Tanda-tanda Seseorang Mengalami Trauma Pasca Bencana, Begini Penanganannya

Maharani Kusuma Daruwati - Selasa, 13 April 2021
Banjir bandang di Kupang, NTT
Banjir bandang di Kupang, NTT tribunnews.com

Parapuan.co – Belum lama ini beberapa wilayah di Indonesia kembali dilanda bencana alam.

Minggu (4/4/2021) lalu, wilayah timur Indonesia tepatnya di Nusa Tenggara Timur dan sekitarnya mengalami banjir bandang dan tanah longsor.

Musibah ini pun menimbulkan banyak korban jiwa dan korban luka-luka.

Selain itu, tak berselang lama, Sabtu (10/4/2021), juga terjadi gempa bumi yang melanda Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Terjadinya sebuah bencana alam mungkin akan memunculkan adanya reaksi psikologis bahkan trauma pada para korban.

Baca Juga: Bukan Trauma, Ini yang Sebenarnya Dialami Korban Pasca Bencana

Meski tak semua orang mengalami trauma pasca bencana, namun setiap penyintas memiliki kerentanan yang sama akan hal itu.

Apa yang dialami penyintas sesaat setelah bencana ini merupakan reaksi stress dalam masa krisis, yang jika tidak ditangani bisa berisiko menimbulkan trauma.

Hal ini seperti dijelaskan oleh Iptu Niken Kintaka Sari, M.Psi., Psikolog dari Biro Psikologi SSDM Polri, saat dihubungi PARAPUAN, Sabtu (10/4/2021).

Niken mengatakan bahwa trauma itu sendiri membutuhkan waktu selama 6 bulan untuk dapat dengan pasti didiagnosa.

“Kalau dari panduan diagnosanya itu kurang lebih 6 bulan kita baru bisa menegakkan apakah penyintas (survivor) itu benar-benar mengalami trauma karena musibah yang dialami.

"Jadi, reaksi yang muncul di awal saat musibah atau reaksi yang muncul di awal saat situasi tanggap darurat itu tidak bisa atau belum bisa dikatakan sebagai trauma,” terang Iptu Niken Kintaka Sari, M.Psi., saat dihubungi PARAPUAN, Sabtu (10/4/2021).

Kondisi psikologis pada masa bencana ini sendiri bisa dibagi menjadi dua.

  1. Critical Incident Stress yaitu stres yang muncul sebagai reaksi atas peristiwa bencana (perubahan mendadak dan masif).
  2. Stres pasca trauma yaitu kondisi psikologis di mana seseorang reexperiencing peristiwa traumatis. Biasanya dialami oleh sedikit orang dan gejalanya terus menerus muncul menganggu hingga kurun waktu lebih dari 1 bulan.

Menurut panduan psikologi, kita bisa sebut trauma itu jika penyintas atau individu ini memberikan respons seperti pada saat mengalami kejadian padahal situasinya dalam keadaan aman.

Baca Juga: Orangtua Perlu Lakukan Ini untuk Mengatasi Trauma Pada Anak Pascabencana

“Jadi, misalnya penyintas tsunami, pada saat kejadian itu yang bersangkutan sedang naik kendaraan, naik mobil misalnya. Dia melihat sendiri gelombang tsunaminya dating.

"Ketika dia melihat mobil atau mendengar deru mobil atau deru kendaraan, dia akan mengasosiasikan dengan peristiwa pada saat itu. Kemudian muncul reaksi saat penyintas tersebut mengalaminya, mungkin ketakutan, menangis, tidak mau melihat atau mendengan deru kendaraan.

"Nah, reexperiencing dengan respon emosi yang masih kuat bisa menajdi salah satu tanda seseorang mengalami trauma,” jelas Niken memberikan contoh.

“Karena ada re-experiencing seperti mengalami kembali, ketika ada pemicunya lalu diasosiasikan pada peristiwa saat itu (saat bencana), seluruh emosi yang muncul pada saat itu, seluruh pikiran, kemudian reaksi dan respons pada saat itu akan muncul kembali pada saat ini,” terang Niken.

