Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Ini pembahasan soal perempuan yang tak kunjung berposisi setara dengan laki-laki.
Terjadi di dunia yang sepenuhnya diterjemahkan oleh laki-laki, dibangun untuk laki-laki.
Sejak tahun 1980-an, dalam realitasnya perempuan sudah banyak yang meraih posisi tinggi di berbagai aktivitas. Juga ketika diharuskan bersaing dengan laki-laki. Namun sayangnya jumlahnya masih minim.
Jika dinyatakan dalam angka, ada di kisaran 2,00-2,5% dari seluruh posisi yang tersedia. Tak beranjak tembus ke angka 3,00%.
Penyebab itu semua adalah kelemahan sistem yang tersedia. Seluruhnya terlalu berpihak pada laki-laki. Dunia dibangun oleh dan untuk laki-laki.
Baca Juga: RUU KIA Perlu Dikaji Lebih Dalam, Dinilai Turunkan Daya Saing Perempuan di Dunia Kerja
Laki-laki yang menghendaki dirinya harus memerintah, senantiasa ingin ada di posisi puncak ruang publik. Sementara perempuan harus tinggal di rumah.
Terjadi kesenjangan gender yang mudah disaksikan di berbagai belahan dunia. Yang menjangkiti arena kehidupan pribadi, hingga urusan profesional perempuan.
Jika tema ini masih dibicarakan dan perlu ditata ulang konfigurasinya, bukan lantaran kehendak kuasa yang dituntut perempuan.
Walaupun kekuasaan memang lekat dengan alokasi nilai ekonomi, memberi keleluasaan membuat keputusan sendiri, maupun mewujudkan keutuhan eksistensi diri.
Tema ini jadi masih menggaung karena kesetaraan itu tetap perlu diraih. Ini lantaran jika keadaannya tak berubah, kesehatan mental perempuan terancam.
Keseluruhan kalimat di atas bukan semata-mata ide berulang yang menghinggapi penulis untuk kembali mengemukakannya jadi bahasan.
Parafrase kalima-kalimat di atas bersumber dari sebuah buku menarik berjudul Invisible Women yang diterbitkan tahun 2019.
Penulisnya, Caroline Emma Criado-Perez, berasal dari Inggris dan dikenal juga sebagai jurnalis serta aktivis feminis.
Baca Juga: Menyingkap Pekerjaan yang Tak Terlihat Pada Perempuan di Era Digital
Gagasan penting invisible women (tak nampaknya perempuan) di buku ini, sebagaimana ditulis oleh Maria Deak di tahun 2012, bersumber dari 3 premis penting relasi laki-laki dengan perempuan.
Pertama, banyak realitas biologis yang dapat mendudukkan perempuan setara dengan posisi laki-laki, namun tak diungkap secara utuh dan cenderung disembunyikan.
Ketika Aritoteles menyatakan laki-laki adalah kelompok utama pada spesies manusia, dalam realitasnya ajaran biologi baru menyebut peran penting ovarium sebagai unsur keberlangsungan manusia, pada abad ke-17.
Lebih dari 2000 tahun posisi biologis penting perempuan ditutupi. Ini menutup pula banyak kesempatan bagi perempuan.
Kedua, berdasar fakta, perempuan banyak menderita luka parah bahkan mengalami kematian tragis dalam peristiwa kecelakaan.
Ini bukan soal nasib buruk yang lebih sering menimpa perempuan.
Penjelasannya bisa dilacak: Sejak uji coba keamanan maupun kenyamanan kendaraan, seluruhnya berpatokan pada tubuh laki-laki. Bahkan laki-laki usia pertengahan 40-50 tahunan.
Variabel seperti suhu nyaman kendaraan dan kesesuaian sabuk pengamanan pada kendaraan, tidak menjadikan tubuh perempuan sebagai pertimbangan.
Rasa nyaman berkendara adalah standar kenyamanan laki-laki. Keselamatan dari kecelakaan adalah ukuran keselamatan bagi laki-laki.
