Dr.  Firman Kurniawan S.

Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, dan penulis buku Digital Dilemma

Tone Deaf yang Menyasar Perempuan: Tuli Mental Seiring Kemajuan Teknologi Digital

Dr. Firman Kurniawan S. Sabtu, 8 Juni 2024
Istilah tone deaf atau tuli mental ramai dibicarakan. Apa penyebabnya dan apakah perempuan bisa jadi korban tone deaf?
Istilah tone deaf atau tuli mental ramai dibicarakan. Apa penyebabnya dan apakah perempuan bisa jadi korban tone deaf? halfbottle

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Tone Deaf dan Penggunaan Teknologi Digital

Sebuah penjelasan mencoba merunut bahwa munculnya tone deaf didahului oleh internet addiction disorder (IAD), gangguan kecanduan internet.

Gangguan ini kerap dikaitkan dengan intensitas penggunaaan internet yang belebihan. Yang pada gilirannya memunculkan ketergantungan.

Penyandang gejala selalu ingin terus-menerus menghabiskan lebih banyak waktu online, terus ada dalam jaringan.

Tujuannya, agar selalu terhubung dengan apapun yang disediakan jaringan.

Akibat lebih lanjutnya, (baik ketergantungan tersebut dipenuhi atau justru dibatasi) muncul perubahan suasana hati, ketidakmampuan mengatur waktu yang dihabiskan untuk terhubung ke jaringan, gejala penarikan diri, hingga konflik dengan orang sekitarnya.

Dari aktivitas yang bersifat fisiologis beralih jadi psikologis.

Frekuensi ketergantungan yang terus meningkat menyebabkan diabaikannya kewajiban sehari-hari, menurunnya interaksi sosial, maupun absennya penyandang gejala dari aktivitas penting lainnya.

Baca Juga: Molka, Merenggut Hak Perempuan di Tengah Kemajuan Teknologi Digital

Indikasi yang terlihat sangat nyata berupa melemahnya minat terhadap aktivitas apa pun yang tidak berhubungan dengan penggunaan Internet.

Hal ini seluruhnya merupakan gejala kecanduan internet, yang didefinisikan sebagai bentuk “penggunaan teknologi secara kompulsif”.

Seluruh uraian menyangkut proses munculnya internet kompulsif ini, diuraikan oleh Carola Costanza, Luigi Vetri, Marco Carotenuto, dan Michele Roccella (2023) dalam “Use and Abuse of Digital Devices: Influencing Factors of Child and Adolescent Neuropsychology”.

Hubungan antara tone deaf dengan media sosial sendiri dapat dikaitkan secara logis lewat tulisan Jakai Paku (2023), berjudul “Is society becoming more tone deaf?”.

Penulis di atas menguraikan bahwa di awal Januari tahun 2023, terjadi tren di Tiktok berupa banyaknya konten dari anak-anak yang membuat prank, pengelabuan, terhadap orang tuanya.

Prank berisi berita adanya pesohor yang meninggal dunia. Akibatnya, timbul reaksi sedih yang termuat di berbagai platform, termasuk Instagram dan Twitter.

Prank tersebut masih dapat ditoleransi, hingga Andy Cohen, pembawa acara Watch What Happens Live, jadi korban tindakan main-main itu.

Cohen diberitakan telah meninggal dunia. Pesohor ini lantas bereaksi. Dia tak ingin melihat ekspresi khalayak saat dirinya diberitakan meninggal.

Menurut Cohen, ketidakpekaan yang beredar di media sosial itu merupakan bentuk sikap masyarakat yang tuli mental.

Baca Juga: Viral Shasa Zhania Disebut Tone Deaf, Apa Itu dan Bagaimana Merespons Orang yang Tidak Peka

Kematian yang tragis dibanalkan, tanpa memikirkan dampak pemalsuan yang dilakukan terhadap subjek, maupun keluarga yang dijadikan sebagai bahan prank.

Dari aktivitas menemukan suatu bentuk hiburan, (sebagai pengalih yang bersifat fisiologis di dunia nyata) mengakibatkan menipisnya kepekaan, dan kemudian memunculkan ketulian mental.

Apakah perempuan juga jadi korban tone deaf?

Saat tuli mental ini dikaitkan dengan perempuan, berbagai konten media sosial yang bersifat seksis, misoginis (mendiskriminasi perempuan) sering jadi material yang dinormalisasi.

Bahwa perempuan tak terlalu menggunakan kekuatan akalnya dalam menjalani hidup, selalu ingin menang dalam argumentasi, juga perempuan yang bersifat pragmatis-materialis; seolah-olah adalah suatu kebenaran yang tak terlalu dipertanyakan.

Oleh karena itu, ketika didistribusikan sebagai konten media sosial, hal tadi dianggap sebagai hal biasa.

Tone deaf pada perempuan, seakan tak menimbulkan pengaruh bagi mental kelompok gender ini. Ini artinya, media sosial mewujudkan diri sebagai kontributor tone deaf baru.

Ini setelah dunia periklanan, perfilman, maupun jurnalisme, kerap menggambarkan perempuan sebagai warga negara yang tak lebih unggul dibanding laki-laki.

Bias yang terus dinormalisasi dan memperoleh penguatan di media digital ini seolah mendapat persetujuan dari perempuan.

Namun benarkah demikian? Perempuan memang setuju, atau terlalu lelah untuk melawan tulinya dunia, pada kaum ini? (*)