Penyintas yang mengalami trauma akan merasakan kembali pengalaman traumatis setiap menemui situasi yang serupa dengan pengalaman tersebut, sehingga penyintas yang mengalami trauma akan memunculkan perilaku:

1) Menghindari situasi serupa yang mengingatkan pada pengalaman traumatis tersebut

2) Sulit berkonsentrasi, sulit fokus, mengalami gangguan mengingat (mudah lupa atau terlampau detil dalam mengingat suatu peristiwa)

3) Permasalahan emosi seperti sangat peka atau perasa, namun bisa juga sangat tidak peduli atau tidak empati

4) Membatasi bergaul dan cenderung menghindar.

Hal ini bisa menguat ketika lingkungan sosialnya kurang peka terhadap kondisi penyintas.

Misalnya setiap bertemu membahas pengalaman traumatisnya atau karena penyintas merasa tidak nyaman ketika reexperiencing pengalaman traumatis saat berada dengan orang lain, maka penyintas memiliki untuk menghindari bersosialisasi.

Baca Juga: Cara Efektif Menyampaikan Kabar Perceraian Kepada Anak Agar Tak Trauma

Untuk mencegah munculnya stres pasca trauma, psychological first aid (PFA) atau pertolongan pertama psikologis perlu dilakukan.

PFA ini dapat diberikan saat masa tanggap darurat atau segera setelah terjadinya bencana.

Tujuannya adalah untuk membuat penyintas mampu beradaptasi dengan perubahan drastis yang terjadi .

Dengan membuat mereka (penyintas) lebih mampu untuk beradaptasi, membuat mereka lebih menyadari kondisi yang dialami saat ini, akan mendorong mereka untuk memiliki kondisi psikologis yang lebih baik.

Sehingga hal ini bisa meminimalisir munculnya trauma.

Ketika pada saat bencana, kami para psikolog atau tenaga professional psikologi ini tidak hanya menangani satu persatu.

Tapi juga memberikan penanganan yang sifatnya untuk membangun dukungan sosial bagi penyintas.

Jadi, ketika nanti sudah kembali pada aktivitas pasca bencana, aktivitas mereka sehari-hari, mereka punya kelompok dan orang-orang yang sistem dukungannya sudah terbangun.

Namun, bila penyintas ini ternyata tetap mengalami trauma, berarti mereka harus mendapatkan bantuan profesional, baik itu psikolog maupun psikiater.

Baca Juga: Seni Sebagai Kegiatan Trauma Healing Bagi Anak-anak Pasca Bencana Alam

Ini tentunya membutuhkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya, entah itu keluarga atau tetangga, artinya masyarakat di lingkungannya.

Karena tidak selalu penyintas ini tahu ke mana mereka harus mengakses layanan psikologi, tidak tahu siapa yang harus dihubungi.

Bahkan mereka tidak tahu bahwa kondisi mereka itu sebenarnya dampak trauma dari musibah yang mereka alami.

Sangat mungkin bahwa penyintas tidak menyadari dirinya mengalami stres pasca trauma dan memilih menghindar bersosialisasi, sehingga orang-orang di sekitarnya yang perlu peka atau mampu mengenali kondisi tersebut.

Kita sebagai orang terdekat mungkin bisa memberikan bantuan dengan mendengarkan keluh kesahnya atau pun membantu mendorong agar penyintas menyadari apa yang sedang dialaminya.

Kita lebih pada mengarahkan, perlahan mengajak dia berpikir dan menyadari kondisinya itu.

Nah dari situ baru muncul lah rasa bahwa dia memang membutuhkan bantuan.

Baca Juga: 3 Kasus Terkenal Sindrom Stockholm dan Saran Penanganan Sembuhkan Mental Korban

“Jadi kita sebaiknya tidak langsung judging ‘Kamu trauma tu kalau kayak gitu. Udah ke dokter atau ke psikolog aja.’ Kalau kita sudah punya pengetahuan soal hal itu, perlahan kita ajak dia untuk mengenali kondisi dirinya.

"Karena bukan tidak mungkin dia malah menolak kamu ketika kamu secara terbuka menyebutnya trauma.

"Tapi kalau kita perlahan mengajaknya berkomunikasi dan mengajak dia untuk mengenali kondisinya ketika ada hal-hal yang memicu reexperience tadi juga akan membuat dia menyadari kondisinya.

"Supaya ada dorongan internal dari dirinya yang memang membutuhkan pertolongan,” pungkas Niken. (*)



REKOMENDASI HARI INI

Ada Budi Pekerti, Ini 3 Film Indonesia Populer yang Bertema Guru