Demikian pula dengan ketersediaan fasilitas umum di perkotaan.
Dapat disaksikan antrian mengular toilet lebih mudah ditemukan pada toilet perempuan, dibanding toilet laki-laki.
Jika pun antrian bersumber dari soal ritualnya yang berbeda: ritual bertoilet perempuan lebih panjang dari laki-laki, harusnya infrastruktur tersedia sesuai kebutuhan.
Dan tak semata jumlah ketersediaan yang sama, menunjukkan keadilan yang setara.
Menurut penulis ini, fasilitas dan infrastruktur umum yang tersedia pada sistem yang dibangun laki-laki, membuat perempuan mengalami siksaan fisik dan mental.
Fasilitas dan infrastruktur umum adalah perwujudan perasaan dan pikiran laki-laki. Untuk perempuan, disesuaikan.
Ketiga, komposisi populasi perempuan memang setengah bagian dari laki-laki (termasuk di arena politik).
Namun jumlah populasi yang seimbang antar gender, tak serta merta diikuti oleh representasi perempuan di dunia politik.
Rata-rata representasi perempuan di aktivitas ini sebesar 20% dari total posisi yang disediakan.
Itu pun ketika perempuan memberikan suatu gagasan, lebih sering mendapat pandangan negatif dibanding ketika laki-laki dengan gagasan yang sama.
Dalam realitasnya, perempuan di-bully, ditekan, ditindas ketika berada di arena politik.
Sayangnya realitas ini bukan khas perilaku di arena politik. Arena pendidikan, teknologi, maupun bidang-bidang lain menunjukkan gejala serupa.
Baca Juga: Sering Menjadi Target Bullying Rekan Kerja? Ternyata Ini 4 Alasannya!
Nampaknya dari 3 premis di atas, bukan perempuan yang tak nampak (invisible women), tapi laki-laki yang tak bersedia melihat penampakan perempuan.
Kehadirannya dikaburkan, suaranya dibisukan. Terlebih ketika itu terjadi di ruang publik.
Dalam sebuah pembahasan yang berbeda, Anja Lambrecht dan Catherine Tucker, 2018, dalam penelitiannya yang berjudul Algorithmic Bias? An Empirical Study Into Apparent Gender Based Discrimination in The Display of STEM Career Ads, mengemukakan diskriminasi sejenis pada perempuan.
Dari hasil kajian dua peneliti ini, didapati realitas yang menegaskan terjadinya diskriminasi pada perempuan.
Penyebabnya dicari, dan berikut ini temuannya.
Terdapat peluang yang berbeda antara pengguna Facebook laki-laki dengan perempuan untuk mereka terpapar iklan karier STEM (Science, Technology, Engineering and Mathematics).
Baca Juga: Bintang Beasiswa Hadir Lagi Dukung Perempuan Muda Berkarier di STEM
Dari temuan ini, ketika dijajaki lebih dalam, terdapat 3 keadaan yang mendorong berbedanya peluang tampilan iklan karier STEM antar gender.
Pertama, algoritma mempelajari perilaku yang berbeda antar pengguna Facebook.
Hasil yang diperoleh misalnya, perempuan cenderung tidak membuka iklan karier STEM yang tersedia.
Juga, wanita menghabiskan lebih sedikit waktu di platform media sosial dengan bahasan terkait karier STEM.
Kedua, algoritma mempelajari perilaku dari sumber data lain. Ini termasuk data tentang diskriminasi gender lainnya, yang bisa beda di setiap negara.
Ketiga, ini bukan soal bias yang didapatkan algoritma sebagai hasil pembelajaran. Tetapi soal alokasi ekonomi yang mendasari pemasangan iklan, sehingga mendorong perbedaan.
Dari ketiga hal itu, lalu disimpulkan. Berdasar olahan algoritma didapati bahwa iklan karier STEM tak terlalu direspons perempuan.
