Parapuan.co - Goo Hara Act resmi lolos sebagai Undang-Undang di Korea Selatan setelah kurang lebih empat tahun diperjuangkan.
Goo Hara Act adalah aturan yang menyatakan bahwa orang tua maupun pihak keluarga yang tidak mengurus anak/sanak saudara mereka tidak berhak mendapatkan warisan.
Dalam hal ini, Goo Hara Act mencegah orang tua maupun pihak keluarga mendapatkan warisan dari anak maupun sanak saudara yang sudah mereka telantarkan sedari lama.
Aturan baru tentang hak waris di Korea Selatan ini diusulkan setelah meninggalnya penyanyi sekaligus aktris Korea Selatan, Goo Hara.
Goo Hara meninggal dunia pada 24 November 2019. Ia ditemukan tidak sadarkan diri di rumahnya yang kala itu penuh dengan asap.
Sebelum meninggal, Goo Hara sempat dikabarkan berjuang dari depresi yang menyerangnya, serta sebuah masalah dengan mantan kekasihnya.
Setelah Goo Hara meninggal dunia, sang ibu tiba-tiba muncul di pemakaman bersama dengan pengacara untuk mengklaim warisan yang ditinggalkannya, senilai 15 miliar won.
Namun berkat Goo Hara Act yang diperjuangkan sejak tahun 2021 oleh Goo Ho In, kakak laki-laki Goo Hara, ibu mereka batal bisa mendapatkan hak warisan.
Hal tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat Indonesia, bagaimana dengan hukum waris di Indonesia. Apakah ada yang mengatur seperti Goo Hara Act di Korea Selatan ini?
Baca Juga: Hindari Polemik, Kenali Hukum Waris di Indonesia dan Pembagiannya Menurut KUH Perdata
Awal Mula Goo Hara Act
Melansir dari Naver, Goo Hara Act atau Undang-Undang Goo Hara disahkan oleh Komite Legislatif dan Kehakiman Majelis Nasional Korea Selatan pada 7 Mei 2024.
Goo Hara Act memungkinkan orang tua yang tidak membersarkan anak-anaknya dicabut kualifikasi warisannya. Hal ini dipicu oleh ibu Goo Hara yang tidak mengurusnya sejak usia 9 tahun, namun muncul di pemakaman untuk mengklaim warisan.
Goo Hara memiliki aset senilai 15 miliar won, dan ketika dia berusia 9 tahun, ibunya meninggalkannya bersama dengan sang kakak laki-laki untuk diurus oleh nenek dan ayahnya.
Ibu Goo Hara muncul di pemakaman setelah sekian tahun lamanya, bersama dengan pengacara untuk mengklaim warisan karena Goo Hara tidak meninggalkan surat wasiat sebelum meninggal.
Dalam hukum perdata (hukum waris) Korea Selatan, ibu kandung atau ayah kandung diperbolehkan mengambil setengah dari harta benda yang ditinggalkan ketika anak tersebut meninggal dunia, meski mereka tidak membesarkan anak tersebut.
Banyak pihak yang marah dan kesal atas tindakan tersebut, dan mengatakan bahwa ibu kandungnya yang menelantarkannya di usia muda, tidak pantas menerima warisan.
Goo Ho In kakak Goo Hara memperjuangkan Goo Hara Act ini agar ibu mereka tidak bisa mengklaim dan mendapatkan warisan dari Goo Hara yang meninggal dalam kondisi belum menikah dan tidak punya anak (lajang).
Pengesahan Goo Hara Act
Baca Juga: 5 Tips Pembagian Harta Waris agar Tidak Menimbulkan Konflik Menurut Pakar
Seo Young Kyo, anggota DPR Korea Selatan sedang mendorong Goo Hara Act agar bisa segera diimplementasikan. Pasalnya, meski sudah disahkan, namun Goo Hara Act baru akan berlaku mulai 1 Januari 2026.
"Saya senang Goo Hara Act disahkan dan mampu menghibur orang-orang yang sedang patah hati. Orang tua yang tidak membesarkan anaknya sama saja dengan menelantarkan dan menganiaya anaknya. Saya sangat senang Undang-Undang Goo Hara disahkan," ucap Seo Young Kyo, melansir dari Naver.
Seo Young Kyo mengusulkan Undang-Undang Goo Hara atau Goo Hara Act ini di Majelis Nasional ke-21 setelah Majelis Nasional ke-20 sebagai 'RUU No.1' untuk menghilangkan kualifikasi warisan orang tua yang tidak membesarkan anak.
Dirinya juga mengajukan amandemen melalui beberapa konferensi pers dan debat serta beberapa diskusi dengan Kementerian Kehakiman dan Administrasi Pengadilan Nasional.
Pada tanggal 25 Maret, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa hal tersebut inkonstitusional, dengan mengatakan, "Mengakui warisan dari seorang ahli waris yang telah melakukan perbuatan asusila seperti menelantarkan orang yang meninggal dalam jangka waktu yang lama atau menganiaya orang yang meninggal secara mental dan fisik adalah bertentangan dengan hukum."
Butuh waktu empat tahun penuh untuk meloloskan RUU tersebut setelah perwakilan mengusulkannya pada Juni 2020. Akan tetapi, implementasi Goo Hara Act masih menunggu sampai 1 Januari 2026.
"Namun, dalam keputusan subkomite RUU tersebut, periode penegakan RUU tersebut diubah dari '6 bulan setelah diundangkan' menjadi '1 Januari 2026'. Sungguh tidak dapat dimaklumi bahwa sesuatu yang seharusnya segera dilaksanakan, ternyata dapat dilaksanakan dalam jangka waktu yang lama," ucap Seo Young Kyo.
