Mimpi Woro Srihastuti Sulistyaningrum, Deputi Kemenko PMK Tingkatkan Kualitas Perempuan dan Anak

Citra Narada Putri - Rabu, 30 Oktober 2024
Woro Srihastuti Sulistyaningrum, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI.
Woro Srihastuti Sulistyaningrum, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI. (Dok. PARAPUAN)

Parapuan.co - Perempuan memiliki peran yang tak tergantikan dalam membangun masa depan bangsa.

Ini bukan omong kosong belaka, karena sebagai pengasuh utama, perempuan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk karakter dan kualitas generasi penerus. Maka, dengan memberikan dukungan dan kesempatan yang sama, perempuan dapat berkontribusi secara optimal dalam membangun Indonesia Emas 2045.

Hal tersebut seperti disampaikan oleh Woro Srihastuti Sulistyaningrum, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI. Dalam bincang eksklusif bersama PARAPUAN, sosok yang akrab dipanggil Lisa ini pun mengingatkan bahwa investasi pada perempuan adalah investasi untuk masa depan bangsa.

Melalui posisinya di Kemenko PMK, Lisa ingin memberikan sumbangsih untuk bisa meningkatkan kualitas perempuan Indonesia agar bisa menciptakan generasi penerus bangsa yang berkualitas.

Namun tugas dan visi misinya bukan hal yang mudah digapai. Dengan berbagai tantangan yang dihadapinya dalam karier hingga kontribusi di masyarakat, Lisa tetap berjuang untuk membantu perempuan dan anak-anak untuk bisa mendapatkan yang terbaik.   

Apa tugas, tanggung jawab, dan fungsi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK?

Kementerian yang memang berfungsi untuk melakukan koordinasi sinkronisasi dan pengendalian, pelaksanaan dari berbagai kebijakan program pembangunan. Jadi, memang tujuannya kita harus bisa memastikan bagaimana koordinasi yang harus kita lakukan dengan berbagai pihak, kementerian lembaga maupun non-kementerian untuk bisa mensinkronkan program-program maupun kebijakan-kebijakan sampai kepada tataran implementasinya.

Kami juga melakukan pengendalian, monitoring evaluasi terhadap program-program kebijakan pembangunan untuk bisa kita lihat apakah target-target yang sudah kita sepakati di dalam perencanaan pembangunan itu benar-benar tercapai atau tidak. Kalau misalnya, ada permasalahan, ada bottlenecking, kita lakukan upaya-upaya koordinasi untuk bisa menyelesaikan isu-isu yang menjadi penyebab terjadinya permasalahan tersebut. 

Apa yang melatarbelakangi Anda mengemban tugas dan berkarier menjadi Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK?

Baca Juga: Rentan Kekerasan, Kemenko PMK Dorong RUU Perlindungan PRT Segera Disahkan

Ayah saya menduduki jabatan satu pimpinan lembaga pada waktu itu. Saya punya kakak yang kemudian menjadi salah satu sekda di provinsi. Saya cuman berpikir, saya harusnya juga bisa. Bapak saya bisa, kakak saya bisa, kenapa saya enggak bisa? Jadi itu kemudian yang memotivasi saya untuk bisa.

Saya pada posisi eselon 2 pada waktu itu di Bappenas, melihat bahwa kalau saya ada di posisi itu terus, saya akan ada di zona nyaman terus. Saya tidak bisa mengembangkan kemampuan dan kapasitas saya, lebih lagi. Staf-staf di bawah saya jadi enggak bisa naik karena tertahan. Jadi, waktu itu saya pikir saya harus keluar dari zona nyaman untuk memberikan peluang.

Intinya adalah saya ingin membuka peluang bagi teman-teman yang masih ada di bawah itu untuk bisa bergerak maju. Saya tidak ingin maju sendiri, tapi saya ingin mengajak yang lainnya maju. Jadi, saya kemudian pindah, harus keluar dari sana untuk mencari posisi yang bisa memberi peluang mereka untuk bisa naik. 

Selain itu, isunya yang digarap di sini (Kemenko PMK) tidak jauh berbeda dengan apa yang kami tangani di Bapennas, yang terkait dengan meningkatkan kualitas anak, perempuan dan pemuda. Saya sangat enjoy dengan substansi yang digarap, karena sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Kita bicara anak, itu adalah anak kita. Kita bicara keluarga, itu adalah keluarga kita. Kita bicara perempuan, saya perempuan, anak saya dua-duanya kebetulan perempuan. 

