Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Ini dalam realitasnya ditunjukkan sebagai tak mampunya seseorang menampilkan atau menirukan nada dengan tepat.
Namun kamus ini juga memberi pengertian kedua, yang kurang lebih berarti: Ketidakpekaan atau kurangnya persepsi terhadap sentimen, opini, atau selera publik.
Dicontohkan penggunaannya dalam bentuk kalimat, Gedung Putih sejak lama menyimpulkan, dia bersikap acuh tak acuh dan tuli secara politik.
Di Indonesia, tone deaf hari-hari ini kerap masuk dalam pembicaraan. Ini setidaknya, setelah mengalami peningkatan penggunaan di awal tahun 2024.
Peningkatan seiring berlangsungnya kampanye capres dan cawapres 2024, yang salah satu kandidat menggunakan ilustrasi lemahnya sebuah negara, sehingga mudah diserang negara lain.
Pernyataan tersebut dianggap sebagai tulinya kepekaan mental sang kandidat, lantaran penyerangan yang dimaksud masih berlangsung, dan korban memilukan yang masih terus berjatuhan tanpa kenal waktu.
Pernyataan disemati sebagai tone deaf, karena kelemahan bukan satu-satunya penyebab diserangnya negara yang diilustrasikan.
Berlanjut dari disesalinya ucapan sang kandidat, menjadi suatu hal yang lazim saat seseorang memproduksi dan mendistribusikan konten media sosial tanpa melibatkan kepekaan mentalnya dan tanpa berempati pada keadaan di luar dirinya.
Orang macam itu dianggap menyandang tone deaf.
Makin mengemukanya gejala tuli kontekstual ini juga diakselerasi oleh intensifnya penggunaan teknologi digital.