Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Menurunkan kepekaan sosial dengan memanfaatkan teknologi digital sudah jadi kelaziman hari ini. Gejala ini hadir, seiring makin intensifnya pemanfaatan perangkat digital.
Penuh sesaknya kendaraan umum yang menyebabkan rasa tak nyaman, juga agar terhindar dari obrolan tak menarik selama perjalanan, dapat disiasati dengan memasang headphone dan menikmati konten media digital.
Bentuk kontennya bisa media sosial, games, maupun layanan streaming. Tujuannya, mengalihkan tekanan pada pancaindra (yang diproses otak sebagai perasaan tak nyaman) menjadi konsumsi hiburan.
Demikian juga di suatu area publik, di tengah aktivitas mengantri loket pembayaran atau menunggu giliran layanan di fasilitas Kesehatan.
Sangat biasa kita menemukan wajah-wajah tertunduk yang dihadapkan pada layar mobile selular.
Tujuannya, lagi-lagi untuk menghindari kejenuhan saat menunggu atau mencegah harus berinteraksi dengan orang yang tak dikehendaki.
Perangkat teknologi digital, gadget, gawai, adalah paradoks zaman ini: Mampu menciptakan keterhubungan, sekaligus memutusnya secara total.
Realitas pemutusan keterhubungan sosial di dunia nyata, sebagaimana gejala di atas terkonfirmasi oleh penelitian yang diselenggarakan Kaspersky Lab, 2018.
Pokok pembahasannya tercermin lewat judul laporan hasilnya, “Online or Lost: Our Constant Connection Dependency”.
Baca Juga: Kesadaran Digital Wellness untuk Kita yang Susah Lepas dari Handphone
Perusahaan yang dikenal sebagai penyelenggara sistem keamanan komputer ini melakukan penelitian dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang terkait pentingnya tetap terhubung, masalah keterhubungan yang dihadapi, juga keadaan yang dialami responden saat kehilangan keterhubungan.
Penemuan jawaban diselengggarakan dengan menggunakan sample penelitian sebanyak 11.250 pemilik perangkat seluler dengan usia 18-60 tahun dan tersebar di 15 negara.
Hasil yang diperoleh dari penelitian di atas adalah 75% responden ternyata menggunakan perangkat berteknologi yang dimiliki untuk berpura-pura sibuk.
Ini dilakukan ketika responden itu tak ingin berbicara dengan seseorang. Maka, terjadilah pemutusan keterhubungan sosial, dengan dunia nyata.
Lalu, 72% responden juga menggunakan perangkatnya ketika tak tahu apa yang harus dilakukan di tengah keadaan yang tak terencana.
Ini termasuk saat terjebak di tengah kemacetan, atau menunggu lebih lama dari waktu yang diperkirakan.
Selain itu, tercatat pula bahwa 46% responden setiap hari menggunakan perangkat yang digenggamnya untuk menghabiskan waktu, dan 44% responden menggunakan perangkat yang dimilkinya untuk mengalihkan perhatian dari hal-hal tertentu sehari-hari.
Gejala yang mudah disaksikan, sebagaimana ilustrasi Kaspersky Lab. selanjutnya, adalah saat seseorang menghadiri pesta atau pertemuan publik dan tak mengenal siapa pun untuk diajak bicara, maka perangkat teknologi digital bakal jadi penolongnya.
Perangkat ini akan berperan sebagai teman. Juga saat memesan makanan untuk dibawa pulang dan pemesannya tak ingin berbicara dengan siapa pun sama sekali.
Baca Juga: Ini 5 Cara Mudah Melakukan Detoks Digital, Bisa Bikin Lebih Rileks!
Konektivitas yang disediakan perangkat jadi sarana pemutus interaksi sosial di dunia nyata. Ini jadi temuan penting.
Demikian intensifnya siasat menurunkan kepekaan pancaindra ini, yang ternyata membawa akibat lebih lanjut.