Jadi, kayaknya memang saya pas di sini. Kita tuh kayak punya satu kekuatan, pada saat kita bisa membuat lebih baik lingkungan, keluarga, anak-anak, saudara-saudara kita. Karena kalau bicara keluarga, anak, perempuan, itu adalah orang-orang yang berada di sekitar kita. Sementara di sisi lain masih banyak isu-isu yang kita hadapi. Masih ada kekerasan terhadap anak, perkawinan di usia anak, bullying dan seterusnya. 

Termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan, KDRT, luar biasa juga. Belum lagi kita bicara isu kepemimpinan pada perempuan yang juga masih menjadi tantangan. Belum lagi, angka pernikahan turun, perceraian meningkat. Kompleks isunya dan itu dekat dengan kita.

Mungkin saya tidak mengalami langsung, tapi mungkin saudara, tetangga, kerabat saya, ada di sekitar kita. Ayo kita bantu. Saya mungkin tidak membantu langsung, tapi dengan berbagai kebijakan-kebijakan yang kita keluarkan itu kan sebenarnya bisa mengurangi dampak yang ditimbulkan pada orang-orang terdekat ini. 

Apa hal paling menantang yang dihadapi selama bertugas?

Memang yang menjadi tantangannya ini adalah banyak isu-isu yang berkaitan dengan isu agama, isu budaya, yang butuh pendekatan khusus. Sebagai contoh, isu terkait dengan perkawinan anak. Perkawinan anak ini kan banyak disebabkan karena latar belakang, misalnya agama, daripada zinah lebih baik nikahkan saja. Oh anak sudah baligh, segeralah dinikahkan.

Baca Juga: Perjuangan Menteri PPPA Bintang Puspayoga dalam Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Nah ini yang memang menjadi tantangan bagi kita, bagaimana memberikan pemahaman, penyadaran, mungkin tidak dari sudut pandang agama, tetapi juga ada faktor kesehatannya, kesiapan mentalnya, kesiapan ekonomi. Kalau kita mau menikah itu kan harus ada kesiapan-kesiapan itu yang perlu kita sampaikan, tapi dari sudut pandang agama. 

Jadi kalau saya menyampaikan tuh membahasa-agamakan berbagai dampak-dampak terhadap satu isu itu, sehingga lebih mudah dipahami oleh semua pihak, masyarakat atau ulama dan sebagainya.

Menjadi Lady Boss, bagaimana gaya kepemimpinan yang Anda terapkan agar pekerjaan selesai dengan baik?

Karena saya pemimpin perempuan, saya tidak mungkin otoriter, karena kita akan berhadapan dengan tembok pada saat kita bicara ‘harus seperti ini, harus seperti itu’. Saya menerapkan kepemimpinan yang sifatnya demokratis. 

Artinya, pada saat kita memberikan arahan, tentu kita juga menanyakan bagaimana pandangannya, bagaimana tanggapannya, adakah masukan. Jadi, saya tidak meniadakan masukan-masukan dari staf-staf ataupun eselon 2 di tempat kami. Bahkan kadang-kadang saya langsung menanyakan kepada staf saya, “kalau menurut dia seperti apa pandangannya?” atau “pandangan teman-teman seperti apa? Ada masukan enggak?”. 

Selain juga saya melatih teman-teman itu untuk berani mengungkapkan pendapatnya, berani menyampaikan pikiran-pikirannya. Menurut saya itu menjadi latihan, karena sering kali staf-staf saya tuh suka malu menyampaikan. Nah saya ingin mendorong mereka. 

Jadi, saya tetap menyampaikan satu pandangan, tapi saya juga ingin minta pandangan dari teman-teman, supaya yang nanti akan diterapkan itu adalah hasil kesepakatan. Karena kita masih dalam budaya yang sangat kental dengan patriarkinya, jadi kita ada pendekatan-pendekatan yang humanis. 

Kadang-kadang kita pakai pendekatan yang personal, artinya seperti pertemanan. Jadi, tidak berbicara tentang ‘saya pemimpin’, tapi saya di sini adalah sebagai teman. Ini membuat orang jadi lebih terbuka. Kalau kita bicara memimpin, seringkali orang jadi tertutup ya, tidak mau membuka diri.  

Bekerja meningkatkan kualitas anak dan perempuan, bagaimana caranya agar keduanya bisa menjadi generasi penerus bangsa?

Baca Juga: Mengenal Elisabeth Novie Riswanti, Satu-Satunya Direktur Perempuan di BTN

Anak, dalam struktur demografi kita menempati hampir sepertiga penduduk Indonesia. Indonesia sekarang sekitar 280-an juta, anak itu komposisinya sekitar 31 persen. 

Kalau anak, menurut Undang-Undang Perlindungan Anak itu kan di bawah 18 tahun ya. Kita bicara Indonesia emas 2045, 20 tahun ke depan merekalah yang nanti akan mengisi pembangunan. Mau tidak mau mereka yang nanti akan ada di posisi manajerial, pasti. 

