Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Kerumunan itu sendiri mengundang rasa penasaran.
Karenanya, ketika semua mata, semua media sosial, dan semua media konvensional terarah membicarakan mandi lumpur dan berendam berjam-jam yang dilakukan kelompok rentan, timbul rasa penasaran.
Muncul keriuhan: Apa yang sedang terjadi? Apa yang bisa diketahui? Apa yang bisa diceritakan, sebagaimana orang lain bercerita?
Pusarannya menggunung. Makin banyak orang yang memberi perhatian.
Ketika ini dikonversi sebagai nilai ekonomi dikumpulkan sebagai saweran point, panen besar yang terjadi.
Maka, yang dilakukan Bu Risma adalah memangkas perhatian yang kian menggunung. Taktik yang dilakukannya 2 macam.
Taktik pertama Bu Risma: Lewat operasi bahasa.
Dengan memberi sebutan atraksi mandi lumpur maupun berendam berjam-jam diikuti saweran, adalah mengemis online.
Tak semua pelaku unggahan nyaman disebut sebagai pengemis.
Mengemis adalah strata rendah dalam pencarian pendapatan. Walaupun mengemisnya dilakukan online, tetap saja statusnya tak bakal naik.
Taktik kedua: Dengan pendekatan formal kekuasaan.
Bu Risma sebagai Menteri Sosial menerbitkan surat edaran yang ditujukan kepada kepala daerah.
Isinya, mengajak para kepala daerah mengawasi praktik mengemis online di wilayahnya.
Terhadap adanya praktik mengemis online di suatu wilayah, dilaporkan kepala daerah kepada polisi.
Terdapat hukum yang melarang tindakan macam ini. Yang jelas, eksploitasi manusia atas manusia lain bertentangan dengan etika maupun hukum.
Baca Juga: Berbahaya! Jangan Tiru 3 Tips Kecantikan yang Viral di TikTok Ini
Apa yang dapat dilakukan perempuan tanpa kuasa seperti Bu Risma?
Jawabannya: Banyak.
Perempuan dapat memutus rantai attention economic yang didasarkan unggahan berkualitas buruk.
Perempuan menahan diri tidak memberi sambutan pada unggahan macam mandi lumpur maupun unggahan-unggahan tak berkualitas lainnya.
Relasi yang menghasilkan perhatian pada media sosial, berpijak pada unggahan yang kencang diperbincangkan.
Makin kencang perbincangannya, makin menggunung perhatian yang diberikan.
Mendiamkan, tak membahas, tak menggubris unggahan yang buruk, akan memupuskan gunungan perhatian yang terbentuk.
Hukum pasar yang berlaku, “ada penjual ada pembeli”, dapat dipotong relasinya. Caranya, perempuan tak jadi pembeli.
Ini dilakukan dengan tak memberikan perhatian pada unggahan yang tak berkualitas. Penjualnya akan surut, dagangannya tak laku.
Hal lain yang dapat dilakukan: Mendesak pengembang platform.
Komunitas perempuan yang peduli pada kenyamanan jagat digital, dapat mendesak platform mencegah hadirnya unggahan-unggahan yang tak etis, mengandalkan kontroversial, sensasi maupun narasi miring.
Desakan yang dilakukan komunitas dengan suara prihatin, bakal diperhatikan platform.
Ini tak lain akibat eksistensi platform terjadi ketika para pemilik akun tetap bersedia menggunakannya.
Banyak peristiwa gulung tikarnya platform, lantaran penggunanya tak lagi bersedia menggunakan.
Komunitas perempuan bersedia menggunakan platform media sosial, jika unggahan yang beredar baik kualitasnya. Upaya yang tak terlalu sulit, bukan? (*)