Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Seberapa leluasa perempuan menjalani kebebasan privatnya dalam kemajuan teknologi digital maupun media sosial?
Pertanyaan ini jauh lebih menjumpai sasaran, saat dilemparkan pada sekumpulan perempuan Korea Selatan dalam kesehariannya.
Korea Selatan sebagai sumber demam K-wave yang menyemarakkan dunia, menjadikan negeri ini seakan pusat kegembiraan belaka. Tak ada duka di antara tawa.
Namun siapa nyana, di balik kegemerlapan itu tersimpan endemi parah.
Endemi berupa rasa khawatir “diintip” yang melanda penduduk perempuannya. Seluruhnya terjadi akibat terjamahnya ruang privat oleh molka.
Molka adalah singkatan dari Mollae-Kamera. Lema ini menurut pengertian yang dikutip dari sysco.uk.com, mengacu pada istilah Korea, berupa dilakukannya aktivitas pemasangan kamera tersembunyi atau kamera mata-mata mini secara ilegal.
Tujuan pemasangan kamera dan kegiatan memata-matai ini adalah untuk memperoleh gambar maupun video aktivitas privat dengan cara mengintip.
Namun berbeda dengan mengintip menggunakan CCTV untuk memergoki pencurian atau pemasangan kamera untuk mengikuti gerak-gerik orang yang dicurigai, mengintip pada molka bertujuan voyeurisme.
Voyeurisme, yang pelakunya disebut sebagai voyeurs, adalah tindakan mengintip untuk membangkitkan hasrat seksual.
Baca Juga: Apa Itu Molka? Istilah Korea yang Viral di TikTok Usai Rilisnya Dokumenter Burning Sun
Gejala voyeurism terlipatgandakan lewat molka, seiring makin berkembang dan makin murahnya kepemilikan teknologi digital.
Teknologi digital ini termasuk kamera (yang dapat diperoleh dengan mengeluarkan uang tak lebih dari US$30, atau kurang dari Rp500.000), juga perekam yang dapat dioperasikan secara rahasia.
Cara penggunaannya diletakkan pada ruang-ruang privat maupun dilekatkan pada perangkat pribadi calon korban. Seluruhnya berfungsi sebagai ekstensi penglihatan dari tempat tersembunyi.
Penggunaan perangkat digital yang makin terjangkau itu kemudian dikombinasikan dengan media sosial.
Media sosial yang akunnya telah dimiliki dua per tiga dari populasi penduduk dunia ini jadi tempat berlalu-lalangnya segala rupa hasil molka, yang sibuk.
Saat aksi molka dilancarkan, pengambilan gambar maupun video dilakukan secara non-konsesual: tanpa izin objek gambarnya. Karenanya, objek gambar disebut sebagai korban.
Saat korban berada di ruang-ruang privatnya (kamar hotel, rumah tinggal, toilet maupun kamar mandi), gambar diambil diam-diam.
Tindakan pengambilan gambar terkategori non-konsensual, mengelompokkannya sebagai tindakan pencurian. Dan hasilnya disebut sebagai non-consensual intimate imagery (NCII), konten intim non-konsensual.
Seluruhnya itu, merupakan bentuk kekerasan berbasis ancaman penyebaran konten intim, tanpa persetujuan korban.
Baca Juga: Viral di TikTok Soal Molka di Skandal Burning Sun, Ini Cara Mendeteksi Kamera Tersembunyi
Media sosial seperti WhatsApp, Telegram, Facebook, Instagram, Tiktok, dan di Korea Selatan lazim lewat KakaoTalk, jadi medium penyebaran yang lazim.
Namun tak jarang juga NCII diperjualbelikan di pasar-pasar pornografi, demi memperoleh keuntungan yang besar.
Molka yang di Korea Selatan juga berarti kamera licik, memiliki struktur tindakan: pelakunya terutama laki-laki dan hampir seluruh korbannya perempuan di ruang privat.
Fenomenanya jadi meresahkan berbagai kalangan di Korea Selatan, lantaran belum adanya tindakan hukum yang mampu menihilkan tindakan ilegal ini.
Tentu saja pelecehan pada perempuan dengan memanfaatkan kemudahan akses terhadap teknologi maupun kepemilikan media sosial ini, tak tertutup juga banyak terjadi di negara-negara dunia yang lain. Hanya saja Korea Selatan, jadi episentrum ledakannya.
Istilah molka yang kembali jadi pembicaraan mendunia pada pekan-pekan terakhir ini, seiring dokumenter Burning Sun yang dirilis BBC News.
Rilis dokumenter itu mengungkap berbagai skandal (penyediaan perempuan penghibur sebagai gratifikasi, pembuatan film ilegal, penyalahgunaan narkoba, tindakan kekerasan seksual, juga molka) yang melibatkan banyak pesohor industri hiburan Korea Selatan.
Pusat terjadinya di sebuah Burning Sun Club.
Berdasar penjelasan yang dikutip dari Koreaboo.com, Burning Sun merupakan klub malam yang dimiliki oleh Seungri, mantan anggota boy band, BigBang. Lokasi klub ini di distrik Gangnam di Seoul, ibu kota Korea Selatan.
View this post on Instagram
Sebelum terungkapnya berbagai skandal di atas, Burning Sun Club jadi tempat yang lazim untuk para pesohor Korea Selatan berkumpul dan menghibur diri.
Akibat terkuaknya skandal, Seungri dan beberapa pesohor lainnya terpaksa jadi penghuni penjara, selama beberapa saat.
Jauh sebelum skandal terungkap, istilah molka populer seiring acara TV yang menampilkan lelucon dan kamera mata-mata di waktu bersamaan. Sebuah acara yang ditayangkan dari Maret 1991 hingga November 1992.