Artinya, kalau kita bisa meningkatkan, menjaga anak-anak kita untuk bisa tumbuh kembang secara optimal dan berkualitas, kita jamin SDM kita ke depan itu pasti akan SDM yang mumpuni, yang siap membangun Indonesia maju. Jadi, kami melihat bahwa kenapa anak itu harus benar-benar kita jaga, bahkan sejak dari dalam kandungan, kita harus penuhi gizi mereka. Kenapa? 

Karena masa pertumbuhan anak di usia dini 0 sampai 6 tahun, itu masa yang sangat krusial. Golden age. Menurut teori perkembangan otak manusia, pertumbuhan otak manusia sangat pesat itu di usia 0 - 3 tahun. Kapasitas otak manusia berkembang 75% pada saat usia 0 - 3 tahun. Kalau kita salah mendidik anak kita, memberikan pengasuhan pada anak kita, memberikan stimulasi-stimulasi yang salah, yang tidak positif, sudah akan mempengaruhi otak. 

Jaringan-jaringan yang harusnya bisa berkembang untuk tumbuh kembang otak itu menjadi optimal, kalau kita memberikan stimulasi-stimulasi negatif itu akan menyusut. Sementara, kapasitas otak kita 75 persen di 0-3 tahun, di usia 5 tahun itu 90 persen. Jadi kalau kita benar-benar menjaga anak kita sejak dari kandungan sampai kemudian sebelum 18 tahun, kita akan bisa memastikan kualitas SDM akan baik. 

Kemudian kenapa perempuan? Perempuan menjadi hal yang penting untuk memastikan generasi kita menjadi generasi berkualitas, karena di perempuanlah bagaimana janin itu mulai. Kenapa perempuan harus kita muliakan, karena merekalah yang melahirkan generasi penerus. Artinya perempuan harus kita jaga, kita siapkan untuk tidak hanya bereproduksi, tapi juga harus produktif berkontribusi di dalam pembangunan. 

Perempuan tidak hanya berdiri sendiri, perempuan ini hidup di dalam lingkungan-lingkungannya. Mereka sebagai istri dan ibu, itu adalah peran perempuan. Kemudian di luar keluarga, di komunitas mereka sebagai ketua PKK, kader dan sebagainya. Ini kan hal-hal yang bisa dimasuki oleh perempuan di lingkungan masyarakat yang lebih luas. 

Kemudian di pemerintah, seharusnya kita dorong perempuan mempunyai kapasitas, kemampuan untuk bisa berkontribusi lebih luas. Tidak hanya sebagai individu, tapi juga masyarakat, pemerintah, negara. Perempuan mempunyai peran yang sangat penting.

Saya selalu mengingatkan kepada teman-teman semuanya, terutama pada mereka selalu menganggap, ‘kenapa sih kok perempuan?’, ‘kenapa sih apa-apa kok semua harus perempuan?’. Kita baru mulai segelintir yang maju, masih banyak perempuan yang tidak diberi kesempatan untuk maju. Ini yang harusnya kita dorong, kita buka wawasannya.

Baca Juga: Menteri PPPA Arifatul Choiri Fauzi Siap Lanjutkan Perjuangan Hak Perempuan dan Anak

Pada saat kita ingin Indonesia maju, separuh potensi penduduk kita itu ada di perempuan. Kalau kita mau Indonesia maju, yang separuh penduduk ini harus kita optimalkan, harus kita dorong untuk ikut maju bersama. Jangan kita tinggalkan. 

Perempuan sering dihadapkan pada tanggung jawab ganda. Berdasarkan pengalaman Anda, bagaimana cara menyeimbangkan peran-peran tersebut?

Terus terang, itu bukan hal yang mudah. Di awal-awal, pada saat saya memasuki dunia pernikahan, pasti friksi. Tetapi kemudian, kita kan sebagai suami istri itu bertumbuh dan berkembang bersama, kita harus berkomitmen dan berkompromi. Jadi kalau tidak ada komitmen, kompromi, itu pasti hancur. Kita enggak bisa menjalankan peran ganda kita. 

Saat saya menikah, ‘boleh enggak saya tetap berkarier?’. Itu kan hal yang mendasar yang harus kita pastikan dulu. Tapi saya tetap akan menjaga anak, saya tetap akan mengasuh dan sebagainya. Artinya, ada kompromi kita berbagi peran. Kalau kita sudah ada kata komitmen dan kompromi, saya yakin itu bisa kita jalankan, membagi beban ganda itu.

