Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Apalagi di usia muda ketika gairah itu berada dalam performa puncak dan sangat menggebu-gebu.
Eksplorasi itu kini kian mudah dan terjangkau sebab perangkat digital dengan ribuan aplikasinya dapat mengakomodasi ekspresi itu.
Bisa tertuang dalam bentuk penulisan blog, pembuatan video, dan mencipta musik.
Sayangnya ketika perempuan mengartikulasikan seksualitas, bertubi-tubi prasangka dan label disematkan pada perempuan: Tidak bermoral, murahan, otak kotor, perempuan nakal, dan sederet panggilan rendahan lain dialamatkan pada perempuan.
Kondisi ini jauh berbeda ketika laki-laki bicara tentang seks dan seksualitas dalam bahasa yang cabul.
Obrolan sensual yang diucapkan laki-laki dianggap normal dan wajar sebagai pengaruh dari lonjakan hormon testosteron.
Faktualnya, tak jarang perkataan laki-laki tentang seks merupakan bentuk dari pelecehan seksual terhadap tubuh perempuan yang dibalut dalam bentuk canda tawa.
Anne Helen Petersen (2017) dalam bukunya Too Fat, Too Slutty, Too Loud: The Rise and Reign of The Unruly Woman mengatakan, penyematan label/julukan rendahan pada perempuan yang mengekspresikan seksualitas adalah upaya untuk mendiskreditkan perempuan agar berhenti memiliki otonomi dan spontanitas atas ekspresi seksual.
Narasi seksual adalah domain yang dikuasai oleh laki-laki dalam menentukan bagaimana citra tubuh perempuan harus dipersepsikan.
Ketika perempuan berani mendobrak untuk menetapkan sendiri motivasi erotisnya, maka laki-laki kehilangan kontrol atas kuasa tubuh perempuan.