Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Gejala voyeurism terlipatgandakan lewat molka, seiring makin berkembang dan makin murahnya kepemilikan teknologi digital.
Teknologi digital ini termasuk kamera (yang dapat diperoleh dengan mengeluarkan uang tak lebih dari US$30, atau kurang dari Rp500.000), juga perekam yang dapat dioperasikan secara rahasia.
Cara penggunaannya diletakkan pada ruang-ruang privat maupun dilekatkan pada perangkat pribadi calon korban. Seluruhnya berfungsi sebagai ekstensi penglihatan dari tempat tersembunyi.
Penggunaan perangkat digital yang makin terjangkau itu kemudian dikombinasikan dengan media sosial.
Media sosial yang akunnya telah dimiliki dua per tiga dari populasi penduduk dunia ini jadi tempat berlalu-lalangnya segala rupa hasil molka, yang sibuk.
Saat aksi molka dilancarkan, pengambilan gambar maupun video dilakukan secara non-konsesual: tanpa izin objek gambarnya. Karenanya, objek gambar disebut sebagai korban.
Saat korban berada di ruang-ruang privatnya (kamar hotel, rumah tinggal, toilet maupun kamar mandi), gambar diambil diam-diam.
Tindakan pengambilan gambar terkategori non-konsensual, mengelompokkannya sebagai tindakan pencurian. Dan hasilnya disebut sebagai non-consensual intimate imagery (NCII), konten intim non-konsensual.
Seluruhnya itu, merupakan bentuk kekerasan berbasis ancaman penyebaran konten intim, tanpa persetujuan korban.
Baca Juga: Viral di TikTok Soal Molka di Skandal Burning Sun, Ini Cara Mendeteksi Kamera Tersembunyi