Ini kemudian memperoleh umpan balik algoritma dengan menampilkan iklan karier STEM dengan frekuensi yang lebih rendah. Sedangkan bagi pengguna Facebook laki-laki, iklan lebih sering ditampilkan.
Namun orientasi ekonomi maupun persaingan di antara pengiklan, justru yang jadi pendorong terjadinya perbedaan penampilan iklan.
Yang nampak, seakan algoritma Facebook lah yang mendorong undangan iklan karier STEM lebih banyak pada laki-laki, dibanding perempuan.
Baca Juga: Didominasi Laki-laki, Angka Perempuan di Ranah CleanTech Masih Rendah
Ini ditegaskan lewat pernyataan Lambrecht dan Tucker.
“Terlepas dari niat eksplisit berlaku netral terhadap gender, iklan Facebook untuk karier STEM lebih sering ditampilkan kepada laki-laki dibanding perempuan. Ini kemungkinan karena kekuatan ekonomi dan persaingan di antara pengiklan”.
Memang algoritma berperan, namun alokasi ekonomi dan persaingan juga menentukan.
Lalu apakah karena konfigurasi yang timpang ini telah bertahan lama, maka algoritma pun nampak turut campur, sehingga keadaannya jadi tak dapat diubah?
Ada strategi cantik yang Kawan Puan dapat diterapkan.
Strategi 'cantik' ini disampaikan Yang Yang, Nitesh V. Chawla, dan Brian Uzzi di tahun 2019 lewat tulisannya “A Network’s Gender Composition and Communication Pattern Predict Women’s Success”.
Berdasarkan kajian yang dilakukan, ketiga peneliti ini memperoleh informasi bahwa kerja aktual melalui jejaring sosial (social networking) adalah cara yang terbukti berhasil dalam mencari dan meraih posisi kepemimpinan.
Prosesnya dimulai saat pencari kerja menemukan informasi peluang pekerjaaan melalui jejaring sosial yang dimilikinya.
Lewat jejaring sosial ini, informasi pasar kerja yang sedang dibuka diumumkan kepada khalayak.
Isinya menyangkut jenis pekerjaan yang tersedia, reputasi perusahaan, hingga kisaran gaji rata-rata.
Baca Juga: 5 Alasan Membangun Relasi Penting, Bisa Buka Peluang untuk Tingkatkan Karier!
Informasi berdasar jejaring sosial ini disebut sebagai “ikatan lemah” seseorang, lewat kenalan.
Disebut "lemah" karena banyak pihak yang punya informasi sejenis.
Maka ketika orientasi yang ingin dicapai seseorang bersifat strategis, kualitas jejaring sosialnya harus ditingkatkan.
Mereka perlu membangun hubungan dengan orang-orang yang ada di pusat hubungan.
Mereka perlu terhubung dengan orang-orang yang paling terhubung. Perempuan pun sama.
Tercapainya keberhasilkan kerja maupun posisi perempuan yang hendak diraihnya, tak cukup hanya terhubung dengan orang-orang.
Perempuan juga harus terhubung dengan orang yang paling terhubung.
Dalam aplikasi strategisnya, hari ini peluang perempuan jadi terbuka lewat teknologi informasi. Ini termasuk aplikasi media sosial.
Seluruhnya jadi sarana untuk membentuk hubungan sosial yang luas.
Lewat teknologi ini juga tersedia informasi terkait kerja maupun pengembangan karier.
Pada jejaring terdapat orang-orang yang jadi pusat keterhubungan.
Orang jenis ini yang berperan sebagai the connecting dots, mampu menghubungkan orang pada orang-orang lainnya.
Perempuan dengan pengetahuannya, menemukan orang yang menjalankan peran ini. Sehingga dapat mengantarnya menuju puncak karier.
Banyak cerita adanya perempuan dengan karyanya, diperhatikan oleh para penyusun kebijakan, bahkan presiden.
Ini berkat kemampuannya mengenal orang yang ada di pusat keterhubungan. Yang kemudian mengantarnya ke puncak karier.
Tak terlalu sulit dilakukan, bukan? (*)