Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Maka tatkala cerita Dear David tersebar, personifikasi Dilla yang sudah diasosiasikan dengan segala bentuk dan tindakan asusila menjadi tertuduh utama yang membuat, sekaligus mendistribusikan antologi erotisme David.
Tuduhan itu dilayangkan tanpa adanya bukti.
Dilla adalah representasi lain tentang perempuan yang selalu mendapat penghakiman sosial atas bagaimana perempuan memperlakukan tubuhnya dalam ranah yang bisa dikategorikan sebagai urusan pribadi (dalam film ini adalah kebebasan Dilla memuat postingan di laman media sosial miliknya).
Begitu kuat kontrol masyarakat atas tubuh perempuan, sehingga kebebasan perempuan dalam memperlakukan tubuhnya pun akan dianggap sebagai pelanggaran.
Dengan suka hati masyarakat menyematkan panggilan atau bias apapun terhadap perempuan yang bebas (Honkatukia & Keskinen, 2017).
Yang terakhir dan yang terpenting, korban sesungguhnya dalam film ini adalah David.
Ketika cerita Dear David tersebar, yang tampak adalah meningkatnya popularitas David sebagai laki-laki unggul dengan tubuh indah dan mempesona. Hidupnya sekejap berubah menjadi pria dambaan yang diincar banyak perempuan.
Namun sisi gelap yang dialami David sebagai salah satu bagian dari konten erotis tersebut adalah pandangan dan ekspektasi khalayak terhadap sosoknya sebagai seseorang yang sensual dan seksual.
Baca Juga: Marak KBGO di Media Sosial, Jangan Asal Berikan Data Pribadi Ini ke Orang Lain!
David menjadi objek seks yang diperlakukan tidak senonoh dan menjadi korban pelecehan, meskipun dia adalah seorang laki-laki macho dan atletis.
David adalah potret dari korban pornografi yang sebenarnya. Konten seksual yang tersebar tersebut tidak pernah mendapatkan consent (perizinan) pribadinya.
Consent selalu merupakan hal pertama dan terpenting ketika akan melakukan hubungan seksual, terlebih jika ingin didokumentasikan.
Ketiadaan consent dalam aktivitas seksual adalah bentuk pelecehan dan kekerasan.
Konten seks yang tersebar tanpa consent dari mereka yang terlibat di dalamnya adalah pelanggaran. Maka mereka turut menjadi korban pelecehan seksual.
Baca Juga: Apa Itu Consent? Pahami Agar Terhindar dari Kekerasan dalam Hubungan
Simpan Rapat Rahasia Seksualmu
Ekspresi seksual layaknya tidak menjadi topik yang tabu untuk dibicarakan dan dieksplorasi.
Sama seperti rasa lapar, gatal karena digigit nyamuk atau keinginan untuk buang air, rangsangan seks (horny) adalah naluri alamiah yang tumbuh dan berkembang bersama dengan naluri-naluri lain dalam diri manusia.
Namun perlu diingat, seksualitas adalah perwujudan dari naluri paling intim yang hanya bisa dilakukan dengan orang yang bisa dipercaya.
Oleh karenanya aktivitas untuk menyalurkan naluri ini berada dalam ranah pribadi yang tak seharusnya menjadi urusan publik.
Mengekspresikan seksualitas tentu boleh.
Banyak yang mendokumentasikan "aktivitas" mereka dengan berbagai tujuan, salah satunya untuk menjadi referensi pribadi dalam meningkatkan libido atau menguatkan relasi romantik dengan pasangan.
Yang perlu diingat adalah, ketika dokumentasi aktivitas itu berada dalam perangkat digital, sepenuhnya konten itu berpotensi menjadi konsumsi publik.
Kenapa? Sebab gawai digital rawan mengalami peretasan (hacking). Apalagi jika gawai tersebut tidak memiliki proteksi seperti anti-virus atau password.
Pastikan jika ingin mendokumentasikannya, selalu pasang kode enkripsi agar konten tidak bisa diakses oleh pihak-pihak lain yang tak berkepentingan.
Selain itu, jangan pernah mengakses konten tersebut di area publik, menggunakan fasilitas publik pula (misalnya seperti komputer di kafe internet, dan menggunakan akses WiFi gratisan yang tersedia di area yang diperuntukkan untuk publik).
Jaga selalu privasi seksualmu, Kawan Puan, karena itu hanya untuk kepentingan dan kepuasanmu! Bukan urusan mereka. (*)
Baca Juga: Jangan Sampai Bocor! Ini 5 Tips Melindungi Data Pribadi di Internet