Ini berupa perilaku permanen meminimalkan interaksi sosial di dunia nyata, berikut absennya kepedulian pada orang lain.
Tone Deaf dan Hilangnya Kepedulian Pada Orang Lain
Di kendaraan umum, perempuan hamil maupun para lansia dibiarkan tak memperoleh tempat duduk oleh kaum muda, lantaran mereka sibuk berinteraksi dengan perangkat di genggamannya.
Kebiasaan menghindari interaksi sosial di dunia nyata melahirkan absennya kepekaan mental. Hari ini gejala itu lazim disebut sebagai tone deaf.
Tone deaf atau tuli nada, bukan gejala baru yang lahir lantaran teknologi digital. Ini sudah lama dikenal di dunia musik.
Tuli kontekstual ini meluas penggunaannya (di luar urusan nada-nada) setelah mengalami pergeseran makna.
Dalam hal diabaikan perasaan seseorang, juga perasaan kolektif publik, sudah biasa hari ini mendengar dan menyemati gejala itu sebagai tone deaf.
View this post on Instagram
Kamus Merriam-Webster yang dikutip dari Merriam-Webster.com mendefinisikan tone deaf sebagai “relatively insensitive to differences in musical pitch”, ketakpekaan relatif untuk membedakan nada dalam musik.
Ini dalam realitasnya ditunjukkan sebagai tak mampunya seseorang menampilkan atau menirukan nada dengan tepat.
Namun kamus ini juga memberi pengertian kedua, yang kurang lebih berarti: Ketidakpekaan atau kurangnya persepsi terhadap sentimen, opini, atau selera publik.
Dicontohkan penggunaannya dalam bentuk kalimat, Gedung Putih sejak lama menyimpulkan, dia bersikap acuh tak acuh dan tuli secara politik.
Di Indonesia, tone deaf hari-hari ini kerap masuk dalam pembicaraan. Ini setidaknya, setelah mengalami peningkatan penggunaan di awal tahun 2024.
Peningkatan seiring berlangsungnya kampanye capres dan cawapres 2024, yang salah satu kandidat menggunakan ilustrasi lemahnya sebuah negara, sehingga mudah diserang negara lain.
Pernyataan tersebut dianggap sebagai tulinya kepekaan mental sang kandidat, lantaran penyerangan yang dimaksud masih berlangsung, dan korban memilukan yang masih terus berjatuhan tanpa kenal waktu.
Pernyataan disemati sebagai tone deaf, karena kelemahan bukan satu-satunya penyebab diserangnya negara yang diilustrasikan.
Berlanjut dari disesalinya ucapan sang kandidat, menjadi suatu hal yang lazim saat seseorang memproduksi dan mendistribusikan konten media sosial tanpa melibatkan kepekaan mentalnya dan tanpa berempati pada keadaan di luar dirinya.
Orang macam itu dianggap menyandang tone deaf.
Makin mengemukanya gejala tuli kontekstual ini juga diakselerasi oleh intensifnya penggunaan teknologi digital.
Tone Deaf dan Penggunaan Teknologi Digital
Sebuah penjelasan mencoba merunut bahwa munculnya tone deaf didahului oleh internet addiction disorder (IAD), gangguan kecanduan internet.
Gangguan ini kerap dikaitkan dengan intensitas penggunaaan internet yang belebihan. Yang pada gilirannya memunculkan ketergantungan.
Penyandang gejala selalu ingin terus-menerus menghabiskan lebih banyak waktu online, terus ada dalam jaringan.
Tujuannya, agar selalu terhubung dengan apapun yang disediakan jaringan.
Akibat lebih lanjutnya, (baik ketergantungan tersebut dipenuhi atau justru dibatasi) muncul perubahan suasana hati, ketidakmampuan mengatur waktu yang dihabiskan untuk terhubung ke jaringan, gejala penarikan diri, hingga konflik dengan orang sekitarnya.
