwakilan perempuan di pemerintahan. Ini di tengah kenyataan, perempuan adalah penghuni separuh ini dunia.
Lalu, mengapa kebijakan dan pengambilan keputusan hanya dilakukan setengah isi penduduk lainnya? Itu keprihatinan sang Wakil Presiden Amerika.
Selanjutnya, menarik mengikuti pandangan Christina Hoff Sommers. Dirinya mencium munculnya konstruksi baru bernada ancaman terhadap kerentanan perempuan yang berlebihan.
Ancaman ini kemudian jadi tema feminisme yang berkembang di Amerika. Begini uraian Sommers.
“Ancaman bahaya adalah hal yang niscaya. Tetapi dalam ukuran yang masuk akal, wanita Amerika adalah wanita yang paling aman, paling bebas, paling sehat, dan paling kaya peluang di bumi ini.
“Dalam banyak hal, Perempuan Amerika tidak hanya melakukan sebaik laki-laki. Juga melampauinya. Namun sayangnya di mana-mana, terutama di kampus-kampus, perempuan muda diajari bahwa mereka rentan, rapuh, dan terancam bahaya.
“Feminisme baru yang berpusat pada trauma telah berkembang.”
Feminisme yang berkembang saat ini, bukan feminisme yang menjadikan laki-laki sebagai orientasi untuk mencapai kesetaraan. Justru menjadikan laki-laki sebagai ancaman bagi perempuan.
Baca Juga: Inspiratif! Ini Rekomendasi Buku Feminisme dan Kesetaraan Gender Pilihan Emma Watson
Operasi feminisme salah arah ini dibangun lewat narasi: Amerika adalah salah satu dari 10 negara paling berbahaya di dunia, bagi perempuan. Bahkan lebih berbahaya dari Iran maupun Korea Utara.
Uniknya, narasi yang dibangun berdasar survei itu diprakarsai Reuters Foundation. Sebuah lembaga yang punya kredibilitas dalam layanan berita dan informasi global. Senantiasa memperjuangkan kemajuan, kebebasan media, ekonomi inklusif dan promotor bagi hak asasi manusia.
Survei yang dilakukan lembaga sekelas Reuters ini, hanya menyebut ‘persepsi dari ahli’ yang tak disebut namanya.
Lewat narasi ini, etika ketakutan dikembangkan, jadi racun yang mengerdilkan pikiran perempuan.
Baru 4 tantangan yang diuraikan di sini. Dan seluruhnya pandangan perempuan Amerika terhadap perempuan di negaranya.
Namun tak tertutup peluangnya, tantangan yang disebutkan juga jadi tantangan bagi perempuan Indonesia, maupun negara-negara dunia lainnya.
Tak mustahil pula tantangan bagi Perempuan Indonesia, belum seberat di Amerika.
Yang harus dihadapi masih bersifat mendasar: Timpangnya ketersediaan kesempatan belajar, maupun kebebasan beraktivitas, sebagaimana yang dinikmati laki-laki.
Baca Juga: Mereka yang Menciptakan dan Diuntungkan oleh Rasa Insecure Perempuan
Untuk ini semua, ada sebuah buku menarik yang ditulis Nell Scovell dan Sheryl Sanberg berjudul, Lean In: Women, Work and the Will to Lead, yang terbit pertama kalinya di tahun 2013.
Pada intinya buku ini mengajak perempuan untuk tidak ragu dalam memanfaatkan kapasitasnya di tempat kerja maupun rumah. Bahkan ketika itu harus berhadapan dengan laki-laki.
Perempuan di tempat kerja maupun di rumah, punya kemampuan. Dan itu tak mengharuskannya jadi gender kedua (demikian istilah Simone de Beauvoir), lantaran dirinya adalah perempuan.
Hidup memang tak selalu tersedia indah. Tapi juga tak menjerumuskan perempuan dalam nasib buruk.
Kegigihan untuk meraihnya lah yang mengantar, kehidupan macam apa yang bakal dialami perempuan.
Banyak kajian yang menunjukkan bahwa teknologi, yang makin terjangkau dan tak lepas dari genggaman, dapat menyempitkan kesenjangan. Bahkan tanpa Kawan Puan beranjak dari rumah.
Mungkin dari sana lah, itu semua dapat ditempuh? (*)