Itu pengalaman pribadi yang saya alami. Kebetulan suami di swasta, saya di negeri, kita bisa membagi peran itu kalau kita punya supporting system kuat dari keluarga. 

Yang kedua supporting system-nya juga harus kuat juga dari tempat kita bekerja. Itu akan bisa kita lakukan kalau tempat kerja kita memberikan kemudahan-kemudahan, kenyamanan-kenyamanan untuk kita membagi peran. Kalau misal pimpinan kita enggak apa-apa minta izin. Kalau kita punya problem karena kita tidak bisa menyelaraskan antara pekerjaan dengan keluarga, kita cari jalan. 

Jadi, artinya jangan pernah menyerah, karena memang tidak mudah menyeimbangkan itu.

Sebagai ibu bekerja, apa me time Anda?

Waktu untuk diri sendiri sih pasti ada lah. Kebetulan saya punya kucing, jadi main sama kucing saya. Saya dulu punya 3 kucing sih, tapi 1 udah hilang, saya nangis.

Baca Juga: Mengenal Rini Widyantini, Perempuan Pertama yang Memimpin Reformasi Birokrasi

Saya kalau dibilang sama anak-anak saya atau sama orang lain, ‘kamu tuh ibunya kucing ya?’, karena saking senengnya sama kucing, saking cintanya sama kucing. Disayang-sayang, dipeluk. Kalau sampai di rumah, saya ajak ngobrol (kucingnya). Jadi kayak sama anak-anak saya. 

Hal lain, biasanya sama anak-anak pergi jalan, makan atau ngemall. Ke mall sama anak-anak biasanya seringnya nyari kebutuhan-kebutuhan. Karena anak-anak sudah dewasa, sudah pada bekerja juga. Jadi kita sambil makan, ngobrol soal kerjaan mereka. Jadi me time saya dengan anak-anak seperti itu.

Mentok-mentoknya kalau lagi suntuk banget, yah nonton drakor. Ini satu hal yang bisa bikin lepas aja gitu nonton drakor, yang (ceritanya) kayaknya enggak masuk akal banget, tapi ya seru-seru aja. Buat seru-seruan yang enggak perlu banyak mikir hahaha. 

Setelah ini, masih ada mimpi yang ingin diraih?

Kalau ditanya mimpi, berharapnya ke depan perempuan-perempuan kita menjadi perempuan yang maju, yang lebih bisa menunjukkan jati dirinya, yang tidak menyerah terhadap berbagai tantangan. Saya ingin nanti perempuan-perempuan menjadi pemimpin-pemimpin. 

Saya ingin anak-anak bisa tumbuh kembang secara optimal, benar-benar bisa mengekspresikan dirinya, ikut partisipasi aktif di dalam pembangunan, bisa kita wadahi untuk mereka berkreasi. Tapi kemudian saya berpikir kok normatif sekali mimpi-mimpi itu ya.

Tapi kemudian saya melihat kembali pada diri sendiri. Saya ingin balik lagi kepada keluarga saya boleh enggak sih? Saya punya mimpi, anak-anak saya, perempuan-perempuan bisa menjadi perempuan-perempuan hebat juga. Itu mimpi saya.

Saya kayaknya egois, tetapi mereka bagian dari perempuan Indonesia. Saya ingin anak-anak saya bisa bermanfaat bagi masyarakat juga. Mungkin saya katakan, enggak usah mencontoh saya lah, dengan bidang yang lainnya yang non-pemerintahan juga bisa. 

Artinya saya ingin supaya anak-anak saya, jadi perempuan-perempuan hebat yang nantinya juga bisa berkontribusi dalam pembangunan. 

Baca Juga: Ungkap Tabir Alam Lewat Teknologi Pangan, Ini Mimpi Perempuan Peneliti Dr. Widiastuti Setyaningsih

Satu kata motivasi untuk perempuan Indonesia?

Percaya!

Percaya pada Tuhan bahwa kalian perempuan-perempuan Indonesia mampu untuk maju. Percaya pada diri sendiri bahwa punya kapasitas, punya kemauan, punya kemampuan untuk maju. Percaya bahwa kita bisa mengatasi berbagai macam tantangan-tantangan yang ada di hadapan kita untuk berkontribusi pada pembangunan dan membuat Indonesia jadi lebih maju menuju Indonesia Emas 2045. Percaya! 

Kawan Puan juga bisa menyaksikan wawancara eksklusif PARAPUAN dengan Woro Srihastuti Sulistyaningrum, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI di program Lady Boss dalam video di bawah ini.

 (*)



REKOMENDASI HARI INI

Mimpi Woro Srihastuti Sulistyaningrum, Deputi Kemenko PMK Tingkatkan Kualitas Perempuan dan Anak