Dari aktivitas yang bersifat fisiologis beralih jadi psikologis.
Frekuensi ketergantungan yang terus meningkat menyebabkan diabaikannya kewajiban sehari-hari, menurunnya interaksi sosial, maupun absennya penyandang gejala dari aktivitas penting lainnya.
Baca Juga: Molka, Merenggut Hak Perempuan di Tengah Kemajuan Teknologi Digital
Indikasi yang terlihat sangat nyata berupa melemahnya minat terhadap aktivitas apa pun yang tidak berhubungan dengan penggunaan Internet.
Hal ini seluruhnya merupakan gejala kecanduan internet, yang didefinisikan sebagai bentuk “penggunaan teknologi secara kompulsif”.
Seluruh uraian menyangkut proses munculnya internet kompulsif ini, diuraikan oleh Carola Costanza, Luigi Vetri, Marco Carotenuto, dan Michele Roccella (2023) dalam “Use and Abuse of Digital Devices: Influencing Factors of Child and Adolescent Neuropsychology”.
Hubungan antara tone deaf dengan media sosial sendiri dapat dikaitkan secara logis lewat tulisan Jakai Paku (2023), berjudul “Is society becoming more tone deaf?”.
Penulis di atas menguraikan bahwa di awal Januari tahun 2023, terjadi tren di Tiktok berupa banyaknya konten dari anak-anak yang membuat prank, pengelabuan, terhadap orang tuanya.
Prank berisi berita adanya pesohor yang meninggal dunia. Akibatnya, timbul reaksi sedih yang termuat di berbagai platform, termasuk Instagram dan Twitter.
Prank tersebut masih dapat ditoleransi, hingga Andy Cohen, pembawa acara Watch What Happens Live, jadi korban tindakan main-main itu.
Cohen diberitakan telah meninggal dunia. Pesohor ini lantas bereaksi. Dia tak ingin melihat ekspresi khalayak saat dirinya diberitakan meninggal.
Menurut Cohen, ketidakpekaan yang beredar di media sosial itu merupakan bentuk sikap masyarakat yang tuli mental.
Baca Juga: Viral Shasa Zhania Disebut Tone Deaf, Apa Itu dan Bagaimana Merespons Orang yang Tidak Peka
Kematian yang tragis dibanalkan, tanpa memikirkan dampak pemalsuan yang dilakukan terhadap subjek, maupun keluarga yang dijadikan sebagai bahan prank.
Dari aktivitas menemukan suatu bentuk hiburan, (sebagai pengalih yang bersifat fisiologis di dunia nyata) mengakibatkan menipisnya kepekaan, dan kemudian memunculkan ketulian mental.
Apakah perempuan juga jadi korban tone deaf?
Saat tuli mental ini dikaitkan dengan perempuan, berbagai konten media sosial yang bersifat seksis, misoginis (mendiskriminasi perempuan) sering jadi material yang dinormalisasi.
Bahwa perempuan tak terlalu menggunakan kekuatan akalnya dalam menjalani hidup, selalu ingin menang dalam argumentasi, juga perempuan yang bersifat pragmatis-materialis; seolah-olah adalah suatu kebenaran yang tak terlalu dipertanyakan.
Oleh karena itu, ketika didistribusikan sebagai konten media sosial, hal tadi dianggap sebagai hal biasa.
Tone deaf pada perempuan, seakan tak menimbulkan pengaruh bagi mental kelompok gender ini. Ini artinya, media sosial mewujudkan diri sebagai kontributor tone deaf baru.
Ini setelah dunia periklanan, perfilman, maupun jurnalisme, kerap menggambarkan perempuan sebagai warga negara yang tak lebih unggul dibanding laki-laki.
Bias yang terus dinormalisasi dan memperoleh penguatan di media digital ini seolah mendapat persetujuan dari perempuan.
Namun benarkah demikian? Perempuan memang setuju, atau terlalu lelah untuk melawan tulinya dunia, pada kaum ini? (*)