Parapuan.co - Kawan Puan, masyarakat dan pemerintah maupun lembaga/institusi terkait perlu mulai mewaspadai fenomena femisida di Indonesia.
Femisida merujuk pada pembunuhan berbasis gender terhadap perempuan, yang dalam beberapa tahun terakhir cukup tinggi.
Terbaru, pembunuhan terhadap perempuan bahkan terjadi pada usia remaja, salah satunya seperti terjadi di Padang Pariaman.
PARAPUAN merangkum kronologi kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang dialami remaja perempuan penjual gorengan di Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Tercatat pada Minggu (8/9/2024), remaja perempuan tersebut ditemukan tidak bernyawa.
Sejak 2017, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat ratusan kasus femisida di Indonesia.
Hal tersebut dirangkum dalam sebuah kajian berjudul "Femisida Tidak Dikenal: Pengabaian Terhadap Hak Atas Hidup dan Hak Atas Keadilan Perempuan dan Anak Perempuan".
Kajian itu menyoroti pembunuhan berbasis gender terhadap perempuan yang belum atau tidak dianggap sebagai femisida.
Pembunuhan berbasis gender terhadap perempuan masih digolongkan dalam tindak pidana pembunuhan secara umum.
Baca Juga: 58 Persen Wanita Alami Pelecehan Daring, Ini Ciri Kekerasan pada Perempuan Berbasis Gender Online
Padahal, Komnas Perempuan telah mengumpulkan sebanyak 433 data kasus tentang pemberitaan femisida di Indonesia.
Proses pembersihan data dilakukan untuk memisahkan kasus-kasus yang tidak relevan dengan pendefinisian femisida yang telah ditetapkan.
Dari proses pembersihan, diperoleh 421 kasus femisida yang menjadi acuan sampel dalam kajian tentang banyaknya kasus femisida yang didokumentasikan dari berbagai media massa daring.
Selanjutnya dari 421 data yang telah terkumpul, 25 kasus diantaranya (5,94 persen) merupakan kasus yang terjadi di tahun 2016.
Sebanyak 34 kasus (8,08 persen) merupakan kasus yang didokumentasikan terjadi di tahun 2017.
Sebuah kenaikan hampir tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya terjadi pada tahun 2018, di mana sebanyak 100 kasus femisida (23,75 persen) berhasil didokumentasikan.
Pada tahun 2019, kasus femisida di Indonesia tercatat sebanyak 167 kasus (39,67 persen).
Kemudian pada tahun 2020, sebanyak 95 kasus (22,57 persen) berhasil didokumentasikan oleh berbagai media massa daring.
Lantas, siapakah perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan berbasis gender, yang kemudian berujung pada pembunuhan?
Baca Juga: TikTok Lakukan Ini Ketika Kekerasan Berbasis Gender Online Meningkat 4 Kali Lipat
Perempuan yang Rentan Jadi Korban Femisida
Berdasarkan laporan yang sama dari Komnas Perempuan, femisida sering kali menjadi puncak dari kekerasan dalam rumah tangga maupun dalam hubungan pacaran.
Fenomena ini kerap didorong oleh relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban, serta minimnya ruang aman bagi perempuan untuk terbebas dari kekerasan berbasis gender.
Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi kerentanan korban femisida di Indonesia seperti terungkap dalam kajian "Femisida Tidak Dikenal: Pengabaian Terhadap Hak Atas Hidup dan Hak Atas Keadilan Perempuan dan Anak Perempuan" Komnas Perempuan:
1. Perempuan dalam Rentang Usia Produktif
Berdasarkan data yang dihimpun dari 421 kasus femisida yang teridentifikasi di media daring, perempuan dalam rentang usia produktif, yaitu antara 21 hingga 40 tahun, paling rentan menjadi korban.
Sebanyak 26,37 persen dari total kasus melibatkan korban berusia 21-30 tahun, diikuti oleh 23,75 persen korban berusia 31-40 tahun.
Ini menunjukkan bahwa mayoritas korban femisida adalah perempuan muda yang berada pada puncak usia produktif.
Tidak hanya itu, korban anak-anak di bawah usia 10 tahun juga tercatat sebagai korban femisida meski dalam persentase kecil, yakni 0,95 persen dari total kasus.
Baca Juga: Perulangan Kasus KDRT Menjadi Sinyal bagi Perempuan
Sedangkan, korban lanjut usia, terutama yang berusia 71 tahun ke atas, juga terekam dalam kasus femisida, meskipun persentasenya relatif rendah.