Dalam kurun waktu 30 tahunan sejak istilah molka bergulir, pengertiannya berubah dari hiburan jadi ancaman yang menggelisahkan berbagai kalangan.
Dari “Online Consequences of being Offline: A Gendered Tale from South Korea”, yang ditulis Yenn Lee, 2019, sejak bulan Mei sampai Desember tahun 2018 setidaknya telah terjadi 6 kali unjuk rasa besar di Seoul.
Seluruh unjuk rasa itu dihadiri puluhan ribu perempuan, yang tuntutannya meminta tindakan tegas memberantas kejahatan seksual digital, molka.
Menurut perempuan-perempuan pengunjuk rasa itu, molka telah jadi endemi di Korea Selatan.
Ini seiring makin kerapnya penemuan kamera-kamera tersembunyi di dalam bilik-bilik toilet umum, di kamar motel, di rumah sakit, di jalanan, bahkan di rumah-rumah para perempuan sendiri.
Perangkat digunakan secara ilegal, untuk mencuri gambar korbannya tanpa sadar dan dalam keadaan tak terduga.
Baca Juga: Tak Perlu Peralatan Khusus, Ini 6 Cara Mudah Deteksi Kamera Tersembunyi di Kamar Hotel
Hasilnya, berupa gambar maupun video non-konsesual yang diedarkan sebagai konten hiburan maupun pornografi.
Konsumen utamanya adalah laki-laki, lewat pemanfaatan media sosial maupun media online lainnya.
Unjuk rasa dilakukan banyak perempuan, lantaran cara kerja molka yang berbeda dari revenge porn maupun cyberstalking.
Kedua kejahatan online ini juga memanen material informasi secara ilegal, namun pada revenge porn maupun cyberstalking, targetnya adalah personal yang sudah dikenal atau direncanakan untuk diperas atau ditundukkan kemauannya.
Pemerasan dan penundukan dilakukan dengan cara ancaman penyebaran konten yang memalukan. Pada molka, sasarannya bisa siapa saja tanpa keterkaitan relasi sebelumnya dan utamanya perempuan.
Tanpa adanya sasaran tertentu, korban molka bisa siapa saja. Selain perempuan, juga anak-anak di bawah umur.
Molka tak ubahnya moncong meriam yang terarah ke mana saja. Merusak berbagai kalangan, yang privasinya dikoyak penggunaan teknologi secara ilegal.
Korban baru menyadari ketidakberesan yang dialaminya, saat seseorang yang mengenalnya memberi tahu: dirinya ada pada konten yang tak semestinya.
Privasi dan harga diri yang terlanjur terkoyak, baru disadari setelah konten beredar luas tak terkendali.
Baca Juga: Lakukan Ini Jika Pelaku KBGO Ancam akan Sebarkan Data dan Konten Pribadi
Ini menimbulkan gangguan psikologis yang berkepanjangan, perasaan dikuntit terus menerus, yang tak jarang diakhiri dengan bunuh diri sebagai jalan keluarnya.
Pada “In South Korea, Women are Fighting to End Digital Sex Crimes”, Kenneth R. Rosen, 2022, menuliskan: Seiring unjuk rasa ribuan perempuan Korea Selatan di tahun 2018, yang menyuarakan diperanginya kejahatan seksual digital, seorang pria ditangkap dengan 20.000 video yang diambil secara ilegal.
Laki-laki ini ditangkap lantaran ketahuan memasang kamera mata-mata di sebuah penginapan.
Menanggapi penangkapan itu, mantan presiden Korea Selatan, Moon Jae-in, menyebut: Kamera mata-mata ilegal telah menjadi bagian lazim dalam kehidupan di negaranya.
Selain kepemillikan kamera oleh banyak kalangan, menyuburnya budaya pengawasan antar warga negara juga mendorong tumbuhnya kejahatan seksual digital.
Terhadap hal ini Yen Lee melanjutkan bahwa Korea Selatan merupakan arena molka yang tak ada tandingannya. Seluruhnya ini lantaran tiga hal: normalisasi, trivialisasi, dan kartelisasi.
Normalisasi, terjadi seiring kepemilikan kamera secara luas.
Ini diikuti dengan penggunaaannya yang ilegal, namun dianggap normal. Keadaan ini konsisten dengan ungkapan sang mantan presiden.
Trivialisasi sendiri terjadi saat molka berhasil diungkap sebagai kejahatan seksual digital yang merugikan, namun media, masyarakat, mungkin juga penegak hukum, tak menganggapnya sebagai peristiwa penting.
Pengungkapan dianggap remeh, dangkal, tak punya pengaruh penting.
Kartelisasi berperan saat terdapat sekelompok orang yang mampu mengubah material hasil molka, menjadi komoditas yang dapat ditransaksikan. Itu terjadi di pasar pornografi.
Tiga hal di atas, tentu bukan khas Korea Selatan.
Di negara manapun, juga Indonesia, terjadi penggunaan teknologi secara ilegal namun dianggap lazim. Pengungkapan kejahatan seksual digital juga dianggap tak penting.
Ditambah pula terdapatnya pihak yang mampu mengubah hasil kejahatan seksual digital, menjadi komoditas perdagangan yang laku dipasarkan, maka kejahatan semacam molka akan marak terjadi.
Dan ketika itu terjadi, tak lain meletakkan perempuan sebagai sasaran korban kejahatan.
Tentu tak elok, bukan? Manakala perempuan yang harus dihormati dan disayangi justru jadi mangsa perkembangan teknologi yang tak dikehendaki? (*)