"Menunda penerapan UU Goo Hara selama satu setengah tahun adalah pengkhianatan terhadap keinginan masyarakat agar UU Goo Hara diterapkan sesegera mungkin," tegasnya.
Baca Juga: Kawan Puan, Yuk Ketahui Apakah Harta Warisan Kena Pajak atau Tidak!
Ia pun mengatakan bahwa untuk memastikan makna dari pengesahan Goo Hara Act tidak memudar, rapat penuh Komite Legislatif dan Kehakiman harus memutuskan untuk merevisi tanggal pemberlakuan Undang-Undang tersebut menjadi 'enam bulan setelah diundangkan'.
"Karena sudah terlambat, RUU tersebut perlu dilaksanakan secepatnya agar setidaknya satu orang yang dirugikan. Itu perintah rakyat," pungkasnya.
Hukum Waris di Indonesia
Menyoal Goo Hara Act di Korea Selatan yang sudah disahkan meski harus menunggu lama untuk pengimplementasian di Januari 2026, hal tersebut menyadarkan masyarakat Indonesia mengenai hukum waris.
Jika di Korea Selatan akan segera punya Goo Hara Act yang bisa menjegal orang tua maupun keluarga mendapatkan warisan dari anak maupun saudara jika terbukti menelantarkan, bagaimana dengan di Indonesia?
Indonesia menganut tiga hukum waris yakni hukum waris adat, hukum waris Islam, dan hukum waris perdata.
Jika seseorang beragama Islam, maka ketika mengurus warisan ke kelurahan setempat, misalnya, akan diarahkan menggunakan hukum waris Islam.
Di sisi lain, hukum waris adat bergantung pada daerah, apakah menggunakan sistem patrilineal (pakai keturunan laki-laki misalnya daerah Batak), matrilineal (pakai keturunan perempuan misalnya daerah Minangkabau), dan bilateral.
Sementara itu, hukum perdata pada umumnya yang menerapkan adalah kelompok Chinese dan harus menggunakan notaris.
Baca Juga: Ramai Polemik Peninggalan Vanessa Angel, Apa Saja Harta yang Termasuk Warisan?
Kawan Puan sebenarnya bisa memilih mau menggunakan hukum waris yang mana jika urusan warisan hanya dibahas dalam lingkup internal keluarga. Tapi jika ada masalah maupun tuntutan, maka pengadilan akan menentukan hukum waris yang mana untuk penyelesaian kasusnya.
Nah, apakah ibu maupun orang tua pada umumnya bisa mendapatkan hak waris dari anak perempuannya yang sudah meninggal, itu tergantung pada hukum waris yang Kawan Puan pilih maupun digunakan di Indonesia.
1. Hukum Waris Islam
Jika anak perempuan yang meninggal ini beragama Islam, maka yang akan digunakan adalah hukum waris Islam.
Jika anak perempuan yang meninggal punya saudara kandung laki-laki, maka yang berhak mendapat warisan adalah ayahnya sebesar 1/6 bagian dan saudara laki-lakinya sisa seluruh harta setelah dikurangi bagian ayah.
Kalau anak perempuan ini adalah anak tunggal, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah ibunya sebesar 1/3 bagian, dan ayah sisa harta setelah dikurangi bagian ibu.
Jika anak perempuan ini tidak memiliki saudara kandung laki-laki, hanya saudara perempuan, maka yang berhak mendapat warisan adalah ibu 1/3 bagian, saudara perempuan 1/6 bagian, dan ayah sisa dari harta yang sudah keluar.
2. Hukum Perdata
Jika menggunakan hukum perdata, maka yang dapat harta warisan dari seorang anak perempuan yang sudah meninggal adalah ayah, ibu, saudara, dan keturunan saudara dengan hitungan sama rata.
Asumsi perhitungan di atas adalah jika anak perempuan masih lajang, belum menikah, dan tidak mempunyai anak, sehingga harta akan jatuh ke orang tua dan saudara.
Sayangnya, belum ada pengecualian yang bisa menjegal orang tua maupun saudara mendapatkan harta warisan jika misalnya mereka menelantarkan atau sudah tidak mengurus anak/saudaranya ini sejak lama.
"Sejauh ini sih, belum ada ya, tapi biasanya yang seperti kasus Goo Hara di Korea Selatan itu, harus ada tuntutan yang diajukan ke pengadilan," ucap Sasmita, notaris yang bekerja di salah satu firma hukum di Jakarta pada PARAPUAN, Kamis, (09/05/2024).
Sasmita mengatakan bahwa pengadilan bisa membatalkan hak waris ibu maupun orang tua dan saudara atas warisan seorang anak perempuan yang meninggal jika bukti-buktinya cukup.
"Kalau ada bukti-bukti yang cukup, pengadilan bisa memutuskan bahwa ibunya tidak berhak mendapat warisan, dengan alasan ibu sudah menelantarkan dan melakukan kekerasan pada anak," terangnya.
Terjawab sudah bahwa di Indonesia pun belum ada hukum waris yang bisa mengecualikan orang tua maupun sanak saudara mendapat warisan jika terbukti melakukan penelantaran, pengabaian, maupun kekerasan pada anak dan saudara.
Jika ada perkara seperti Goo Hara dan ibunya, maka Kawan Puan di Indonesia harus mengajukan tuntutan disertai dengan bukti-bukti yang bisa menguatkan.
Bagaimana pendapatmu mengenai hukum waris ini Kawan Puan?
Baca Juga: Rawan Terjadi, Ini 3 Pemicu Konflik dalam Pembagian Harta Warisan
(*)