Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Ketiga, komposisi populasi perempuan memang setengah bagian dari laki-laki (termasuk di arena politik).
Namun jumlah populasi yang seimbang antar gender, tak serta merta diikuti oleh representasi perempuan di dunia politik.
Rata-rata representasi perempuan di aktivitas ini sebesar 20% dari total posisi yang disediakan.
Itu pun ketika perempuan memberikan suatu gagasan, lebih sering mendapat pandangan negatif dibanding ketika laki-laki dengan gagasan yang sama.
Dalam realitasnya, perempuan di-bully, ditekan, ditindas ketika berada di arena politik.
Sayangnya realitas ini bukan khas perilaku di arena politik. Arena pendidikan, teknologi, maupun bidang-bidang lain menunjukkan gejala serupa.
Baca Juga: Sering Menjadi Target Bullying Rekan Kerja? Ternyata Ini 4 Alasannya!
Nampaknya dari 3 premis di atas, bukan perempuan yang tak nampak (invisible women), tapi laki-laki yang tak bersedia melihat penampakan perempuan.
Kehadirannya dikaburkan, suaranya dibisukan. Terlebih ketika itu terjadi di ruang publik.
Dalam sebuah pembahasan yang berbeda, Anja Lambrecht dan Catherine Tucker, 2018, dalam penelitiannya yang berjudul Algorithmic Bias? An Empirical Study Into Apparent Gender Based Discrimination in The Display of STEM Career Ads, mengemukakan diskriminasi sejenis pada perempuan.