Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - David sungguh laki-laki sempurna. Setiap inci tubuhnya adalah mahakarya bagaikan pahatan sang maestro Michaelangelo.
Dia adalah perwujudan karya seni yang nyata! Kehadirannya begitu dekat.
Seringkali aku dapat mencium bau cologne yang dia pakai sehabis mandi setelah selesai berlatih sepak bola.
Bau itu melekat dengan aroma tubuhnya, yang selalu bergelayut dalam pikiran dan membuat liang senggamaku panas-dingin.
Sungguh saat-saat itu aku selalu berharap agar dapat menanggalkan seluruh pakaiannya. Aku dan David saling bertaut, hanya kulitku bertemu dengan kulitnya.
Dua bibir kami saling berpagut. Dan tangan kami saling bekerja mengikuti nalurinya.
Penggalan narasi di atas memang tidak seliar dan seprovokatif yang ditulis oleh karakter Laras dalam film produksi Netflix terbaru yang tengah jadi buah bibir kali ini, Dear David.
Hingga saat artikel ini ditulis, Dear David masih bertengger di posisi puncak sebagai film yang paling sering ditonton di layanan streaming Netflix Indonesia.
Baca Juga: 4 Fakta Menarik Film Dear David, Bisa Ditonton Hari Ini di Netflix
Tokoh Laras bisa jadi menyadarkan banyak perempuan bahwa pada dasarnya kaum hawa pun berhak memiliki kehendak bebas dalam mengeksplorasi hasrat dan fantasi seksual dalam wujud terliar sekali pun.
Apalagi di usia muda ketika gairah itu berada dalam performa puncak dan sangat menggebu-gebu.
Eksplorasi itu kini kian mudah dan terjangkau sebab perangkat digital dengan ribuan aplikasinya dapat mengakomodasi ekspresi itu.
Bisa tertuang dalam bentuk penulisan blog, pembuatan video, dan mencipta musik.
Sayangnya ketika perempuan mengartikulasikan seksualitas, bertubi-tubi prasangka dan label disematkan pada perempuan: Tidak bermoral, murahan, otak kotor, perempuan nakal, dan sederet panggilan rendahan lain dialamatkan pada perempuan.
Kondisi ini jauh berbeda ketika laki-laki bicara tentang seks dan seksualitas dalam bahasa yang cabul.
Obrolan sensual yang diucapkan laki-laki dianggap normal dan wajar sebagai pengaruh dari lonjakan hormon testosteron.
Faktualnya, tak jarang perkataan laki-laki tentang seks merupakan bentuk dari pelecehan seksual terhadap tubuh perempuan yang dibalut dalam bentuk canda tawa.
Anne Helen Petersen (2017) dalam bukunya Too Fat, Too Slutty, Too Loud: The Rise and Reign of The Unruly Woman mengatakan, penyematan label/julukan rendahan pada perempuan yang mengekspresikan seksualitas adalah upaya untuk mendiskreditkan perempuan agar berhenti memiliki otonomi dan spontanitas atas ekspresi seksual.
Narasi seksual adalah domain yang dikuasai oleh laki-laki dalam menentukan bagaimana citra tubuh perempuan harus dipersepsikan.
Ketika perempuan berani mendobrak untuk menetapkan sendiri motivasi erotisnya, maka laki-laki kehilangan kontrol atas kuasa tubuh perempuan.
Penghakiman (Sok) Moralis yang Selalu Salah
Laras tahu betul jika seks dan seksualitas merupakan hal intim yang harus selalu berada dalam ruang pribadi.
Oleh karena itu, cinta dan imajinasi menggiurkannya tentang David disimpan rapat-rapat dalam sebuah blog pribadi yang hanya dia sendiri yang dapat menikmatinya.
Kesalahan Laras hanya satu, yakni ketika dia tak dapat menahan diri untuk melampiaskan sensualitasnya ke dalam tulisan dengan menggunakan fasilitas umum (dalam film digambarkan Laras menggunakan komputer di laboratorium sekolah untuk menulis blog erotisnya).
Malangnya, platform tempat Laras menulis tersebut tidak dapat log out secara benar karena adanya eror pada koneksi internet.
Akibatnya akun Laras masih bisa dapat diakses dan konten-konten privatnya tersebar menjadi konsumsi publik.
