Dr.  Firman Kurniawan S.

Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, dan penulis buku Digital Dilemma

Tone Deaf yang Menyasar Perempuan: Tuli Mental Seiring Kemajuan Teknologi Digital

Dr. Firman Kurniawan S. Sabtu, 8 Juni 2024
Istilah tone deaf atau tuli mental ramai dibicarakan. Apa penyebabnya dan apakah perempuan bisa jadi korban tone deaf?
Istilah tone deaf atau tuli mental ramai dibicarakan. Apa penyebabnya dan apakah perempuan bisa jadi korban tone deaf? halfbottle

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Konektivitas yang disediakan perangkat jadi sarana pemutus interaksi sosial di dunia nyata. Ini jadi temuan penting.

Demikian intensifnya siasat menurunkan kepekaan pancaindra ini, yang ternyata membawa akibat lebih lanjut.

Ini berupa perilaku permanen meminimalkan interaksi sosial di dunia nyata, berikut absennya kepedulian pada orang lain.

Tone Deaf dan Hilangnya Kepedulian Pada Orang Lain

Di kendaraan umum, perempuan hamil maupun para lansia dibiarkan tak memperoleh tempat duduk oleh kaum muda, lantaran mereka sibuk berinteraksi dengan perangkat di genggamannya.

Kebiasaan menghindari interaksi sosial di dunia nyata melahirkan absennya kepekaan mental. Hari ini gejala itu lazim disebut sebagai tone deaf.

Tone deaf atau tuli nada, bukan gejala baru yang lahir lantaran teknologi digital. Ini sudah lama dikenal di dunia musik.

Tuli kontekstual ini meluas penggunaannya (di luar urusan nada-nada) setelah mengalami pergeseran makna.

Dalam hal diabaikan perasaan seseorang, juga perasaan kolektif publik, sudah biasa hari ini mendengar dan menyemati gejala itu sebagai tone deaf.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Parapuan (@cerita_parapuan)

Kamus Merriam-Webster yang dikutip dari Merriam-Webster.com mendefinisikan tone deaf sebagai “relatively insensitive to differences in musical pitch”, ketakpekaan relatif untuk membedakan nada dalam musik.