2. Lokasi dan Sebaran Kasus Femisida
Sebaran kasus femisida di Indonesia terekam paling banyak di Pulau Jawa dan Sumatera.
Kedua pulau ini mendominasi dalam pemberitaan kasus-kasus femisida, meskipun wilayah lain seperti Sulawesi, Kalimantan, dan Papua juga tidak luput dari kejadian serupa.
Bahkan, kasus-kasus yang melibatkan warga negara Indonesia juga tercatat terjadi di luar negeri, seperti di Malaysia, Singapura, dan Kamboja.
Heatmap yang dihasilkan dari data pemberitaan memperlihatkan bahwa wilayah dengan populasi yang padat cenderung lebih banyak mencatat kasus femisida.
Hal ini menunjukkan adanya korelasi antara urbanisasi, kepadatan penduduk, dan kekerasan berbasis gender.
3. Relasi Korban dan Pelaku
Kasus femisida di Indonesia sering kali terjadi dalam hubungan yang dekat antara pelaku dan korban.
Baca Juga: Komnas Perempuan Desak Pemerintah Bentuk Femisida Watch Imbas Kasus Pembunuhan Perempuan
Berdasarkan data, istri menjadi korban femisida terbanyak, dengan 42,3 persen kasus dilakukan oleh suami.
Relasi lain yang juga dominan adalah antara pacar dan korban, yang mencakup 19,2 persen dari kasus.
Angka-angka ini menegaskan bahwa sebagian besar kasus femisida terjadi dalam hubungan intim, atau yang dikenal sebagai femisida intim.
Hal ini disebabkan oleh motif-motif seperti dendam, cemburu, dan konflik dalam hubungan.
Selain itu, korban juga bisa berasal dari kalangan teman, tetangga, atau bahkan orang yang tidak dikenal.
Ada pula kasus yang melibatkan perempuan yang dilacurkan (pedila), yang dibunuh oleh pelanggan mereka.
Kekosongan Hukum dalam Menangani Femisida
Meski femisida merupakan fenomena yang sangat spesifik dan terkait erat dengan kekerasan berbasis gender, belum ada payung hukum di Indonesia yang secara khusus mengatur atau membedakan kasus femisida dari pembunuhan pada umumnya.
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang baru disahkan pada tahun 2022 sebenarnya memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual.
Baca Juga: Film Vina: Sebelum 7 Hari Tidak Sensitif Isu Femisida dan Berisiko Menimbulkan Korban Berlapis
Namun, pembunuhan berbasis gender seperti femisida belum mendapat perhatian khusus dalam kerangka hukum di Indonesia.
Fenomena ini memperlihatkan adanya relasi kuasa yang timpang, di mana korban sering kali dianggap lebih lemah dan tidak berdaya dibandingkan pelaku.
Kekosongan hukum ini menyebabkan sulitnya mendokumentasikan femisida sebagai tindak kriminal yang berbasis gender.
Upaya Pencegahan dan Perlindungan
Untuk menanggulangi femisida, perlu adanya kesadaran lebih mendalam tentang bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender, termasuk pentingnya memberikan ruang aman bagi perempuan.
Regulasi yang lebih spesifik, seperti aturan hukum yang menempatkan femisida sebagai kejahatan berbasis gender, juga diperlukan untuk memperkuat perlindungan terhadap perempuan.
Selain itu, pemberdayaan perempuan melalui pendidikan dan peningkatan kesadaran tentang hak-hak mereka dalam hubungan personal dan sosial menjadi langkah penting dalam mencegah femisida.
Untuk itu bagi Kawan Puan, segera sadari segala bentuk tindak kekerasan baik secara verbal maupun fisik yang kamu alami dari orang terdekat atau bahkan orang asing.
Laporkan tindakan kekerasan terhadap perempuan, baik yang terjadi padamu atau orang lain di sekitarmu kepada pihak berwajib, bisa kepolisian atau Komnas Perempuan.
Untuk melaporkan ke Komnas Perempuan, kamu dapat menghubungi e-mail: pengaduan@komnasperempuan.go.id; Instagram @KomnasPerempuan; atau Twitter: @KomnasPerempuan.
Baca Juga: Pembunuhan terhadap Perempuan, Kenali 9 Jenis Femisida Menurut Komnas Perempuan
(*)