Tak perlu menanyakan ahli hukum pidana terhebat. Ketika akhirnya terkuak bahwa Laras adalah si penulis cerita Dear David, Laras didaulat sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh atas segala kesalahan dalam pembuatan konten yang dicap sebagai pornografi.
Sementara sang penyebar tidak mendapatkan hukuman apapun, bahkan tidak diungkit sama sekali.
Kawan Puan merasa déjà vu?
Saat sebuah video adegan "dewasa" mendadak viral di jagat maya, tak dapat disangkal jika audiens begitu penasaran dan heboh ingin mengakses dan melihat konten tersebut.
Ketika opini publik mulai bergulir, para kaum moralis mulai menghakimi sosok-sosok yang ada dalam konten tersebut sebagai golongan tak bermoral.
Hal ini pernah terjadi di tahun 2010 saat konten video syur yang melibatkan Ariel (vokalis band Noah) dan selebritis Luna Maya dan Cut Tari tersebar di dunia maya.
Jutaan rakyat Indonesia tak ketinggalan ingin menonton video tersebut sebelum utasannya diblokir.
Ketika sudah puas menonton, opini "para ahli" bermunculan di media dan menggiring pemikiran khalayak tentang betapa tak bermoralnya kelakuan Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari dalam adegan video yang konon dapat merusak mental dan jiwa suci generasi muda.
Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari menjadi hujatan publik, bahkan dikenai sanksi hukum. Media membingkai citra mereka sebagai kaum imoral.
Sementara yang menyebarkan dan khalayak yang bernafsu menyaksikan adegan mereka tidak dikenai sanksi apapun (Soe Tjen Marching: Seks, Tuhan, & Negara, 2020).
Rentetan video "dewasa" selebriti lainnya ikut pula tersebar seiring dengan semakin canggihnya platform berbagi konten di ruang digital.
Konten tersebut dipastikan viral, bukan hanya karena seks adalah komoditas yang paling menjual dan "layak" sebagai informasi publik, melainkan juga memiliki nilai informasi tinggi apabila melibatkan selebritas atau figur publik.
Baca Juga: Angkat Kisah Fantasi Remaja yang Realistis, Ini Inspirasi Ide Cerita Film Dear David
Persamaan dari semua konten tersebut tetap dan akan selalu satu: Kesalahan ada pada kreator dan mereka yang melakoni seks tersebut, sehingga pantas disebut sebagai orang yang tak bermoral.
Terlepas bahwa sejatinya konten tersebut tidak pernah diperuntukkan untuk menjadi akes bagi publik.
Melihat Korban dari Sisi yang Salah
Untuk kaum (sok) moralis, Laras akan selalu dipandang sebagai pembuat onar yang telah merusak stabilitas lewat konten-konten yang dinilai sebagai pornografi.
Laras tidak akan pernah dianggap sebagai korban yang hak privasinya telah dilanggar dan properti pribadinya telah disebarkan tanpa izin.
Pengalaman Laras juga turut terjadi pada kasus-kasus viralnya penyebaran video "dewasa" yang melibatkan selebritis tanah air.
Mereka yang awalnya membuat konten tersebut untuk diri sendiri dengan alasan-alasan yang sangat pribadi dan rahasia, kemudian dihujat tak karuan ketika ada sosok tak bertanggung jawab menyebarkannya demi keuntungan materi.
Laras bukan hanya satu-satunya korban yang salah dalam film ini. Ada pula karakter Dilla yang liar dan bebas dalam mengekspresikan dirinya, sehingga dinilai sebagai perempuan “enggak benar”.
Postingan media sosial Dilla begitu lepas dalam mengekspos diri dan tubuhnya, sehingga Dilla dilabeli dengan julukan pecun.
Baca Juga: Foto dan Video Pribadi Disebar Tanpa Persetujuan, Harus Bagaimana?
Sangkaan itu semakin melekat tatkala banyak teman-teman yang melihat Dilla keluar berduaan dengan Arya dari gedung olahraga, sehingga ditafsirkan bahwa Dilla menggoda teman laki-lakinya untuk bersenggama di tempat sepi.
Maka tatkala cerita Dear David tersebar, personifikasi Dilla yang sudah diasosiasikan dengan segala bentuk dan tindakan asusila menjadi tertuduh utama yang membuat, sekaligus mendistribusikan antologi erotisme David.
Tuduhan itu dilayangkan tanpa adanya bukti.
Dilla adalah representasi lain tentang perempuan yang selalu mendapat penghakiman sosial atas bagaimana perempuan memperlakukan tubuhnya dalam ranah yang bisa dikategorikan sebagai urusan pribadi (dalam film ini adalah kebebasan Dilla memuat postingan di laman media sosial miliknya).
Begitu kuat kontrol masyarakat atas tubuh perempuan, sehingga kebebasan perempuan dalam memperlakukan tubuhnya pun akan dianggap sebagai pelanggaran.
Dengan suka hati masyarakat menyematkan panggilan atau bias apapun terhadap perempuan yang bebas (Honkatukia & Keskinen, 2017).
Yang terakhir dan yang terpenting, korban sesungguhnya dalam film ini adalah David.
Ketika cerita Dear David tersebar, yang tampak adalah meningkatnya popularitas David sebagai laki-laki unggul dengan tubuh indah dan mempesona. Hidupnya sekejap berubah menjadi pria dambaan yang diincar banyak perempuan.
Namun sisi gelap yang dialami David sebagai salah satu bagian dari konten erotis tersebut adalah pandangan dan ekspektasi khalayak terhadap sosoknya sebagai seseorang yang sensual dan seksual.
Baca Juga: Marak KBGO di Media Sosial, Jangan Asal Berikan Data Pribadi Ini ke Orang Lain!
David menjadi objek seks yang diperlakukan tidak senonoh dan menjadi korban pelecehan, meskipun dia adalah seorang laki-laki macho dan atletis.
David adalah potret dari korban pornografi yang sebenarnya. Konten seksual yang tersebar tersebut tidak pernah mendapatkan consent (perizinan) pribadinya.
Consent selalu merupakan hal pertama dan terpenting ketika akan melakukan hubungan seksual, terlebih jika ingin didokumentasikan.
Ketiadaan consent dalam aktivitas seksual adalah bentuk pelecehan dan kekerasan.
Konten seks yang tersebar tanpa consent dari mereka yang terlibat di dalamnya adalah pelanggaran. Maka mereka turut menjadi korban pelecehan seksual.
Baca Juga: Apa Itu Consent? Pahami Agar Terhindar dari Kekerasan dalam Hubungan
Simpan Rapat Rahasia Seksualmu
Ekspresi seksual layaknya tidak menjadi topik yang tabu untuk dibicarakan dan dieksplorasi.
Sama seperti rasa lapar, gatal karena digigit nyamuk atau keinginan untuk buang air, rangsangan seks (horny) adalah naluri alamiah yang tumbuh dan berkembang bersama dengan naluri-naluri lain dalam diri manusia.
Namun perlu diingat, seksualitas adalah perwujudan dari naluri paling intim yang hanya bisa dilakukan dengan orang yang bisa dipercaya.
Oleh karenanya aktivitas untuk menyalurkan naluri ini berada dalam ranah pribadi yang tak seharusnya menjadi urusan publik.
Mengekspresikan seksualitas tentu boleh.
Banyak yang mendokumentasikan "aktivitas" mereka dengan berbagai tujuan, salah satunya untuk menjadi referensi pribadi dalam meningkatkan libido atau menguatkan relasi romantik dengan pasangan.
Yang perlu diingat adalah, ketika dokumentasi aktivitas itu berada dalam perangkat digital, sepenuhnya konten itu berpotensi menjadi konsumsi publik.
Kenapa? Sebab gawai digital rawan mengalami peretasan (hacking). Apalagi jika gawai tersebut tidak memiliki proteksi seperti anti-virus atau password.
Pastikan jika ingin mendokumentasikannya, selalu pasang kode enkripsi agar konten tidak bisa diakses oleh pihak-pihak lain yang tak berkepentingan.
Selain itu, jangan pernah mengakses konten tersebut di area publik, menggunakan fasilitas publik pula (misalnya seperti komputer di kafe internet, dan menggunakan akses WiFi gratisan yang tersedia di area yang diperuntukkan untuk publik).
Jaga selalu privasi seksualmu, Kawan Puan, karena itu hanya untuk kepentingan dan kepuasanmu! Bukan urusan mereka. (*)
Baca Juga: Jangan Sampai Bocor! Ini 5 Tips Melindungi Data Pribadi di Internet